25. Kembali ke Pelatnas

6.4K 707 172
                                    

HALOOO
AKU DATANG MEMBAWA RIAN DAN ACHA HEHEHE.

Mana nih yang kangen couple satu ini? Atau ada yang kangen authornya? 😁😁

Jangan lupa vote comment hebohnya bair besok aku next lagi. Kalo enggak, aku ngilang lagi nih. HAHAHA NGANCEM.

HAPPY READING, BEB ❤❤

***

Hari yang sangat tidak Rian inginkan akhirnya tiba. Hari dimana ia harus kembali ke pelatnas dan meninggalkan Acha disini. Masa liburnya sudah berakhir, dan ia harus kembali berlatih untuk persiapan turnamen-turnamen selanjutnya.

Berat sebenarnya meninggalkan Acha. Apalagi kondisinya yang belum bisa berjalan dan masih sangat rentan. Rian takut kalau Acha nanti diapa-apain lagi sama Ariq dan ia tidak ada untuk menolong.

"Mukanya jangan khawatir gitu. Acha gak apa-apa kok, mas."

Rian melirik Acha yang tersenyum padanya. Acha masih berada di rumah sakit. Dokter belum mengizinkannya pulang. Katanya melihat perkembangan Acha dulu minggu depan.

"Gimana gak khawatir," Rian menghela napasnya, "Kalo kamu diapa-apain, saya jauh Cha."

"Kan ada bunda, semua pasti aman kok. Bunda punya jurus baru sekarang," kata Bunda ikut menenangkan.

"Jurus apa bun?" tanya Acha pada bundanya. Karena seingatnya, bunda tidak pernah belajar bela diri sebelumnya. Jadi jurus apa?

"Sendal terbang!"

"pfftt..." Rian tertawa, tapi masih tertawa yang sopan dan normal. Sedangkan Fajar tertawa dengan hebohnya.

"HAHAHAHA," Fajar memegang perutnya, "Andai waktu itu Fajar rekam tan, sumpah itu keren banget!"

"Iya dong. Rasanya tangan tante gatel pengen nyumpel mulutnya yang kurang ajar itu. Tapi kalau pake tangan doang, pasti gak akan berasa."

"Mantap, tan. Besok-besok tante sendalnya nginjek tai ayam atau tai kucing dulu sebelum nampar. Biar lebih mantul."

"Hahaha, boleh juga ide kamu, Jar. Tapi bau dong."

"Gak papa tan, parfum alami! Hahahaha!"

Acha menggeleng pelan seraya tertawa. Bundanya dan Fajar memang sama gokilnya. Sedangkan Acha membawa sifat ayahnya, kalem dan pendiam. Walaupun kadang sifat blak-blakan bundanya juga menurun padanya.

"Semangat bener Fajar kalau urusan bully membully," Rian berucap lirih. Tapi ucapan itu cukup kuat untuk didengar Fajar.

"Tau aja nih," Fajar tertawa, "Korban bully juga ya?"

"Udah udah," Acha mengubah topik pembicaraan, "Jadi kalian berangkat jam berapa rencananya?"

"Jam 4, Cha. Abis sholat asar."

Acha tersenyum, "Alhamdulillah. Mas Rian lebih mengutamakan sholat."

Rian tertawa, "Iya harus. Biar nanti bisa ketemu lagi di surga sama kamu. Jadi dunia akhirat kita bareng-bareng terus."

"Adoooohh, gua yang melting dengernya," Fajar berlagak menepuk-nepuk pipinya, "Tante tolong tante, kayaknya bentar lagi Fajar mimisan."

Bunda ikut berlagak panik, menciptakan drama bersama Fajar, "Ini Jar, ini tissu. Sumpel hidung kamu, Jar!"

"Kalo di sumpel, Fajar gak bisa napas dong tan."

"Bunda... Hahahaha," Acha tidak bisa menahan tawanya. Apalagi melihat bunda yang beneran menyumpal hidung Fajar.

"Gak papa tan, lanjutkan!" kali ini Rian yang bersemangat.

Fajar melirik sinis, "Adek ipar durhaka."

