Chapter 1

745 106 50
                                    

___

Nara berjalan lunglai dari tangga menuju dapur. Dipikirannya hanya satu, air. Sudah hampir 2 jam ia terlelap dalam tidur setelah hampir seharian diperjalanan. Tadi saat sampai di rumah bercat abu-abu ini Nara disambut baik oleh 2 ART. Yang satu usianya lebih dari setengah abad, sementara yang satu lebih muda lagi. Nara dilayani dan kemudian diberi kunci kamar yang saat Nara buka pintunya langsung memunculkan dominasi warna pink. Kesukaan Nara.

Tapp.. Tapp.. Tapp..

Nara hanya mengenakan kaus putih tipis dan celana bahan selutut. Rambutnya yang sepunggung masih awut-awutan karena belum sempat disisir. Nara berhenti ketika matanya menemukan sosok yang asing sehingga Nara refleks kembali berlari menaiki anak tangga.

Nara menutup pintu kamarnya kemudian menahannya dengan berdiri dibelakang pintu itu.

"Masa gue kaya gini sih di depan dia?" Monolog Nara. Segera ia menyambar sisir yang entah sejak kapan tau sudah berada di meja rias di kamar barunya itu. Menyisir rambutnya dengan cepat kemudian mengikatnya menjadi satu. Nara berjalan menemui kopernya yang masih berdiri tegap di samping ranjang. Membuka resleting kemudian mengambil sweater hijau army kesayangannya dan segera memakainya.

Nara kembali ke dekat pintu kamarnya. Setelah memantapkan hati dia membuka pintu. Berjalan menuju anak tangga dan mulai menuruninya satu persatu.

"Sayang!" Pekik seorang pria paruh baya dengan kumis dan jenggot tebal juga rambut yang mulai beruban.

Nara meneliti arah suara itu kemudian berlari dengan cepat dan segera membenamkan diri di pelukan pria tua itu.

"Papa!" Ujar Nara senang. Hampir 5 tahun lamanya ia menjadi anak durhaka dengan tidak pernah mau pulang ke Jakarta. Namun hari ini ia membuktikan bahwa sedurhaka-durhakanya Nara, ia masih akan tetap pulang.

"Papa kangen sama kamu." Ucap Wira, Papa Nara yang kemudian menciumi puncak kepala putri satu-satunya itu.

"Nara juga."

Hampir 2 menit mereka berpelukan sampai tidak sadar jika di dekat mereka sudah berdiri seorang lelaki dengan kemeja biru navy yang lengannya digulung sampai seatas siku.

"Ekhem!" Lelaki itu sengaja berdeham, bukan maksud merusak suasana, tapi ia juga ingin dilihat keberadaannya.

Nara mengurai pelukannya. Dilihatnya lelaki itu yang tengah menatapnya dengan tatapan datar.

'Ini pasti dia' , batin Nara.

"Sayang, kenalkan. Ini Nando, anaknya Mami Erine." Ucap Wira cepat seakan tahu jalan pikiran kedua anaknya itu.

Nara menjulurkan tangannya. Walaupun merasa aneh dan asing, tapi ia masih punya moral dan tata krama. "Kinara," ucapnya memperkenalkan.

Lelaki itu mendiamkan hingga 3 detik, kemudian membalas juluran tangan Nara. "Nando."

Pagutan tangan itu terlepas. Kemudian Wira mengajak Nara menuju ruang makan. Katanya pria tua itu sudah sangat lapar semenjak tadi meeting di kantor sebelum pulang dan melepas rindu dengan putrinya itu.

Makan malam keluarga kecil di dalam rumah megah itu berlangsung dengan keheningan. Hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring kaca. Nara tahu betul sifat Papanya. Wira sangat tidak suka ada pembicaraan di meja makan, apalagi sudah ada makanan yang menunggu untuk disantap disana.

Beberapa menit kemudian mereka selesai makan. Nara hendak mengambil piring bekas Papanya sebelum kemudian Nando mengambilnya cepat.

"Biar gue." Katanya.

Nara tidak berkata-kata, ia melihat Nando dengan cekatan menyimpan piring dan gelas kotor itu di wastafel tempat pencucian. Kemudian mencucinya dengan sangat rapi dan menyimpannya di tempat yang Nara baru ketahui.

"Kamu berhutang cerita banyak sama Papa. Kamu masih punya waktu 3 hari sebelum masuk sekolah. Selama 3 hari itu Papa akan cuti kerja, Papa kangen sama putri Papa." Ucap Wira. Berdiri kemudian mengecup puncak kepala Nara.

"Papa ke kamar dulu, mau mandi, gerah. Kamu istirahat aja, pasti kecapekan banget. Papa juga mau istirahat. Kalo perlu apa-apa kamu panggil Bi Irah."

Nara mengangguk. Setelah Papanya masuk ke kamarnya yang berada tepat dibawah tangga, Nara berdiri mengambil piring bekasnya ke tempat cucian. Nando baru selesai mencuci tangan kemudian duduk sebentar di kursi makan tempatnya.

Nara mencuci piring miliknya dengan perasaan tidak enak. Entah mengapa tapi rasanya benar-benar tidak nyaman. Harusnya bukan Nara yang memiliki perasaan seperti ini, tapi cukuplah Nara sadar diri. Selama ini semuanya memang salah dirinya.

___

Esoknya, pagi-pagi sekali Nara sudah berada bersama Wira di taman belakang rumah mereka. Taman itu cukup luas. Ada bagian taman dengan rumput pendek yang sepertinya tempat bermain-main. Kemudian di sebelahnya ada kolam renang berbentuk persegi yang luas. Dan ditengah-tengah antara kolam renang dan arena bermain ada kursi taman yang dilengkapi payung peneduh. Nara merasa nyaman disana. Dibelakang mereka kini ada taman kecil yang dihiasi oleh beberapa macam bunga berwarna-warni.

"Kamu kelihatan senang disana. Apa teman-teman kamu baik semua?" Tanya Wira setelah sebelumnya puluhan pertanyaan ia ajukan dan dibalas Nara dengan santai sambil menyesap susu vanilanya.

Nara mengangguk antusias. "Seneng banget dong Pah. Bahkan Nara sampe harus istiqoroh dulu mau mutusin pindah kesini lagi."

Wira menghela nafasnya berwibawa. Ia tahu sekali perasaan putrinya yang terlihat baik-baik saja itu. Harusnya Wira bisa bertahan lebih lama lagi. Tapi nyatanya, ia hanyalah orang tua yang rapuh. Memiliki restu dari mantan mertuanya untuk dipertemukan kembali dengan putrinya saja ia sudah sangat bersyukur.

"Bukannya kamu punya teman juga disini?"

"Iya Pah. Lily, temen kecil Nara. Semalem Nara juga udah telfon kok. Katanya kalo sempet nanti siang Lily mampir kesini, soalnya dia lagi di rumah sodaranya, ada acara nikahan. Boleh kan?"

"Boleh dong, Papa malah senang kamu punya teman disini. Mungkin kamu bakalan betah dan selamanya akan tinggal sama Papa." Wira menyesap kopinya perlahan. Rasanya nikmat tiada tara ketika memutuskan cuti dan menghabiskan waktu bersama dengan satu-satunya orang yang berharga dalam hidupnya.

"Iya, semoga." Balas Nara. "Pah?" Panggilnya. Ia merapatkan duduknya dengan meja besi itu.

"Hmm?"

"Kak Nando .. kuliah?" Tanya Nara hati-hati. Ia sebenarnya tak ingin menyinggung soal ini disaat ia merasa bahwa Wira sudah memberikan seluruh waktunya khusus untuk Nara saat ini.

"Iya. Dia semester 2. Nando anaknya baik banget. Dia sering nanyain kamu, kenapa gak pernah main ke Jakarta. Kayanya dia senang tahu kamu mau tinggal disini lagi." Ucap Wira dengan berbinar.

Nara hanya tersenyum tipis. Kemudian menunduk menatap ujung kakinya yang dilapisi sendal jepit dengan bandul hello kitty warna ungu.

"Nara juga seneng Pah. Maafin Nara ya, selama ini Nara egois banget." Ucap Nara sedikit parau.

"Gak usah membahas yang lalu lagi, sayang. Yang penting sekarang kita mulai semuanya dari awal."

Nara tersenyum menatap Wira. Air wajah pria tua itu benar-benar menyorotkan kerinduan. Nara tau, bukan hanya dirinya yang merasa kehilangan. Papanya juga pasti merasakan itu, malah mungkin lebih parah darinya.

___

LEONNARA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang