Terus terang saja Nara senang dikenalkan kepada Nindya, teman sebangku Lily di kelas 12 IPA 4. Nindya anaknya friendly, gaul, dan langsung menerima Nara dengan senang hati diantara mereka. Kini mereka berada di kantin sekolah, duduk bertiga dan sudah menerima pesanan makanan mereka.
"Btw, kenapa lo pindah? Sekolahan di sana gak seru ya? Pasti temen-temennya pada gak baik?" Tanya Nindya sekaligus pernyataan.
Nara menghabiskan kunyahan baksonya di dalam mulut sebelum membalas pertanyaan itu. "Gue sekalian pindah rumah, tinggal sama Papa, soalnya sebelumnya gue tinggalnya sama Nenek." Ujar Nara jujur.
Nindya ber-oh-ria sambil menelan siomaynya yang sudah halus ia kunyah.
"Trus gimana ceritanya lo gagal masuk kelas unggulan?" Tanya Lily disela-sela menyeruput es jeruknya.
Nara mengedikkan bahu acuh. "Kata Bu Rima, kelas unggulan udah full anggota. Kebetulan IPA 2 ada yang pindah juga, jadi formasinya kurang. Makanya gue disana."
"Oh," seru Lily. "Trus lo dapet temen sebangku?"
Nara menggeleng. "Gue aja duduk di bangku paling belakang, sendirian."
"Ya ampun, kasian banget sih jadi elo!" Simpatik Lily dibuat-buat.
"Tapi gue yakin kok, nanti lo pasti dapet temen sebangku. Semangat ya, walau tanpa gue!" Lanjut Lily.
Nara mengangguk sambil memasukkan potongan bakso lagi ke mulutnya. Nyammy.
Beberapa menit kemudian mereka telah selesai makan. Piring dan mangkuk sudah diambil oleh Kang Mamen, pria asal Sunda yang jago masak dan sah diterima jadi penjaga kantin di sekolah ini. Sementara Nara, Lily dan Nindya masih duduk bersantai di bangku kantin. Menuju bel masuk kelas masih beberapa menit lagi.
Nindya merogoh ponsel dari saku seragamnya, mendial nomor seseorang kemudian pamit untuk menelfon. Sementara itu Lily baru saja selesai memesan sebotol aqua untuk menetralkan rasa-rasa mie kocok ditenggorokannya.
"Lo tau gak? Si Nindy itu model lho!" Ujar Lily sambil menegak airnya.
"Oh ya?"
"Hmm, dia sering banget dapet job. Punya penghasilan sendiri padahal kerjanya gak berat." Tutur Lily.
"Enak banget jadi Nindy."
"Ember!"
Tak lama Nindya kembali dari pamit menelfonnya. Bersamaan dengan itu, bel berbunyi tanda jam pelajaran segera dimulai. Sontak semua siswa-siswi yang masih berada di kantin berlarian gaduh menuju kelasnya masing-masing. Tak terkecuali Nara yang merasa sangat panik melebihi yang lainnya karena ini masih hari pertama ia masuk sekolah.
___
Nara duduk dengan selamat di bangkunya. Ternyata kelasnya belum dimulai. Belum ada juga guru yang masuk mengisi pelajaran. Saat akan mengeluarkan buku dari dalam ransel, tiba-tiba tepukan dipundak Nara membuatnya menoleh.
"Eh, Mentari, kenapa?" Ujar Nara sedikit kaget.
"Sekarang jam olahraga, temen-temen mau pada ganti baju ke toilet. Lo ikut gak? Eh btw, baju olahraganya udah dapet belom?" Tanya Mentari, dia sudah menggenggam setelan olahraga miliknya.
Nara melongo sekejap sebelum akhirnya menjawab. "Udah ada tapi belum diambil di koperasi."
"Ya udah kalo gitu gue anterin ngambil, tapi cepet ya. Soalnya Pak Burhan gak pernah mau nerima alasan."
Nara mengangguk kemudian dia berjalan cepat menuju koperasi yang letaknya tak sulit ditemukan karena berada di bangunan paling depan gedung sekolah ini.
