__
Nara kini berada di mobil Leon. Hanya berdua karena Lily sudah pulang duluan walau tadi ikut bersama mereka.
Nara tadi tidak benar-benar pingsan. Dia hanya merasa pusing dan begitu lemas. Karena sebenarnya dia dan Lily turun dari rooftop itu untuk makan siang dan malah bertemu dengan Tata di perjalanan. Tapi setelah Nara rebahan di UKS tadi, Leon sudah membelikannya 2 bungkus roti coklat dan bakso kesukaan Nara.
Kini Nara sudah merasa bugar kembali. Tapi jantungnya selalu saja berdegup sedari tadi. Bahkan kini Leon membelokkan mobilnya dari jalan yang seharusnya. Leon memilih untuk menuju taman kota dimana dia pernah bersama Nara menemui anak-anak disana.
"Kita gak mampir, cuma mau lewat aja." Kata Leon.
Mendengar Leon mengatakan 'kita', membuat Nara semakin merasa salah tingkah. Dia memilih untuk melihat jalanan dari jendela.
"Gue mau minta maaf." Ucap Leon ketika dengan sengaja meminggirkan mobilnya dahulu.
"Untuk apa?" Tanya Nara tanpa melihat Leon.
"Tata." Kata Leon.
Nara menatap Leon. Dia melihat air muka Leon yang sangat menunjukkan rasa bersalah.
"Gak usah minta maaf, gue gak apa-apa." Kata Nara lembut dan tersenyum. Senyuman yang seketika malah berimbas kepada dirinya sendiri. Wajahnya mulai memanas. Sebelum semburat merah itu muncul, Nara kembali menatap keluar lewat jendela.
"Tapi ini semua gara-gara gue."
Ungkapan Leon membuat hati Nara mencelos. Ada perasaan sedih ketika Leon berkata 'gara-gara gue'. Apa mungkin Leon menyesal telah menyimpan perasaan untuk Nara?
"Ini semua takdir." Ucap Nara yang sudah memutuskan untuk menatap Leon kembali.
Leon tersenyum. "Takdir kalau kita akhirnya dipertemukan."
Nara berusaha menahan kegugupannya. Dia berdeham untuk menghilangkan sosok gerogi itu. "Takdir kalau akhirnya gue harus dibenci sama Tata."
Leon merasa sedikit tak rela dengan ucapan Nara. "Tata gak benci sama lo. Dia cuma lagi marah, emosinya gak stabil. Dia slalu terobsesi apapun sejak kecil. Kata Gema, Tata emang sedikit terganggu jiwa emosionalnya." Jelas Leon berusaha untuk membuat Nara tenang.
"Lupain kejadian tadi." Pinta Leon. "Gue masih nunggu jawaban lo."
___
"Lo lagi mikirin apa?" Tanya Nando ketika Nara tengah duduk di sofa ruang keluarga namun pandangannya menatap lurus ke depan.
Nara yang kaget segera mengganti posisi duduk dan kemudian menyalakan tv.
"Gue lagi mikir mau nonton film apa." Ucap Nara beralasan.
Nando hanya mengangguk kemudian ikut duduk di samping Nara.
"Lo malam ini ada janji?" Tanya Nando. Mendengar demikian Nara menoleh menatap lelaki itu bingung.
"Kenapa? Mau ngajak ketemu sama Cilla lagi? Enggak ah, gue males jadi obat nyamuk." Kata Nara cepat.
Mendengar itu Nando terkekeh. "Gue gak bakalan jalan sama Cilla. Gue cuma mau ngajak lo jalan berdua."
"Heh?" Nara sontak kaget. "Kemana?"
"Ke tempat yang lo suka." Kata Nando. Ucapannya seketika mengingatkan Nara pada janji Leon, janji lelaki itu yang akan mengajaknya ke tempat yang dirinya suka.
Nara melamun lagi hingga Nando melambaikan tangan di depan wajahnya.
"Lo kenapa sih?" Tanya Nando sambil terkekeh. Lucu menurutnya
"Eh, gue gak apa-apa kok." Nara tiba-tiba merasa hatinya risih. Dia merasa perlakuan Nando barusan terhadapnya mengingatkan dia dengan Leon. Dan apa yang diucapkan oleh Nando seolah-olah seperti lelaki yang sedang berusaha merayu gadisnya.
Gue mikir apa sih!
"Gue capek banget hari ini, mau istirahat. Sori, ya." Kata Nara memutuskan. Dia memang tak ada gairah untuk pergi dengan Nando malam itu. Hatinya seakan tak rela. Walau pada kenyataannya mereka berstatus sebagai 'kakak-adik'. Ya, walaupun tak sedarah.
___
Bi Irah berlarian bingung. Mang Jajang dan Bi Esih sudah 2 jam yang lalu pulang ke rumahnya meninggalkan rumah Wira. Bi Irah kemudian memutuskan untuk menemui kamar majikan mudanya. Mengetuk pintu itu dan mendapati seorang gadis keluar dengan keadaan yang sedikit berantakan.
"Non, maaf, Nyonya pingsan. Lagi mau dibawa Tuan ke rumah sakit."
Nara yang baru saja terlelap dalam tidurnya dan masih lingung seketika segar kembali mendengar kabar itu.
"Beneran Bi?" Tanya Nara tak percaya.
Bi Irah mengangguk. "Kalau begitu Bibi ke bawah, mau bantuin Tuan."
Sepeninggal Bi Irah, Nara segera berpikir keras. Dia kemudian memutuskan untuk mengambil sweater dan menyisir rambutnya terlebih dahulu kemudian segera berlari menuruni anak tangga dua-dua sekaligus.
Nara menemui Nando yang membawa kunci mobil kemudian berlari ke luar. Nara hanya mengikutinya.
"Pak Abdi baru saja pulang. Kamu mending nyetir mobilnya sekarang. Keadaan Mami kamu semakin memburuk!" Titah Wira kepada Nando yang langsung saja memasuki mobilnya.
Wira sudah membawa Erine ke dalam jok penumpang. Kemudian Nara ikut duduk di samping kemudi.
"Bi, tunggu di rumah dulu. Nanti saya kabari." Ucap Wira sebelum mobil itu melaju keluar pekarangan rumah.
Bi Irah yang berdiri di teras mengangguk dan kemudian mulutnya komat-kamit membaca do'a untuk keselamatan majikannya itu.
Di perjalanan, Nara mengamati jalanan yang sudah mulai sepi. Dia melihat jam digital dari radio mobil Nando yang sudah menampilkan angka 23.13. Nara melirik dari spion tengah dan melihat Wira yang tengah membersihkan hidung Erine dengan tisyu. Erine mimisan dan seketika membuat hati Nara mencelos.
'Mami kenapa?' Bathin Nara.
Tak lama mobil yang dikemudikan Nando sudah sampai di rumah sakit yang berada di pusat kota. Wira segera memanggil perawat dan kemudian mengambilkan ranjang dorong. Erine ditidurkan di ranjang tersebut dan langsung dibawa oleh 3 orang perawat.
"Silahkan tunggu diluar, biar Dokter memeriksanya." Ujar perawat tersebut.
Wira mengusap wajahnya khawatir. Nando menatap pintu ruang periksa yang tertutup. Sementara langsung duduk di kursi tunggu. Hingga beberapa menit pintu ruangan tersebut terbuka dan keluarlah Dokter perempuan bersama perawat yang ikut masuk tadi.
"Gimana dong keadaan istri saya?" Tanya Wira panik langsung menghampiri Dokter tersebut.
"Istri anda baik-baik saja. Dia sudah sadar, tapi masih sangat lemas dan butuh istirahat dahulu sampai 2 jam." Jawab perawat tersebut.
"Boleh saya mengobrol dahulu dengan anda?" Tanya Dokter tersebut. Wira terpaksa mengangguk dan mengikuti Dokter tersebut ke ruangannya.
Sepeninggal Wira, Nando ikut duduk di samping Nara.
"Mami sering pingsan kayak gitu ya?" Tanya Nara. Ia memang melihat Wira begitu khawatir pada Erine, tapi dari raut Nando tampak lebih ringan walaupun dia juga sama-sama khawatir.
Nando mengangguk. "Biasanya kalo lagi kecapekan Mami emang suka pingsan. Tapi tadi Mami mimisan dan kemudian pingsan. Mami jarang mimisan soalnya. Padahal seharian dia gak kerja capek-capek." Ujar Nando menjelaskan membuat Nara mengangguk paham.
"Semoga Mami gak kenapa-napa." Ucap Nara.
"Semoga." Jawab Nando.
Melihat Nara yang menguap, Nando merangkul kepala Nara dan meletakan di dadanya. Darah dalam tubuh Nando seakan berdesir kencang. Bahkan tangannya bergetar saat menyentuh lembut rambut itu.
Sementara yang Nara rasakan adalah kenyamanan. Hingga di detik berikutnya ia sudah memejamkan mata.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
LEONNARA (End)
Teen FictionNara tidak tahu jika kehadirannya kembali ditengah orang-orang yang sudah lama ia tinggalkan malah mendatangkan suatu masalah. Perasaan sesal dan tidak enak itu datang saat masalah yang seharusnya ia hadapi sendiri malah berimbas pada orang terdekat...