Chapter 13 - Kebencian

4.2K 245 48
                                    

Puji duduk terdiam di ruangannya.

Berbeda dengan dulu saat masih ditempati Aditya, ruangan paling mewah di tempat ini, disulap oleh Puji menjadi ruang kantor yang sesungguhnya. Lengkap dengan komputer, printer, dan berbagai perabot kantornya.

Puji tak pernah bercita-cita menjadi penjaja tubuh moleknya, dia bercita-cita menjadi seorang wanita karir yang mandiri. Kini, dia berusaha mewujudkan impiannya, sekalipun 'karir' yang dijalaninya berbeda dengan yang dia impikan.

"Munding," gumam Puji dengan tatapan mata menerawang.

Saat dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan seperti sekarang ini, Puji kembali mengingat masa lalunya. Penderitaan yang dia alami selama beberapa tahun terakhir dan semua penghinaan yang dia alami, semuanya bermula dari seorang bocah bernama Munding.

Awalnya, Puji dulu bersimpati dengan Munding saat mereka masih SD karena bully-an yang dia alami. Puji juga sempat menaruh rasa kepada bocah itu. Rasa yang timbul dari simpati tak tersampaikan, sama seperti Asma, sahabat terdekatnya. Mereka berdua tumbuh dengan memendam rasa mereka untuk Munding.

Tapi, rasa itu terkikis oleh keinginan Puji untuk menikmati kemewahan dunia seperti kawan-kawannya saat SMA. Keinginan yang terbatasi oleh keadaan ekonominya dan memaksa Puji mengambil pilihan seperti yang dia telah lakukan dulu.

Dan disinilah dia berakhir sekarang.

Dalam sebuah ruangan mewah yang dihuninya seorang diri, mempunyai banyak uang, dikelilingi kemewahan, punya banyak bawahan, tapi Puji merasakan kesepian dan kesendirian dalam dadanya.

Sucipto?

Dia bagaikan sebuah sepeda motor yang datang ke bengkel untuk diservis sebulan sekali. Buang oli yang lama, ganti dengan oli yang baru, kemudian pergi lagi tanpa menolehkan kepalanya sekalipun. Seperti itulah perlakuan dari orang yang mengklaim Puji sebagai wanitanya.

Seburuk-buruknya Puji, dalam hatinya yang paling dalam, dia juga menginginkan seseorang yang dengan sepenuh hati akan memperhatikannya. Menanyainya apakah sudah makan atau belum? Memijat pundaknya, sambil membisikkan kata-kata sayang dengan mesra, ataupun sekedar memeluknya dalam diam tanpa perlu berkata apa-apa.

Puji tahu, di suatu tempat diujung desa ini, Asma mungkin sedang makan malam bersama dengan Munding dan istrinya. Mereka bertiga akan tertawa bahagia dengan menu yang seadanya. Hal yang dia inginkan tapi tak mau dia tukar dengan kemewahan yang sekarang Puji miliki.

Puji mengatupkan rahangnya dan kebencian mulai terlihat di matanya.

"Dunia ini tak adil, aku melakukan semuanya, mengorbankan semua yang aku punya, dan baru sekarang aku mendapatkan apa yang aku miliki. Bahkan dengan sebuah harga kehilangan cinta pertamaku yang tulus tanpa ada pamrih."

"Sedangkan Asma, apa yang dia lakukan?"

"Dia terlahir menjadi anak Carik, dia tak pernah kekurangan materi, dan dia selalu mendapatkan segalanya tanpa berusaha sama sekali."

"Munding memberinya sawah dan tanah warisan keluarganya tanpa Asma meminta, seolah-olah itu suatu kewajaran. Kalau memang wajar, kenapa tak ada yang memberiku harta tanpa pamrih seperti Munding?"

"Mereka memberiku sesuatu selalu dengan meminta imbalan."

"Tubuhku."

"Tak pernah sekalipun ada seseorang yang memberikan sesuatu kepadaku tanpa meminta imbalan."

"Tapi Asma?"

"Asma tidak pernah melakukan apa pun, tapi dia tetap mendapatkan semuanya."

"Asma tidak pernah berkorban apapun, tapi dia tetap lebih kaya dariku."

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang