Hari ini hari minggu, jadi Rian bisa sepuasnya menemani Acha di rumah sakit tanpa takut ketinggalan latihan. Cowok itu belum pulang juga sejak tadi pagi. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 3 sore.
Kabarnya ayah Acha akan datang sore ini, itu juga lah yang menjadi salah satu alasan Rian untuk tetap berada di rumah sakit. Bagaimana pun juga, ia harus bertemu dengan ayah Acha. Karena beliau termasuk orang sibuk yang jarang dan tidak bisa berlama-lama di Indonesia. Jadi kalau bukan sekarang, kapan lagi?
"Bang, mau minum dong."
Fajar juga ada disana, sedang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Entah apa yang cowok itu lakukan, tapi sejak tadi yang ia lakukan selalu senyum-senyum tidak jelas. Apa cowok itu sedang kasmaran?
"Bang!" panggil Acha sekali lagi.
Fajar tidak merespon apa-apa, entah karena tidak kedengaran atau terlalu fokus dengan ponselnya, yang pasti cowok itu hanya diam tak berkutik ketika Acha memandangnya dengan sebal. Kalau saja Acha bisa ngambil sendiri, ia pasti sudah mengambilnya dari tadi.
Rian bangkit, meraih gelas kemudian menuangkan air ke dalamnya, "Susah-susah minta sama Fajar. Kalo minta sama saya emangnya kenapa?" tanyanya sambil menyerahkan gelas itu.
"Hehe, masa nyuruh-nyuruh, gak enak."
"Gak usah gak enakan segala sih, kayak sama orang lain aja," sahut Rian kemudian.
Acha menerima gelas itu dengan senyum lebar, kemudian meminumnya.
"Emangnya saya orang lain, hm?" tanya Rian lagi, "Saya kan calon kamu."
UHUK! UHUK!
Ucapan itu memang benar, tapi ada di momen yang salah. Harusnya Rian tidak mengucapkan itu ketika Acha sedang meneguk minumannya. Sudah pasti Acha akan tersedak.
"Pelan-pelan dong, Cha...." Rian terkekeh. Cowok itu kemudian meraih gelas yang sedang Acha pegang, lalu menggantinya dengan selembar tisu. "Nih, elap. Saya gak bisa ngelapin, belom muhrim. Nanti ya, hehe."
Acha mengelap bibirnya yang basah karena tersedak, pandangannya ia alihkan ke arah lain. Berusaha mengabaikan Rian yang sedang tersenyum geli melihatnya saat ini. Pandangan Acha kemudian berhenti pada Fajar yang ternyata sedang memerhatikan mereka sambil cengar-cengir gak jelas. Sejak kapan abangnya itu nyimak pembicaraan mereka?
"Huaahhh," Fajar bangkit kemudian merentangkan tangannya bermaksud meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku akibat duduk sepanjang hari.
"Gua keluar aja deh, capek jadi nyamuk mulu," Fajar terkekeh kemudian melangkah keluar, meninggalkan Rian dan Acha yang terdiam canggung.
Tidak ada yang berbicara lagi diantara mereka. Saling diam entah memikirkan apa. Yang pasti Acha sedang berusaha menetralkan detak jantungnya sendiri. Sebelum semakin keras dan Rian bisa mendengarnya.
"Cha, pipi kamu merah."
Astaga, Rian! Padahal Acha sedang susah payah menahan senyumnya sedari tadi, tapi kenapa cowok itu mulai lagi?
"Pake pink-pinkan di pipi itu ya? Apa itu namanya? Blas blas-"
"Blush on?"
"Nah iya. Eh tapi ini mah merah banget. Bukan cuma pipi, tapi muka kamu. Kamu kenapa, Cha? Panas? Atau ada yang sakit?"
Acha menggeleng. Dalam hati ia merutuki Rian. Padahal kan ini karena perbuatan dan perlakuannya. Apa cowok itu gak sadar?
"Atau karena keselek ya?"
Acha menggeleng lagi. Tebak aja terus, mas.
"Atau karena ngeliatin saya?"
"IH!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf | Rian Ardianto
FanfictionRian dan Acha, seorang atlet dan seorang mahasiswi kedokteran yang tidak sengaja dipertemukan dalam sebuah kejadian. Pertemuan yang benar-benar menjadi memori itu, menyatukan hati mereka tanpa pernyataan dan campur tangan siapapun. Tetapi tidak ada...