"Ada yang bergetar, tapi bukan alarm."
___
Nara berangkat sekolah diantar oleh Nando. Kata Wira tadi saat mereka di meja makan, Nando hari ini masuk kuliah siang, sementara harus pagi-pagi sekali ke kantor karena ada urusan penting. Karena letak kantor dan sekolah Nara berlawanan dari rumah membuat Nara tak bisa nebeng Wira. Alhasil Nara harus menerima jika ia berangkat bersama kakak tirinya itu.
"Nanti berhenti pas deket gerbangnya aja, kak. Gak usah pas di depan juga." Peringat Nara. Namun karena kesibukan bermain hp sampai tidak sadar jika mobil mereka sudah berada di parkiran dalam sekolah.
Nara dikejutkan ketika Nando menutup pintu mobilnya setelah lelaki itu keluar dan mematikan mesin mobil. Nara celingukan, beberapa pasang mata yang lewat parkiran tak sengaja melirik ke arahnya yang baru saja diantar oleh seorang cowok ganteng. Ada yang berbisik-bisik memuji kegantengan Nando, ada pula yang merasa sirik kenapa Nara bisa diantar oleh lekaki tinggi itu.
Nara buru-buru keluar dari mobil. Dia menyapu pandangan mencari Nando, namun lelaki itu tidak terlihat lagi oleh matanya. Nara menghentakkan kakinya kasar. Niatnya kan tidak mau pamer punya kakak ganteng, kenapa sih malah Nando yang duluan membeberkan pernyataan itu.
Sepertinya Nara lupa jika Nando alumnus.
Nara menyusuri lorong yang sudah ia hafal diluar kepala sebelum akhirnya berhenti tepat di sebuah kelas dan langsung masuk kesana. Atmosfer yang ia rasakan masih asing dan sunyi. Walaupun sudah beberapa hari menjadi murid di SMA ini, Nara belum terlihat akrab sama sekali dengan teman sekelasnya. Kecuali mungkin dengan Mentari dan Yovi. Itupun Yovi yang sangat cuek dan jarang memperhatikan Nara ketika mencoba bercerita.
"Pagi, cantik." Sapa Mentari ketika Nara sampai di bangkunya. Nara membalasnya dengan senyuman. "Pagi juga."
Nara hanya menghabiskan waktu di bangkunya. Mencoba memainkan ponsel barang sejenak sebelum akhirnya bel tanda masuk berbunyi nyaring membuat Nara buru-buru memasukkannya ke dalam tas.
"Selamat pagi anak-anak!" Sapa Bu Rumi, selain sebagai wali kelas 12 IPA 2, Bu Rumi juga mengajar sebagai guru Kimia.
"Pagi, Bu!" Jawab semuanya serentak.
Setelah berbasa-basi sebentar mengenai kelas--karena pada hakikatnya wali kelas pasti akan melupakan materi yang akan disampaikan jika mendapat jam di kelas yang dibinanya--Bu Rumi pun langsung memberi materi. Namun hanya berupa fotocopyan untuk dicatat bergantian kemudian beberapa soal sebagai PR.
"Ibu kurang suka sama posisi duduk kalian." Celetuk Bu Rumi saat Antony si ketua kelas sedang memfoto tugas dari Bu Rumi untuk dishare-nya di grup kelas.
"Ibu kelupaan ngatur posisi kalian. Kelas-kelas yang lain udah rapi." Seru Bu Rumi kemudian mengeluarkan secarik kertas dari map kuning yang dibawanya.
"Ini ibu udah bikin kelompok tugas buat kalian selama beberapa bulan kedepan, mungkin ibu akan mengatur jarak supaya kalian berdekatan dengan kelompoknya masing-masing saja ya."
Yang lainnya hanya menjawab pasrah, namun sebagian terlihat antusias karena mungkin mereka akan disatu bangkukan dengan orang yang tidak disangka-sangka.
"Mila, Mega, Jeny, Rahma, kalian kelompok 1 silahkan di paling kanan." Bu Rumi mulai mengatur tempat duduk. Hingga pada kelompok terakhir nama Nara baru disebut. "Leon, Gema, Kinara, Aditya, kalian kelompok 10 silahkan di pojok paling kiri.
Nara mendesah lemah. Ia tidak perlu pindah lagi karena sudah berada di bangku paling pojok jajaran kedua dari pintu masuk. Karena untuk kelompok 5 dan 10 kebagian tidak berjajar ke belakang melainkan ke samping.
Nara melihat 2 orang lelaki dengan menenteng tasnya masing-masing antusias menuju bangku pojok. Nara bisa menebak orang-orang itu pasti para penghuni bangku pojokan. Namun Nara sama sekali belum mengenal jelas siapa mereka selain salah satunya yang bernama Aditya karena pernah kena marah Mentari ketika berusaha menggodanya.
Nara memainkan puplennya sebelum akhirnya satu orang lagi berjalan menghampiri bangkunya yang kosong. Pasti itu yang namanya Leon.
'Leon!' Pekik Nara dalam hati.
"Hai, mbak-mbak." Goda Leon sambil menaruh tasnya di sebelah meja Nara. Nara menggeser posisinya hingga sedikit menyerong dari arah yang seharusnya. Nara tidak mau dekat-dekat dengan lelaki itu.
Namun untungnya Leon juga tidak berbuat yang aneh-aneh. Lelaki itu malah menyenderkan miring kepalanya ke atas meja selama Bu Rumi masih berbicara di depan kelas. Hingga akhirnya bel pertanda pergantian pelajaran berbunyi nyaring membuat Leon menegakkan badannya cepat.
Baru saja Bu Rumi keluar dari pintu, beberapa anak lelaki sudah mengekorinya dan berlari entah kemana. Sementara Nara meringis, meratapi nasibnya yang harus dipertemukan dengan lekaki yang sebenarnya tidak bermasalah apapun tapi entah kenapa Nara selalu merasa tak nyaman berada didekatnya.
Mentari mendekati bangku Nara, duduk di depan meja Nara yang dulu menjadi tempatnya dan kini sudah di-hak milik oleh Susan, gadis cantik yang berkacamata.
"Sayang banget kepisahnya jauh banget," keluh Mentari. Dia merasa baru saja akrab dengan siswi baru dikelasnya namun harus dipisahkan hanya karena susunan bangku ini. Mentari merasa bahwa ia tidak bisa mendekati Nara lagi sebagai temannya.
"Gue juga gak mau punya temen sebangku cowok! Bisa dituker gak sih?"
"Dulu waktu kelas 11 ada yang nekad pindah bangku tanpa sepengetahuan guru, tapi ujung-ujungnya ketauan. Dan akhirnya malah dia satu bangku sama orang yang paling dia hindarin di kelas, kaya cowok-cowok yang bikin geli gitu lho!" Cerita Mentari seraya mengedikkan bahunya ikut merasa geli.
Nara sedikit terkekeh. "Lagian gue sebelum dipindahin sama orang yang paling gue hindarin juga sekarang udah sama orangnya kali."
"Hah?" Mentari menganga refleks. "Lo ngehindarin si Leon? Kenapa? Padahal anak-anak banyak lho yang ngarep bisa satu bangku sama dia." Celoteh Mentari.
Nara menaikkan bahunya, "Entahlah, gue juga gak tau. Gak enak aja."
Mentari hanya menatap Nara aneh. Kemudian melirik tempat duduk Leon yang sebelumnya pernah dia tempati ketika sedikit cekcok dengan Yovi.
"Lo enak masih sebangku sama Yovi." Tegur Nara merasa iri.
"Yeee, gue juga seneng gak seneng sama doi. Orangnya cuek abis." Ujar Mentari sambil mencebikkan bibir.
"Lo udah lama temenan sama dia?" Tanya Nara mulai kepo.
"Gue sama Yovi satu SMP, tapi belum sedeket ini. Dia anak OSIS, sementara gue ikut ekskul aja jarang-jarang. Beda banget lah. Tapi pas kelas 11 kita sekelas, gue tau dia anaknya udah gak seaktif dulu lagi. Gue awalnya kagum waktu dia sering banget baca buku. Lo tau lah, cowok jaman sekarang jarang banget yang suka buku. Eh ternyata pas kelas 12, gue udah minta sebangku sama dia ternyata anaknya cuek. Trus sekarang yang dibaca bukan buku-buku tebel, tapi komik. Mana komiknya asli pake bahasa jepang lagi. Gue kan kagak ngerti."
Nara menahan senyumnya untuk tidak tertawa mendengar cerita Mentari. Nara bisa menyimpulkan, ada satu perasaan terpendam yang disalah artikan oleh Mentari.
"Lo suka sekarang sama Yovi?"
___
KAMU SEDANG MEMBACA
LEONNARA (End)
Teen FictionNara tidak tahu jika kehadirannya kembali ditengah orang-orang yang sudah lama ia tinggalkan malah mendatangkan suatu masalah. Perasaan sesal dan tidak enak itu datang saat masalah yang seharusnya ia hadapi sendiri malah berimbas pada orang terdekat...