13. Everything's Gonna Be Alright

5.6K 754 194
                                    

Karena aku baik 😁 *apaansibego
Dan aku sayang kalian
Jadi hari ini aku up 2 part hehee

UDAH DOUBLE UPDATE, AWAS KALO KOMENNYA GAK HEBOH!
MUEHEHE 😁😁😊

***

Rian mengatur napasnya yang tak beraturan akibat lari dari pelatnas ke kafe ini. Cowok itu menyeka keringatnya yang semakin membuat kausnya basah.

Tidak perlu lama, matanya langsung menangkap seorang cowok dengan jas dokter duduk di sudut ruangan. Menenggak kopinya dengan begitu santai. Rian berdecak, menyesali dirinya yang mudah terpancing Ariq untuk datang ke tempat ini. Lagipula, ngapain dia ngeladeni orang gak jelas kayak gini?

Tapi sudah terlanjur disini, Rian akhirnya melangkahkan kakinya dengan cepat menghampiri cowok itu. Ia tidak punya waktu banyak, hanya 15 menit.

Begitu Rian sampai di meja itu, Ariq langsung mendongak. Ariq berdiri, menyapa Rian dengan senyum hangatnya dan sapaan bersahabat.

Tapi Rian sudah tau sifat asli cowok itu, cowok ini ternyata pinter akting.

"Apaan? Cepet! Gua gak punya banyak waktu!"

"Wow, slow man. Sini duduk dulu, kita ngopi-ngopi dulu. Santai."

Ariq duduk kembali, tetapi Rian tidak berkutik. Cowok itu masih tetap berdiri menatap Ariq nyalang.

"Hey, rileks. Sini duduk. Buru-buru amat. Pake alasan gak punya banyak waktu, lo bawa bom emangnya?" kata Ariq dengan senyum miring yang menghiasi wajahnya.

Rian menggeram, cowok itu kemudian mendudukkan diri di kursi tepat di hadapan Ariq.

"Apa?" tanya Rian langsung to the point.

"Pesen kopi dulu lah, santai... Lo ngeburuin apa? Latihan?"

Rian tidak menjawab apa-apa. Dalam hati ia ingin berteriak di depan wajah Ariq untuk berhenti sok akrab kayak begini.

Ariq memanggil waiters. Menyuruh Rian untuk segera memesan kopinya. Setelah dipesan, waiters langsung pergi meninggalkan mereka berdua yang saling bertatapan dengan sengit.

Ariq tersenyum miring, "Gak usah latihan-latihan lah. Lo gak akan menang! Hoki doang kemaren itu."

Ucapan Ariq itu membuat Rian mengepalkan tangannya di bawah meja.

"Gua dokter, perlu lo tau," cowok itu mengangkat jas putihnya dengan bangga, "Gua punya penghasilan tetap. Gak harus menangin kompetisi untuk gua dapet duit. Gua lebih bisa menafkahi Acha dengan baik daripada lo. Dia pasti lebih pilih gua yang lebih mapan."

Rian menggeram, "Jadi lo pikir Acha matre?"

Ariq tertawa, cowok itu mengangkat bahunya santai, "Well, nyatanya semua cewek emang begitu kan?"

Ucapan itu membuat rahang Rian mengeras, tangannya semakin mengepal di bawah sana.

Seorang waiters datang mengantarkan kopi yang Rian pesan tadi. Ariq menyodorkan kopi itu lebih dekat ke arah Rian, "Bener kan? Lo punya duit, cewek mendekat. Lo kere, lo dicampakkan. Begitu juga Acha. Gimanapun juga, dia sama kayak cewek lainnya. Nothing's different."

BRAKKK!!

Rian sudah tidak tahan lagi, kepalan tangan itu akhirnya menghantam meja tepat di depan wajah Ariq. Ariq sempat terkejut, namun kemudian cowok itu langsung menetralkan ekspresinya.

"Kalo lo manggil gua kesini cuma buat banggain profesi lo dan menghina Acha kayak gini, lo udah buang-buang waktu gua," napas Rian menderu, kalau Ariq mau hina dia tentang profesinya, gak masalah, ia gak peduli sama sekali. Tapi tidak dengan Acha. Mendengar Acha dihina habis-habisan seperti itu, Rian sulit mengendalikan emosinya.

Taaruf | Rian ArdiantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang