"Ada kalanya kamu paham bahwa tak semua yang kamu paksakan ada itu baik."
___
Nara berjalan sendirian di jalan komplek rumahnya yang sepi namun terdengar keramaian dari setiap rumah. Dia menenteng kantong kresek putih yang isinya adalah martabak keju dan coklat yang tiba-tiba saja membuat Nara ingin mengadopsinya. Tukang martabak itu dari rumah Nara cukup jauh. Namun Nara tidak takut walau ia jalan tak diantar supir naik mobil. Lagipula menurutnya jalan itu sehat.
Nara baru berbelok untuk menuju gang komplek rumahnya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika dirinya dihadang oleh seseorang dengan sweater hitam yang menutupi kepalanya. Posisi orang itu membelakangi Nara.
Nara terdiam hingga sosok itu berbalik menghadapnya.
"Alvaro!" Pekik Nara kaget.
"Hai, my little angle." Ucap Alvaro yang membuat Nara berkernyit bingung.
"Lo jangan gangguin gue lagi, Ro." Ucap Nara seraya mundur 2 langkah. Alvaro berjalan mendekat 3 langkah.
"Gue cuma mau lihat wajah lo untuk terakhir kali." Ucap Alvaro parau.
Nara sudah tak bisa berpikir jernih. Ucapan Alvaro itu hanya menunjukkan dua sudut, antara dia yang akan pergi atau malah Nara yang dibuat pergi.
"Lo jangan gila!" Sentak Nara. Jalan gang itu benar-benar sepi dan gelap karena rumah gedong yang berada disisi jalan menghadap ke arah lain hingga mereka berada di belakang rumah itu.
"Gue gila karena lo, Ra." Ucap Alvaro sendu.
"Lo jangan nyalahin gue, brengsek! Lo yang bunuh kakak lo sendiri. Alyssa!" Tekan Nara.
Alvaro menggeleng frustasi. "Gue bunuh Alyssa gak sengaja. Dia gak suka sama gue. Sementara dia juga cemburu ngeliat gue sama lo, Ra. Gue khilaf bunuh Alyssa. Gue cuma naruh obat tidur di minumannya. Gue gak tau kalo Alyssa sakit." Alvaro mulai menangis.
Nara mendengar lagi fakta baru dari mulut tersangka itu. "Gue harus laporin lo ke polisi sekarang juga, pembunuh. Lo harus tersiksa sama seperti Alyssa." Nara hendak mengeluarkan ponselnya.
"Lo terlambat. Gue udah serahin diri gue sendiri ke polisi. Lo tenang aja. Gue udah capek, gue pikir gue gak bakalan ketemu lo lagi. Gue seneng waktu tau keadaan lo baik-baik aja. Selama ini gue pergi karena gue takut nyakitin lo. Gue gila, Ra. Gue emang gak waras. Lo bisa hidup tenang mulai sekarang. Gue gak bakalan lagi nemuin lo asal lo janji satu hal sama gue."
Nara mundur lagi 3 langkah menjauh. Alvaro benar-benar membuatnya stres dan ketakutan.
"Lo harus bahagia. Lo juga harus bahagiain Nindy. Dia sahabat lo. Dia cewek yang gue pikir bakal ngegantiin posisi lo di hati gue, tapi gue salah. Gue udah terlalu capek. Gue akting didepan Nindy berpura-pura seolah-olah gue orang baik. Nyatanya gue cuma nyakitin nyokapnya Nindya yang sama-sama gila seperti gue."
"Berhenti ngomong!" Sentak Nara. Dia sudah sangat takut. "Lo bisa pergi sekarang. Gue ngerti apa yang lo mau."
"Oke." Alvaro melangkah mendekati Nara. Nara menahan nafasnya, dia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Jika dia teriak orang-orang akan datang, tapi Nara cukup waras untuk tidak membuat keributan selama Alvaro tidak bermain senjata.
"Gue pergi. I love you." Ucap Alvaro sebelum dia berlari secepat kilat meninggalkan Nara dan ketakutannya.
Nara membuang nafasnya lega. I hate u.
___
Nara ingin pergi ke kantin. Dia lapar setelah seharian mengerjakan kuis matematika. Otaknya sudah penat, tenggorokannya sudah kering dipakai untuk membaca ulang soal. Badannya juga panas dingin karena perutnya sudah meronta minta diberi makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEONNARA (End)
Teen FictionNara tidak tahu jika kehadirannya kembali ditengah orang-orang yang sudah lama ia tinggalkan malah mendatangkan suatu masalah. Perasaan sesal dan tidak enak itu datang saat masalah yang seharusnya ia hadapi sendiri malah berimbas pada orang terdekat...