___Mereka sudah sampai di Villa besar yang bercat putih dan berhalaman luas di Bogor itu semenjak 30 menit yang lalu. Bahkan semuanya sudah bersih-bersih diri setelah hampir 3 jam merasakan gerahnya perjalanan yang sedikit macet. Untungnya rasa lelah itu terbayar dengan pemandangan puncak Bogor yang sejuk dan udaranya begitu segar. Nindya juga tak henti-hentinya memotret sepanjang jalan dan kemudian menguploadnya di feed instagram.
Milly keluar dari kamarnya seraya mengeringkan rambut dengan handuk. Dia sudah mandi duluan. Semua barang-barang bawaan mereka menjadi tugas anak-anak yang membereskan.
Mario, Papi Nindya sudah menelfon dan sedang dalam perjalanan menuju Bogor. Dengan antusias keempat anak SMA itu membereskan barang-barang mereka. Menata makanan basah di atas meja karena kalo kelamaan di keranjang bisa basi dan bau.
Setelah sholat magrib berjamaah, mereka berkumpul di ruang tengah. Menyetel siaran televisi seperti biasa yang dilakukan Milly di rumahnya. Tak lama pintu depan diketuk dan kemudian masuklah seorang bapak-bapak berkepala pelontos dan perut buncit. Kesan pertama Nara saat melihatnya adalah, mirip dengan Nindya.
Itu Mario, datang setelah sebelumnya mengurus beberapa hal di kantor manajemennya. Tampilannya begitu kusut walau ia tak menyetir sendiri. Beberapa menit setelahnya masuklah Pak Edo, supir pribadi Mario dengan menenteng kantong berisi beberapa ekor ikan segar dan beberapa jagung untuk dibakar.
"Cuma ikan sama jagung aja?" Tanya Milly sambil menghampiri Mario dan bercipika-cipiki dahulu.
"Lha, memangnya apa lagi?" Tanya Mario bingung. "Bukannya tadi kamu cuma nyuruh beli itu."
"Ih, Papi. Inisiatif kek. Beli daging kek buat besok sarapan. Trus ini arang buat bakarnya gimana? Papi lupa beli, ya!" Celoteh Nindya yang juga menghampiri Mario.
Mario menepuk jidatnya yang lebar itu. "Alamak! Bisa lupa Papi." Ujarnya sambil cengengesan.
"Om," sapa Lily seraya menyalami Mario. Kemudian disusul oleh Nara dan terakhir Leon yang langsung dipeluk erat oleh Mario.
"Siapa nama kalian yang cantik-cantik ini, hah?" Tanya Mario seraya meletakkan tangannya di pinggang.
"Lily, om. Temen sekelas, Nindy." Ucap Lily sambil merangkul Nindya.
"Nah, kalo yang ini calon menantu aku." Ucap Milly sambil merangkul Nara. Sontak saja Nara dan Leon menatap Milly dengan tatapan meminta jawab.
"Ish, tante." Cicit Nara merasa malu sendiri.
"Wah, cantik kali ini anak. Pinter-pinter si Leon nyari calon istri." Puji Mario seraya mengelus rambut Nara, namun segera ditepis oleh Milly.
"Nanti Leon cemburu miliknya disentuh om-om tua bangka kayak kamu, ini." Ujar Milly yang hanya ditanggapi Mario dengan tatapan aneh.
Setelah sedikit berbincang mereka langsung menyiapkan panggangan di halaman belakang Villa yang lebar. Pak Edo sudah disuruh pergi ke warung untuk membeli arang. Jika ada yang bertanya kenapa tidak memakai kompor saja, jawabannya simpel. Bakar pakai arang lebih nikmat.
Tugas membakar ikan oleh Pak Edo dan Mario. Sementara jagung oleh Leon dan Nindya. Sementara Lily dan Nara membantu Milly menyiapkan nasi dan sambalnya.
Setelah satu jam lebih akhirnya semuanya sudah siap. Ikan bakarnya sudah diletakkan di atas daun pisang dan ditaruh di atas rumput pendek ditengah halaman itu. Nasinya dibawa oleh Nara kemudian sambal dibawa oleh Lily. Sementara Milly membawa karpet tipis untuk dijadikan alas duduk mereka.
Acara makan malam itu berlangsung dengan nikmat. Sambal buatan Lily yang pedas membuat Mario terus saja berceloteh padahal di mulutnya banyak nasi. Sementara Pak Edo, Leon dan Nindya menertawakan om-om itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEONNARA (End)
Teen FictionNara tidak tahu jika kehadirannya kembali ditengah orang-orang yang sudah lama ia tinggalkan malah mendatangkan suatu masalah. Perasaan sesal dan tidak enak itu datang saat masalah yang seharusnya ia hadapi sendiri malah berimbas pada orang terdekat...