"Hahahaha!"

Acha memandang Rian yang tertawa lepas. Momen langka yang sebenarnya sangat Acha sukai. Melihat Rian tertawa membawa kebahagiaan juga untuknya.

Suatu hari nanti, suara tawa itu akan menjadi suara favorit yang akan ia dengar di setiap harinya.

***

"Cha, saya udah sampe."

Rian menekan tombol send di layar ponselnya. Setelah itu ia meletakkan kembali ponselnya di nakas. Walaupun Acha tidak minta dikabari, tapi Rian merasa memiliki kewajiban untuk melakukan itu.

Cowok itu merebahkan tubuhnya di kasur. Merasa sangat lelah setelah melakukan perjalanan dari Bandung ke Cipayung. Rasanya belum lama ia berpisah dengan Acha, tapi kenapa tiba-tiba rindu?

Rian meraih ponselnya lagi. Tapi balasan dari Acha belum masuk juga. Tanpa pikir panjang cowok itu mendial nomor Acha. Rindu telah mengendalikannya.

"Halo, assalamualaikum?"

"Waalaikumsalam. Acha, kemana aja? Kok gak bales?"

Acha terkekeh di sana, "Ini lagi ngetik mau bales. Eh, mas Rian udah nelpon aja. Sabar dong, mas."

"Eh, hehe. Lagi apa, Cha?"

"Apa lagi kalau bukan tiduran di ranjang rumah sakit tanpa berdaya ngelakuin apa-apa?"

"Acha... Baru saya tinggal bentar, jangan frustasi gitu."

"Ih, siapa yang frustasi! Geer!"

"Kamu gak berdaya ngelakuin apa-apa karena saya gak disana tuh."

Acha tertawa, "Teori dari mana masnya?"

"Ada kok teorinya. Ah gimana ini calon dokter masa gak tau."

"Kata 'calon dokter' itu punya dua makna, mas."

Rian menghela napas, "Maksud aku, kamu calon menjadi dokter. Bukan calon istrinya dokter. Ck, masih inget sama Ariq nih pasti?"

"Hahaha, enggak lah. Apaan si, cemburu?"

"IYAAA JOMBANG KALO CEMBURU KAYAK SINGA, CHA. HATI-HATI!"

Tiba-tiba suara Kevin menyela pembicaraan mereka. Rian berdecak. Ia pikir Kevin sedang tidur, tapi ternyata cowok itu menguping sedari tadi.

"Duh, kayak singa? Gimana tuh?"

"GANAS. HAHAHA!"

"Jangan didenger, Cha." Rian menyanggah.

"Ganas gimana maksudnya?"

"Enggak, udah cuekin aja. Pura-pura gak denger."

"HAHAHAHA!" suara Kevin tertawa terdengar lagi. "CHA MAU TAU GA- Hmpphh!"

Rian melempar wajah Kevin dengan bantal, "Udah dulu ya, Cha. Si Kevin rusuh. Nanti saya telpon lagi."

"Eh, iya mas."

"Good night, Cha. Have a nice dream. Jangan lupa wudhu sebelum tidur dan baca doa."

"JANGAN LUPA MIMPIIN MAS RIA- adaw!" Suara Kevin terdengar lagi. Namun diiringi dengan ringisan di akhirnya. Acha tertawa, entah apa yang dilakukan Rian pada Kevin sampai cowok itu meringis.

Tutt tuttt tutt

Telpon langsung ditutup begitu saja. Acha tertawa. Cewek itu kemudian me-lock ponselnya dan siap untuk tidur. Namun baru sebentar ia menutup mata, suara deringan ponselnya membuat ia membuka mata lagi.

Ada pesan masuk, dari nomor tidak dikenal.

0821xxxxxxx
"Jauhin Rian."

0821xxxxxxx
"Kamu akan tau akibatnya kalau masih deket-deket sama dia."

***

Niat akutuh bikin anak orang bucin tengah malem. Berhasil gak sih?

Btw, siapa hayooo yang ngechat? Ada yang tau?

Taaruf | Rian ArdiantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang