Chapter 122 - Terdesak

4.3K 235 102
                                    

“Sialan!!” maki Vidyut sekuat-kuatnya.

Di hadapannya berdiri seorang laki-laki paruh baya dengan baju yang sobek disana-sini dan luka di sekujur tubuhnya, tapi laki-laki itu tetap tegak berdiri dengan kuat dan tanpa rasa takut tetap menghadang di depan Vidyut.

Vidyut memang sama sekali tak terluka ataupun menerima serangan yang berarti, tapi bukan berarti dia tak kelelahan. Sedikit banyak, energinya terkuras juga saat bertarung dengan musuhnya ini. Vidyut lalu berusaha untuk mengingat nama laki-laki tua di depannya itu dan satu nama muncul di kepalanya.

Ahmad.

“Ahmad ya? Kau satu-satunya petarung inisiasi yang bisa membuatku kewalahan seperti sekarang ini. Kuakui kau memang hebat. Kau memang pantas dianggap sebagai petarung terbaik pada era-mu,” puji Vidyut kepada Pak Yai.

Vidyut ingin juga bertingkah seperti petarung-petarung heroik di film-film yang memuji kehebatan lawannya sebelum akhirnya menghabisi mereka, agar menimbulkan sedikit kesan dramatis.

Tapi, Pak Yai menatap wajah Vidyut dengan muka datar dan terlihat sedikit bingung. Ketika Vidyut melihat ekspresi kebingungan Pak Yai, barulah dia sadar, percuma saja dia berbicara panjang lebar dengan musuh di depannya sampai mulut berbusa. Karena musuhnya ini tak akan mengerti apa yang dia ucapkan.

Munding?

Ketika pertarungan dengan Vidyut tadi dimulai, Pak Yai dengan tegas berkata kepada Munding, “Lindungi keluargamu!!”

Munding melihat kearah Bapaknya untuk sesaat lalu dia memantapkan hati dan dengan sekuat tenaga berlari menuju ke ruangan tempat keluarganya berada.

Saat itulah pertarungan sengit antara Vidyut dan Pak Yai dimulai.

Sebagai seorang petarung manifestasi, Vidyut sebenarnya kebingungan. Dia tahu kalau musuhnya bukan sepenuhnya petarung inisiasi, tapi Ahmad adalah seorang serigala petarung half-step manifestasi. Seharusnya dia memiliki konsep, tapi sejak tadi, dia sudah memperhatikan dengan seksama konsep apa yang dimiliki oleh Ahmad dan dengan sengaja menahan serangannya. Tapi sampai detik ini, Vidyut belum menemukan konsep apa yang dipakai oleh musuhnya itu.

Semakin lama, Vidyut justru yang merasa semakin marah dan jengkel, karena setiap kali dia menyerang Ahmad dan membuatnya tersungkur, musuhnya selalu bangkit berdiri dan justru terlihat makin bersemangat dan makin bertenaga untuk bertarung dengannya.

Terus seperti itu dan berulang-ulang, Vidyut sudah lupa sudah berapa kali dia membuat lelaki tua itu terkapar di rerumputan, tapi dia akan selalu kembali bangkit berdiri dan kembali menyerang.

Di kepala Vidyut sekarang terbayang seekor hewan yang sangat gigih dan susah sekali dibunuh. Hewan itu adalah kecoa.

“Memangnya ada konsep manifestasi ‘kecoa’?” gumam Vidyut dengan wajah kebingungan.

=====

Bunyi dentuman keras membahana tak terdengar sama sekali saat titik noktah kecil yang berada di ujung jari telunjuk Denise bertemu dengan kepalan tangan Leman yang terlindungi oleh manifestasi intent-nya yang menyerupai tempurung kura-kura milik Leman.

Yang terdengar justru hanya sebuah bunyi retakan kecil tak berarti saja.

Krakkkk.

Sebuah pemandangan aneh kemudian terlihat setelah itu, seorang wanita bule dengan tubuh yang seksi terlihat sedang mendorong telunjuknya ke arah kepalan tangan seorang pria dengan badan berotot dan gempal yang memiliki ukuran tangan dua kali lebih besar daripada tangan si gadis.

Tapi, si gadis dengan percaya diri terus merangsek maju dan menekan ujung telunjuknya ke depan, dan anehnya lagi, jari telunjuk yang lentik itu bagai sebuah benda yang sangat menakutkan bagi si pria gempal yang menarik mundur kepalan tangannya dan bahkan mulai berjalan mundur ke belakang dengan cepat, berusaha menghindari ujung jari telunjuk si bule seksi itu, seolah-olah itu adalah benda yang paling menakutkan di dunia bagi dirinya.