Selesai mengambil seragam olahraganya, Nara mengikuti Mentari untuk menuju ke toilet wanita. Disana ia mengganti pakaiannya kemudian kembali ke kelas dan menyimpan seragam putih abunya di dalam tas. Setelah selesai mengamankan seragamnya, Nara segera berlari menuju ke lapangan. Disana sudah ada beberapa teman sekelasnya yang sudah berbaris rapi menunggu pemanasan.
___
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan." Komando Antony menggelegar di seisi lapangan. Membuat semangat teman-temannya untuk olahraga ikut naik meskipun ini sudah bukan pagi lagi.
"Dua, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan!"
Selesai dengan semua gerakan pemanasan dasar, kemudian mereka disuruh Pak Burhan untuk duduk sejenak mengambil nafas sambil guru olahraga itu mengabsen.
Setelah selesai mengabsen, Pak Burhan menyuruh anak-anak untuk lari keliling lapangan dulu sebanyak 3 keliling. Kemudian dengan sigap mereka segera berlari mengelilingi lapangan secara beriringan. Nara berada di posisi paling belakang. Sebenarnya Nara sangat suka jogging, ketika di Garut dulu ia paling sering menghabiskan waktu weekendnya untuk olahraga. Tapi kali ini ia hanya ingin sedikit lebih rileks. Ini masih pemanasan, ia belum mau mengeluarkan keringat banyak.
Selesai mengelilingi lapangan utama yang luasnya tak bisa diragukan lagi mereka kembali beristirahat di pinggir lapangan dibawah pohon yang daunnya rindang.
"Untuk pertemuan pertama kita kali ini Bapak akan memberikan materi tentang Sepak Bola. Untuk materi tulisannya silahkan cari referensi sendiri di perpustakaan dan minggu depan Bapak periksa. Untuk sekarang kita peraktek tendangan dasar. Ayo, dua orang dua orang maju ke depan dan praktekan. Ini hanya untuk latihan, nanti setelah semuanya selesai Bapak akan memberi nilai." Tutur Pak Burhan panjang lebar.
Jila boleh curhat, Nara sebenarnya paling benci dengan permainan ini. Dia dulunya suka bermain ini dengan anak-anak di kompleks. Namun ketika di Garut, Nara sudah 3 kali kena tendang bola orang yang sedang bermain. Hingga dirinya merasa sedikit trauma dan enggan memainkan permainan itu lagi.
"Kinara Affantika. Leon Brillian Arkasa."
Nara tersentak ketika namanya dipanggil sedangkan ia sedang melamunkan masa-masa di Garut. Segera Nara berdiri dan mendekat ke arah Pak Burhan yang memegang 2 bola sepak. Satu bola diserahkan oleh Pak Burhan pada Nara, kemudian yang satunya lagi diserahkan kepada seorang lelaki yang bertubuh tinggi dengan otot menyembul dari kedua lengannya ditambah rambut pirangnya yang mencolok penampilannya.
Mata Nara sontak memicing. Sungguh kali ini ia bukan tak asing lagi dengan sosok di hadapannya. Ini sosok orang menyebalkan yang pernah Nara temui sewaktu pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta setelah 5 tahun hengkang.
"Elo!" Cicit Nara hampir tidak terdengar bunyinya hanya pergerakan bibir.
Lelaki dihadapan Nara pun sama seperti dirinya terlihat memicing dan mengenali Nara. Namun tak sampai berkata, lelaki itu langsung merubah ekspresinya datar dan berpaling kemudian memainkan bolanya.
Jadi dia emang bukan mas-mas! Batin Nara memekik.

KAMU SEDANG MEMBACA
LEONNARA (End)
Novela JuvenilNara tidak tahu jika kehadirannya kembali ditengah orang-orang yang sudah lama ia tinggalkan malah mendatangkan suatu masalah. Perasaan sesal dan tidak enak itu datang saat masalah yang seharusnya ia hadapi sendiri malah berimbas pada orang terdekat...