Untung saja Nara membawa sweater hijau army kesayangannya di dalam tas sehingga kini ia tidak lagi merasa risih ketika sudah akan jalan bersama dengan Leon selepas meninggalkan sekolah. Mereka menuju arah yang berlainan dari arah pulang ke rumah masing-masing. Nara meminta Leon untuk mencari toko karangan bunga. Dia sangat ingin membeli bunga mawar merah.
Setibanya ditoko bunga mereka langsung saja mencari bunga yang Nara mau. Setelah beberapa menit akhirnya mereka sudah keluar dari toko bunga. Nara meminta agar Leon untuk menuju daerah yang dulu menjadi tempat tinggalnya.
Leon hanya patuh, dia menyetir sambil memperhatikan jalan. Hingga 15 menit kemudian Nara meminta Leon untuk stop di sebuah kawasan luas yang ternyata adalah sebuah pemakaman umum. Ya, Nara membawa Leon untuk menuju makam almarhumah Mamanya. Nara ketika ada masalah dan rindu, apalagi karena ada perayaan spesial selalu menyempatkan datang kesini.
Mereka berhenti di sebuah makam dengan nama 'Wina Mariana' tertera di nisannya. Nara segera jongkok, kemudian duduk dengan bertumpu pada kedua lututnya. Menyimpan karangan bunga mawar yang tadi ia beli di depan nisan berwarna putih itu. Kemudian mengusap nisannya lembut.
"Nara dateng, Ma." Ucap Nara lembut.
Leon yang masih speechless langsung ikut duduk bersama Nara. Dia mencabut rumput pendek yang tumbuh disekitar makam tersebut.
"Nara gak tau kenapa sebel banget sama dia, Ma." Nara tertawa renyah. Saat Leon melihatnya, mata Nara sudah berkaca-kaca menahan tangis.
"Nara selalu rindu sama Mama. Tapi Nara juga gak pernah nyalahin Papa atas semua ini. Maafin Nara, Ma. Nara masih belum sepenuh hati balik lagi ke Papa." Nara mengecup nisan tersebut dengan sayang.
Leon hanya mendengarkan, ia tak berani mengganggu Nara yang sedang bercerita panjang lebar. Setelah hampir setengah jam lamanya, kaki Leon sudah kesemutan. Kemudian Nara mengecup lagi nisan Mamanya dengan sayang.
"Selamat ulang tahun, Ma. Semoga Mama tenang disana. Maafin Nara belum bisa jadi anak yang banggain Mama dan Papa. Nara sayang Mama. Nara pengen suatu saat nanti jadi Ibu yang tangguh seperti Mama." Ucap Nara. Kemudian menghela nafasnya sebentar. "Nara pamit dulu ya, Ma."
Nara berdiri. Ketika Leon tersadar dari mengorek-ngorek tanah disekitar makam itu, Leon juga ikut berdiri.
"Udah?" Tanya Leon baru mengeluarkan suaranya.
Nara mengangguk. Kemudian dia berjalan meninggalkan makam tersebut dibuntuti oleh Leon. Mereka berhenti di bangku depan warung kosong di sebrang jalan tersebut. Duduk bersisian dan menatap jalan yang sepi dan hanya 1-2 kendaraan saja yang lewat.
"Makasih udah nemenin, sori tadi lo dikacangin." Kata Nara terkekeh.
"Gak papa, gue baru tau." Balas Leon.
Nara tertawa renyah. "Hari ini Mama ulang tahun, tiap tahun selama di Garut gue sering kesini. Tapi gue gak pernah bilang ke Papa kalo gue ke Jakarta." Ungkap Nara memulai bercerita.
"Lo kenal deket sama Mami Erine dan Nando?" Tanya Nara kemudian menatap wajah Leon.
"Iya." Leon mengangguk membalas menatap Nara. "Semenjak mereka pindah ke rumah lo itu. Dulunya Nando di Swiss sama Maminya. Gue baru tau beberapa bulan kalo ternyata Om Wira itu Papa sambungnya. Dan gue baru tahu setahun yang lalu kalo ternyata Om Wira punya anak perempuan. Lo tau? Nando selalu antusias buat nungguin lo pulang. Gue rasa sekarang pun dia seneng banget punya adek cewek di rumah."
Nara mencerna setiap kalimat Leon. Benarkah seperti itu? "Tapi kalo gue boleh jujur, gue sedikit terganggu dengan keadaan ini."
Leon diam, dia mengerti bagaimana perasaan gadis di hadapannya itu.