Krakkkk, Krakkk, Krakk, Kraaaaakkkkkk.

Sedikit demi sedikit, dimulai dari ujung kepalan tangan Leman, manifestasi intent-nya hancur berkeping-keping karena tekanan ujung jari Denise. Perisai yang selama ini dia banggakan, sama sekali tak berguna di depan energi yang terpusat dan dimampatkan sedemikian rupa menjadi sebuah titik yang sangat kecil tapi berdaya hancur luar biasa itu.

Denise berhasil memaksa Leman mundur dalam pertarungan mereka.

=====

“Nurul, Alit, Ibu, Amel..”

Munding berteriak dalam hati dan hanya bisa berdoa semoga dia tidak terlambat. Memang jarak antara taman dengan ruangan rawat inap mereka hanya beberapa puluh meter saja, tapi jarak itu terasa sangat jauh sekali bagi Munding.

Meskipun Munding tahu kalau dia sendiri sebenarnya sudah bergerak sangat cepat sekali, jauh melebihi saat dia memasuki mode tarungnya dulu waktu masih berada di tahap awakening atau inisiasi, tapi tetap saja dia merasa dirinya lambat.

Karena Munding takut kehilangan orang yang dicintainya.

=====

“Gadis kecil sepertimu ingin menghalangiku?” tanya Bae kepada Amel dengan Bahasa Inggris yang cukup lancar.

Amel tentu saja tak separah Munding atau Pak Yai, dia mengerti dengan baik apa yang kakek tua itu ucapkan.

“Aku tidak tahu apa yang kalian inginkan, tapi dua orang petarung manifestasi dari faksi militer saat ini sedang menuju kesini. Aku sudah memberitahu mereka,” jawab Amel dengan raut muka yang tegas dan tidak terlihat takut.

Bae memicingkan matanya, kalau gadis di depannya ini tidak berbohong maka dia pastilah punya koneksi yang kuat dengan militer, Bae tak mau mengambil resiko dengan menyebabkan collateral damage yang berpotensi untuk membahayakan dirinya sendiri.

Wusssshhhhh.

Tubuh kakek tua itu kembali menghilang dan tiba-tiba saja dia sudah berada di belakang Amel. Amel yang sebelumnya sudah memasang kuda-kuda, rubuh ke tanah sesaat setelah kakek tua itu melewatinya.

Nurul, Ibu dan dua orang perawat yang melihat kejadian itu menjerit ketakutan. Apa yang mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri saat ini, jauh lebih hebat dan mengerikan daripada film-film laga di layar bioskop.

Jerit tangis keras masih terdengar dari Alit yang berada dalam gendongan neneknya. Nurul yang duduk di kursi rodanya, menjerit sekuat tenaga dan memanggil nama Amel saat dia melihatnya jatuh. Tapi Nurul tidak tahu apakah Amel yang sekarang rubuh di lantai itu masih hidup atau sudah meninggal dunia.

Bae berjalan pelan mendekati Nurul yang sekarang menangis terisak-isak di kursi rodanya. Mukanya terlihat datar dan tanpa emosi sama sekali. Kini si kakek tua itu sudah berdiri di depan Nurul yang masih tetap menangis, antara ketakutan dan kesedihan. Ibu yang menggendong Alit, berusaha untuk mendekati Nurul tapi kedua perawat yang ada sebelahnya memegangi dia.

Nurul melirik ke arah Ibu dan Putranya sesaat lalu dia tersenyum pahit dan Nurul pun memejamkan matanya.

Sedikit emosi terlihat bergejolak di mata Bae tapi dia segera menekannya. Kakek tua itu lalu mengangkat tangan kanannya tinggi ke sebelah atas kepalanya. Seperti sebuah pancung algojo yang siap diturunkan dan mengeksekusi korbannya.

“Aku berjanji ini tidak akan sakit dan akan berlangsung cepat,” gumam Bae sambil mengayunkan tangannya ke bawah.

Cepat.

Cepat sekali sampai gerakan tangannya itu tak terlihat oleh semua orang yang ada dalam ruangan itu.

=====

Author note:

Chapter ke 2 dari 2.

Ummmm. Saya memang suka kentang. Apalagi kalau dibikin perkedel dan dimakan bareng soto Kediri. Mantul.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang