38. Keputusan

2.6K 337 63
                                    

Rian mengelap keringatnya yang bercucuran. Dadanya naik turun tidak stabil akibat latihan seharian. Cowok itu lalu duduk di pojok ruangan, mencari botol minumnya dan meneguknya sampai habis.

Punggungnya ia sandarkan ke dinding. Cowok itu terlihat tampak kacau hari ini. Bayang-bayang ancaman Sisy, dan tawa Acha kemarin bergantian berputaran di kepalanya. Seakan memaksanya untuk terus mengingat, lalu menjadi semakin dilema.

"Jom, ada tamu!"

Rian menoleh, lalu sedetik kemudian Sisy muncul dari pintu. Cewek itu menatapnya girang, lalu berlari kecil menghampirinya.

Ngapain lagi cewek ini kesini? Bukankah kemarin ia bilang mau pulang ke Bandung?

"Aku gak jadi pulang. Rasanya di Jakarta enak juga, apalagi sama kamu," jelas Sisy tanpa ditanya. Cewek itu tersenyum lebar kemudian duduk di sebelah Rian.

Rian berdecak, lalu membuang pandangannya ke arah lain. Daripada melihat Sisy, lebih baik ia melihat teman-temannya yang sedang latihan saat ini.

Di lapangan, Fajar menatapnya balik. Raut cowok itu mengeras, sepertinya ia tidak suka melihat keberadaan Sisy yang menghampiri Rian saat ini. Dan ketika matanya bertemu pandang, Rian bisa melihat Fajar marah padanya.

"Sy, lo ngapain sih kesini. Bikin masalah aja."

Sisy cemberut, kemudian cewek itu tersenyum riang lagi, "Kamu susah sih diajak keluar, jadi aku samperin aja deh kesini."

Rian tidak mengerti lagi. Sisy terlalu sering berubah-ubah. Kemarin ia menangis, lalu marah-marah, dan memaki-maki Rian seenak jidatnya. Kemudian hari ini ia datang dengan wajah tidak berdosa, seakan tidak pernah terjadi perdebatan apa-apa diantara mereka kemarin.

Tanpa merespon Sisy, cowok itu bangkit berniat pergi. Namun niatnya terurung ketika tangannya ditarik oleh Sisy untuk duduk kembali.

"Sy, stop. Please."

Sisy merengut, "Sini aja."

Rian menggeleng. Ia bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan Sisy sendiri di pojok ruangan. Membuat cewek itu semakin kesal dibuatnya.

"Lo gak tegas. Itu kenapa Sisy tetap bisa ngedeketin lo kayak gitu walaupun tau lo udah punya orang."

Ucapan Fajar seketika membuatnya menoleh. Rian tidak menjawab, ia hanya mengambil raketnya lalu bergabung dengan Fajar di lapangan.

"Gua gak bisa terima kalo lo giniin Acha, Jom," kata Fajar lagi. Tapi cowok itu sama sekali tidak menatap Rian. Ia hanya memandang lurus ke arah net. Lalu memukul shuttlecock yang dipukul Kevin.

Mereka sedang latihan saat ini. Namun auranya berbeda. Walaupun mereka seharusnya mengesampingkan emosi dan bersifat profesional. Namun sepertinya Fajar tidak bisa menahan untuk mengucapkannya sekarang.

"Kalau hanya dengan ancaman dari cewek kayak Sisy aja ngebuat lo mundur, lo bener-bener gak pantes buat Acha."

Ketika bola melambung begitu tinggi, Fajar melompat kemudian melayangkan smashnya. Membuat bola itu jatuh di lapangan lawan dengan begitu cepat dan sulit dikembalikan. Fajar terengah-engah, cowok itu pada akhirnya menghadap ke Rian. Menatap langsung ke matanya.

"Jangan mundur. Sekarang saatnya lo tepatin janji lo ke Acha. Jangan tinggalin dia."

***

Rian melangkah di koridor rumah sakit. Setelah latihan selesai, ia langsung bergegas kesini. Ditangannya terdapat satu kresek roti dan makanan-makanan ringan lainnya.

Begitu sampai di depan pintu, ia melirik sedikit ke dalam, dan menemukan Acha sedang sendirian. Cewek itu sedang melamun menghadap ke jendela. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

Taaruf | Rian ArdiantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang