EPILOG

926 46 13
                                    

Acha tidak pernah berpikir kalau ia akan menikah di usia semuda ini. Ia masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sebenarnya tidak lama lagi akan menyelesaikan skripsi dan wisuda. Untuk pantaran saudara-saudara dan keluarga lainnya, ia masih terbilang sangat muda untuk melangkah ke jenjang rumah tangga. Karena rata-rata keluarga lainnya baru menikah di usia 25 tahun ke atas. Bahkan abangnya, Fajar Alfian, yang berusia lebih tua darinya itu akan ia langkahi.

Namun beginilah kuasa Tuhan. Yang tidak pernah diduga akan datang secepat ini, ternyata datang juga. Bahkan ketika bertemu dengan Rian di halte pertama kali waktu itu, ia tidak pernah berpikir kalau cowok itu kelak akan menjadi salah satu sosok yang sangat penting dalam hidupnya.

Kalau mengenang itu, Acha jadi tersenyum. Sungguh takdir benar-benar punya kejutannya sendiri.

Acha menoleh ketika pintu kamarnya dibuka dari luar. Sedetik kemudian, Bunda muncul seraya tersenyum.

"Bun...."

"Eh, anak bunda ternyata dari tadi di kamar. Bunda nyariin kesana kemari loh," kata Bunda yang melangkah mendekat kemudian duduk tepat di sampingnya. "Tadi Rian kesini, Cha."

"Mas Rian kesini?"

Bunda mengangguk. Lantas senyum jahil terlukis indah di bibirnya. Bunda pasti mengerti kalau Acha sudah sangat rindu dengan calon suaminya itu. Setelah keluar dari rumah sakit, mereka tidak pernah bertemu lagi. Hari-hari menuju pernikahan sudah tinggal hitungan jari. Dan mereka berdua kini dilarang bertemu.

"Kok bunda gak bilang?" tanya Acha merengut sebal.

Bunda terkekeh. "Syutt, kamu lagi dipingit," jawabnya. Tangan Bunda kemudian terangkat seraya membelai pelan rambut hitam Acha.

"Dia dateng cuma nganter ini doang kok. Abis itu pergi lagi." Bunda kemudian menyerahkan kantung kresek putih kepada Acha. "Oh iya, Rian bilang dia titip ke bunda katanya Achanya jangan dibiarin keluar kemana-mana. Kalo perlu iket aja di kasur biar gak nakal!"

"Ih, Mas Rian bilang gitu?"

"Hahaha menurut kamu gimana?" Bukannya menjawab, Bunda justru tertawa.

"Serius, bun?"

"Enggak lah, sayang. Dia gak bilang gitu. Dia cuma nanya akhir-akhir ini Acha gimana kondisinya? Masih ada yang sakit gak? Terus Acha masih suka keluar rumah gak? Dia khawatir banget loh sama kamu, Cha." Bibir Bunda melengkung menciptakan senyuman hangat. "Bunda bisa liat banget dari matanya. Kangen banget tuh keliatannya."

Pipi Acha memerah. Lantas dibuangnya wajahnya ke samping supaya Bunda tidak lihat.

"Ya udah, bunda mau bantu tante kamu dulu di luar," kata Bunda. Wanita paruh baya itu melangkah ke arah pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi. "Kamu beruntung, Cha. Jadi istri yang baik buat Rian ya sayang. Bunda bahagia banget liat kalian berdua." Setelah itu, Bunda melangkah pergi.

Acha meraba pipinya yang terasa panas. Astaga, hanya begini saja sudah bisa membuatnya merona. Bagaimana kalau nanti ia sudah satu rumah dengan Rian dan bertemu setiap hari?

Matanya kemudian beralih ke kantung kresek yang diberikan Bunda tadi. Mengintip sedikit ke dalam untuk tau apa yang Rian bawakan untuknya. Cowok itu sudah repot-repot datang kesini hanya untuk mengantar kresek itu.

Di dalamnya terdapat berbagai macam vitamin. Seperti vitamin penambah darah, vitamin c, dan lain sebagainya. Padahal Acha merasa sehat-sehat saja kok. Ia terkekeh membayangkan betapa luar biasa khawatirnya cowok itu. Lalu kemudian mata Acha beralih pada beberapa batang coklat dan selembar kertas yang terselip di sela-selanya.

Dengan penasaran, dikeluarkannya kertas itu. Sebuah tulisan acak-acakan khas laki-laki langsung tertangkap mata begitu kertas itu terbuka.

Halo, Miss u.

Taaruf | Rian ArdiantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang