___Sore itu langit masih cerah walau matahari tak menampakkan wujudnya. Nara sedang berada di pusara tempat peristirahatan terakhir Mamanya. Setelah Leon mengantarnya pulang tadi, Nara langsung mengajak Nando untuk menuju makam Wina. Nara masih terbawa suasana dengan pertemuannya di rumah sakit tadi. Dia juga ingin mengunjungi Ibunya.
Nara mengelus nisan bertuliskan nama 'Wina Mariana' itu dengan lembut. Dia hanya diam menatap nisan tersebut selama beberapa menit. Sementara Nando menaburkan bunga yang tadi ia beli di jalan. Jujur, ini pertama kalinya Nando mengunjungi makam Wina. Sebelumnya dia selalu menolak ikut ketika Wira dan Erine akan ziarah kesini. Namun kini perasaannya meluruh, merasa begitu bersalah karena tidak pernah mengunjungi makam Ibu tirinya itu.
"Nara cukup seneng hari ini, bisa ketemu sama Maminya Nindy. Walaupun lebih menyakitkan, nyatanya Nindy lebih beruntung dari Nara. Maminya masih ada, masih bisa Nindy temuin dan peluk penuh kasih sayang." Lirih Nara, berusaha sekuat mungkin agar tidak menangis. Ia hanya ingin berkunjung, bukan ingin membuat Ibunya di Surga bersedih melihat anaknya yang menangis.
"Nando mau minta maaf, Mah. Selama ini gak pernah berkunjung kesini." Ucap Nando membuat Nara meliriknya dan tersenyum.
"Tapi Nando janji, Nando bakal jagain Nara dan menyayangi dia dengan tulus." Sambungnya.
Mendengar penuturan itu membuat Nara ingin mengaku. Tiba-tiba saja ekspresi Nara jadi berbinar dan seolah-olah ia adalah anak kecil yang bercerita karena mendapat nilai ulangan sembilan puluh.
"Mamah tau gak?" Nara memulai bercerita. Sebenarnya dia sering bercerita seperti ini jika mendatangi makam Wina. Nara sedari kecil terbiasa membeberkan semua perasaannya kepada sang Ibu. Maka dari itu, curhat dihadapan gundukan tanah ini menjadi hobi Nara selain hanya mendo'akan saja.
"Nara sekarang punya pacar."
Deg. Seperti ada yang menohok keras dada Nando. Dia awalnya respect mendengar Nara akan bercerita. Namun kenapa setelah mendengar cerita yang keluar ternyata malah menyakiti hatinya.
"Namanya Leon, Mah."
Apalagi mendengar nama Leon disebut. Nando merasa sangat sakit. Dia tau, dia tak ada hak untuk melarang. Tapi setidaknya dia lebih punya hak untuk menjaga Nara karena dia ada ikatan adik-kakak, yang bahkan saat ini tengah Nando perjuangkan menjadi lebih dari sekedar itu.
"Mama inget gak waktu itu Nara pernah kesini bareng dia? Anaknya baik kan. Dia lucu, ganteng juga." Nara terkekeh geli sendiri.
"Dia sayang banget Mah sama Nara. Nara juga sayaaaaang banget sama dia. Sama kayak Nara sayaaaaang banget sama Mama." Nara menjeda kalimatnya untuk mengambil nafas.
"Semoga Mama setuju ya kalo Nara sama Leon. Nara juga gak tau kenapa rasanya adem ketika deket sama dia. Ngingetin Nara dulu sama Mama. Apa mungkin Leon ini sebenarnya malaikat yang dikirim Mama untuk jagain Nara? Jika iya, Nara harap hal itu kekal selamanya."
Gue Ra malaikat yang dikirim Mama, gue yang berhak jagain lo.
"Nara bahagia banget Mah sama Leon. Coba aja dia lebih awal dateng dikehidupan Nara. Mungkin Nara bakal langsung bawa dia ketemu Mama."
Karena gue abang lo, Ra.
"Mah, kayaknya udah dulu cerita Nara. Udah kesorean banget. Nara mau pulang. Mau istirahat dan ketemu Mama lagi di mimpi." Ucap Nara. Dia mengecup nisan Wina selama beberapa detik.
"Nara pamit ya." Nara beranjak. Kemudian diikuti oleh Nando.
"Kita langsung pulang sekarang ya, Kak." Pinta Nara. Nando hanya mengangguk. Sebenarnya ia ingin mengajak Nara berkeliling dulu barang sejenak saja. Ini kesempatan bagus untuknya, terlebih Nara yang mengajaknya duluan untuk pergi.
Tapi mengingat Nara yang seharian ini sudah berpergian pasti sangat lelah. Nando akan mengalah untuk saat ini saja. Dia masih punya kesempatan setiap pagi dan sepulang sekolah Nara. Melihat lugunya gadis itu dengan balutan seragam SMA.
___
"Lo masih sakit, La. Ngapain dateng kesini segala?" Tanya Nando sedikit dingin ketika Cilla tiba-tiba berada di hadapannya dengan kruk alat bantu jalan yang menyangga tubuhnya.
"Aku kangen sama kamu." Ucap Cilla gamblang. Dia bahkan saat ini mengenakan bando yang pernah Nando beri sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-17 tahun lalu.
"Gue gak mau lo temuin." Jawab Nando membuat hati Cilla tergores.
"Kamu khawatir aku kenapa-napa karena bepergian jauh, Do. Bukan karena kamu gak mau ditemuin." Ujar Cilla. Dia dan Nando saat itu masih berada di ambang pintu hingga akhirnya Cilla menerobos masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
Nando yang melihat tingkah itu hanya bisa pasrah dan ikut duduk di sofa yang bersebrangan.
"Kenapa lo selalu berusaha buat gue nyadarin hubungan kita yang dulu, La?" Tanya Nando. Dia sebenarnya jengah jika menuruti ego, dia ingin melupakan Cilla. Kalaupun dia masih sayang, yang ia rasakan kini adalah penyesalan dan rasa tidak pantas lagi menjadi seorang pejuang.
"Karena kamu emang butuh disadarin, Do." Tegas Cilla menatap kedua manik Nando yang segera diputuskan oleh lelaki itu.
"Tapi gue sayang sama Nara, La."
"Aku tau, kamu sayang Nara sebagai adik, dan juga tanggung jawab kamu sebagai seorang kakak." Ujar Cilla seakan tak peduli dan pantang menyerah.
"Di hati kamu cuma ada aku seorang." Ucap Cilla dengan tulus.
Nando menatap Cilla tidak percaya. "Pede gila lo jadi cewek." Ketusnya tanpa sadar. Sejurus kemudian Nando segera menyadari ucapan itu dan meruntuki kebodohannya dalam hati.
Cilla hanya mendengarnya dengan sabar. Dia merasa sakit, itu tentu saja. Tapi dia berusaha tidak menunjukkan efeknya. Lagipula apa yang dipertaruhkan Cilla untuk nekad datang menemui Nando selain karena cinta? Bahkan Cilla harus membujuk Ibunya agar mau mengizinkan Cilla pergi dalam keadaan seperti ini. Cilla hanya ingin Nando sadar dan tidak membuat semuanya berbelit.
"Kalo aku tanya sekarang dan kamu harus jujur, apa kamu masih sayang sama aku?" Tanya Cilla sungguh-sungguh. "Nanti aku kasih jawaban lagi dari jawaban kamu."
Nando terdiam. Seketika hatinya berteriak ingin menyebutkan 'Ya' yang tentu saja langsung ditampik keras oleh egonya.
"Enggak." Jawab Nando cepat.
Cilla menghela nafasnya lega. "Ternyata ini bukan waktu yang tepat. Tapi aku bersyukur kamu udah mau jawab. Setelah ini kamu akan berangsur-angsur mengenali yang sebenarnya."
Nando bingung dengan tingkah gadis itu. Caranya memperlakukan Nando benar-benar berubah dari Cilla yang dulu. Dulu Nando yang lebih sering mengemis-ngemis cinta seperti ini pada Cilla. Nando yang lebih sering berpendapat dan selalu ingin menyadarkan Cilla soal Tata. Tapi kali ini berbanding terbalik, dan persoalan mereka bukan lagi tentang hal sepele itu.
"Aku pulang dulu, kayaknya kamu merasa terganggu." Cilla berusaha berdiri dengan susah payah hingga akhirnya berhasil dan sudah menyangganya lagi dengan kruk.
Cilla beranjak keluar meninggal Nando sebelum lelaki itu berujar.
"Of course."
Cilla hanya menghela nafasnya pasrah. Setelah dia naik ke mobil yang menunggunya di pekarangan rumah itu, tangis Cilla langsung turun berderai. Dia tak kuat lagi dengan semua ini. Tapi apalah daya, jika dia menyerah semuanya akan semakin rumit. Bukan dirinya sendiri yang ia pikirkan. Tapi ini menyangkut hati yang lain.
___
![](https://img.wattpad.com/cover/174362936-288-k633963.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
LEONNARA (End)
Teen FictionNara tidak tahu jika kehadirannya kembali ditengah orang-orang yang sudah lama ia tinggalkan malah mendatangkan suatu masalah. Perasaan sesal dan tidak enak itu datang saat masalah yang seharusnya ia hadapi sendiri malah berimbas pada orang terdekat...