"Gue kayak cewek bodoh ya, ngomongin orang ke sahabatnya sendiri." Nara terkekeh. "Tapi asal lo tau, gue gak pernah bener-bener bahagia waktu tau kalo Papa nikah lagi."
"Mama meninggal pas gue selesai ujian SD. Gue langsung drop, dan gitu aja milih tinggal sama Nenek di Garut. Ninggalin Papa. Gue gak pernah mau balik ke Jakarta dan ditemuin Papa ke Garut. Kemudian Papa izin ke gue mau nikah lagi. Walau udah 2 tahun, gue syok. Gue tau emang gue yang salah dan egois, tapi gue emang gak bisa nerima kenyataan itu. Gue awalnya gak mau balik lagi ke Jakarta, tapi gue sering mimpi ketemu Mama. Mama sedih, waktu tau anaknya ninggalin Papanya. Akhirnya setelah pertimbangan, gue coba balik kesini. Walau hati gue gak rela, seandainya gue ngeliat Papa sama istri barunya."
Nara sudah tak bisa lagi kuat, pertahanannya runtuh. Dia menangis dengan kedua tangan yang menangkup wajahnya. Leon kemudian mengelus-ngelus pundak Nara berusaha sedikit menenangkan.
"Gue tau rasanya kayak gimana." Ucap Leon.
Nara menghapus air mata di pipinya. "Gue cengeng banget ya. Padahal orang lain yang juga bernasib sama dengan gue mereka bisa kuat. Emang dasar guenya aja yang lemah." Nara tertawa miris meratapi nasib dirinya sendiri. "Tapi gue juga gak tau kenapa gue kayak gini. Lo ngerti kan, Le?" Nara menatap mata Leon penuh harap.
Leon mengangguk.
"Kalo gitu kita pulang sekarang? Udah mendung, kayaknya mau ujan." Kata Leon.
Nara mengangguk, kemudian berdiri dan bersama Leon menuju mobilnya.
___
"Thanks ya. Lo emang temen terbaik deh." Ucap Nara sambil tertawa. Merasa geli juga dengan ucapannya sendiri.
"Iya. Sekali lagi, kalo lo butuh temen curhat ke gue aja." Ujar Leon menawarkan diri.
"Oke, tapi syarat kalo Lily lagi gak bisa ya. Dia sahabat kecil gue banget."
Leon terkekeh. "Iya. Gue pulang. Lo istirahat."
Setelah mengangguk dan melambaikan tangan, Leon segera menancap gas mobilnya dan meninggalkan rumah Nara.
Nara masuk ke dalam rumah. Beban yang selama ini menghujam pundaknya seakan turun. Rasanya lega dan tenang. Namun baru saja melangkah memasuki rumah, benaknya terpikirkan lagi soal kejadian semalam.
Nara berjalan lebih cepat untuk segera menuju kamarnya. Namun kemudian Nando menghentikan langkahnya yang baru saja berada di anak tangga pertama.
"Kok pulangnya telat?" Tanya Nando.
"Gue abis jalan dulu sama Leon." Ungkap Nara tanpa menoleh kepada Nando. Entah mengapa, mengadu pada Nando tentang Leon membuat dirinya lega. Apalagi setelah tau jika Leon dan Nando berteman, kemungkinan Nando tidak akan menghalangi pertemanan Nara.
"Darimana?" Tanya Nando lagi.
Nara menghembuskan nafasnya panjang. Kemudian berbalik dan melihat Nando yang tengah menenteng gelas berisi kopi susu.
"Gue habis dari makamnya Mama. Hari ini perayaan ulang tahunnya." Ucap Nara jujur. Mendadak ekspresi Nando lebih sendu.
"Kenapa gak ngajak gue? Gue belum pernah kesana." Kata Nando sedikit menyesal.
"Lo bisa pergi bareng Papa nanti, kak." Kemudian Nara melanjutkan langkahnya menuju kamar. Setelah menutup dan mengunci pintunya rapat-rapat, Nara menghempaskan dirinya di atas ranjang. Menutup wajahnya dengan bantal dan kemudian mulai menangis tersedu-sedu.
Untuk kali ini aja sampai bebannya benar-benar runtuh.
___

KAMU SEDANG MEMBACA
LEONNARA (End)
Novela JuvenilNara tidak tahu jika kehadirannya kembali ditengah orang-orang yang sudah lama ia tinggalkan malah mendatangkan suatu masalah. Perasaan sesal dan tidak enak itu datang saat masalah yang seharusnya ia hadapi sendiri malah berimbas pada orang terdekat...