Chapter 13

246 39 2
                                    

Nara meringkuk di paha Lily dengan posisi duduk di bangku taman sekolah. Lily membelai rambut Nara lembut dan mengendus aroma strawberi dari rambut gadis itu. Sementara Nindya berada di bangku yang sebelahnya lagi dengan memainkan ponsel sementara kedua telinganya sudah tersumpal earphone.

"Lo tau kan alesan gue pulang ke Jakarta itu karena apa? Gue ngerasa kalo hati gue udah siap nerima semuanya. Dan buktinya gue sekarang udah sedeket itu sama Nando. Tapi denger Papa tadi bilang itu, entah kenapa hati gue gak rela. Harusnya gue gak egois. Mami yang nemenin Papa selama ini disaat gue dengan teganya ninggalin Papa sendirian ditengah kerapuhannya. Gue emang anak yang durhaka Ly." Ujar Nara dengan suara yang serak.

Lily tau, sahabatnya ini merasakan hal yang pasti akan dirasakan oleh semua anak yang bernasib sama sepertinya. Lily sudah sering menonton film dimana tokohnya memiliki kejadian yang sama dengan Nara. Tidak pernah merelakan ada orang lain yang menggantikan posisi Ibunya.

"Lo belum pernah sama sekali ketemu sama Mami lo?" Tanya Lily hati-hati sambil terus membelai rambut Nara.

Nara terlihat menggeleng. "Gue sering ketemu lewat video call. Itupun tahun-tahun kemaren, setelah akhirnya gue mutusin buat buka hati."

"Lo gak salah apa-apa, gue ngerti hati lo rapuh, Ra." Ucap Lily kemudian. Nara bangkit dan menyenderkan punggungnya di kepala bangku.

"Lo ingetin dong biar gue jangan cengeng, Ly, ah!" Toyor Nara pada lengan Lily sambil terkekeh.

Alih-alih merasa tingkah sahabatnya aneh, Lily malah terbawa suasana. Ia juga sadar, ia belum menjadi sahabat yang baik untuk Nara.

"Bentar lagi bel, gue mau ke kelas sekarang." Ucap Nara kemudian segera berdiri.

"Gue duluan kalo gitu." Putus Nara ketika melihat Lily yang masih duduk dan Nindya yang masih menikmati musiknya.

Nara berjalan dengan langkah yang ia coba biasakan seperti hari-hari sebelumnya ia berjalan di koridor sekolah barunya itu. Tidak ada yang menatapnya intens, memangnya Nara itu tokoh yang seperti apa? Dia sekolah disini mengalir saja seperti yang lain. Seperti anak kelas 10 yang kemudian akrab dengan teman-teman seangkatannya.

"Gue gak liat lo di kantin tadi, Ra?" Tanya Mentari ketika Nara sampai di bangkunya kemudian duduk.

"Gue gak makan, tadi sama temen di taman." Ucap Lily seadanya. Mentari hanya mengangguk mengerti.

"Hari ini free class kok, Bu Rumi juga gak bakal masuk ada urusan penting." Kata Mentari kemudian membuat Nara menghembuskan nafasnya lega. Dia merasa belum siap menerima materi lagi, seperti saat jam sebelum istirahat, Nara hanya memainkan pulpennya tanpa bisa mencerna masuk materi yang disampaikan.

"Baguslah." Ucap Nara berbarengan dengan seseorang di sampingnya. Nara menoleh, sepertinya Nara baru menyadari sekarang jika ia duduk bersama dengan orang itu sedari tadi.

Mentari seakan mengerti situasi, dia segera hengkang tanpa berkata apapun.

"Lo yang ngirim pesan ke gue semalem?" Tanya Nara refleks.

Leon menaik turunkan alisnya, sedikit bingung. "Yoi, kenapa emang? Lo gak usah geer dulu. Gue sebagai temen sebangku musti dan wajib banget punya nomor lo. Siapa tau nanti kita berkepentingan buat tugas-tugas sekolah 'kan. Kaya misalnya gue kelupaan ngerjain PR MTK nih, trus kan gue video call elo buat nyontek jawabannya." Leon cengir gaje. Sementara Nara mendengarkan saja tidak tercerna semua oleh pendengarannya.

Nara bergidik kemudian memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi. Mengeluarkan sebuah buku catatan dari dalam tasnya dan segera menuliskan sesuatu di halaman paling belakang.

Leon mendekatkan wajahnya untuk melihat apa yang Nara tulis, kemudian ia membacanya dalam hati.

Happy birthday Mama ❤️

Leon menjauhkan dirinya dan menyender di kepala kursi. Seketika merasa lancang karena membaca sesuatu yang terlihat seperti privasi. Kemudian tangannya mengetuk-ngetuk meja tanda gabut.

___

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 10 menit yang lalu. Nara baru selesai menyampirkan ransel di pundak kirinya dan keluar dari kelas setelah tadi menyempatkan untuk menghapus bor karena piket. Dia berjalan perlahan hingga akhirnya langkahnya terhenti di parkiran. Hampir saja Nara lupa jika ia bawa mobil ke sekolah. Nara menuju mobilnya yang terparkir di sebelah Mini Cooper berwarna putih yang seketika membuatnya teringat kejadian yang lalu. Kemudian ia terkekeh singkat.

"Kisah lo mengalir gitu aja di kehidupan gue. Kita jadi temen setelah sebelumnya gue berpikir bakal musuhan sama lo. Haha, ah apaansih emangnya gue pikir kita bakal jadi apa setelah gue sama lo musuhan. Aduh, Nara. Stop mikir yang enggak-enggak!" Batin Nara sambil menangkup kedua pipinya dan segera membuka kunci mobil.

"Oh, jadi itu mobil elo?" Suara seseorang dibelakang Nara sontak membuatnya menghentikan aktivitas dan memutar badan 180 drajat. Ada Leon disana sedang berjalan hendak menuju mobilnya yang terparkir disebelah mobil Nara.

"Gue lagi gak mau debat ah," ucap Nara lemas.

"Lho," Leon menaikkan sebelah alisnya. "Emang kapan kita debat?"

Iya juga sih. "Hmm," Nara berdeham acuh  kemudian melirik mobil Leon tanpa sadar. Membuat Leon yang kini baru sadar.

"Oh," lelaki itu terkekeh. "Jadi lo mbak-mbak resek itu ya." Ujarnya entah sedang mengejek atau maksud lainnya.

Nara merotasi bola mata jengah. Sama seperti apa yang dia batinkan sebelumnya. Kisahnya dengan Leon tidak seperti kisah-kisah di novel romansa, mereka ditakdirkan untuk berteman dan semuanya mengalir santay begitu saja.

"Gue duluan kalo gitu." Ucap Nara, sebagai teman satu bangku haruslah Nara bersikap selayaknya mereka teman.

Nara langsung masuk ke mobilnya dan segera memasang seatbelt. Kemudian menstater dan menginjak pedal gas hingga mobilnya melaju meninggalkan Leon dan Mini Coopernya. Nara sempat melirik dari spion depan, lelaki itu melambaikan tangannya rendah kepada mobil Nara yang melaju. Nara mengukir senyuman yang sangat tipis, bahkan hampir tidak dia sadari.

___

Udah dibilang ya kalo cerita ini santay dan gaje karena ngalir gitu aja:v

LEONNARA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang