Chapter 69 - Sang Pemimpin

3.6K 239 17
                                    

Aisah aka Shadow dengan cepat meninggalkan kantor tempatnya berbicara dengan pria tadi. Hanya Shadow dan Phantom yang tahu tentang keberadaan kantor itu dan jatidiri sesungguhnya dari pria itu. Dia adalah leader atau pemimpin Chaos yang sesungguhnya.

Tak seperti Phantom yang harus meminta ijin dulu untuk bertatap muka secara langsung dengan sang pemimpin, Shadow dapat dengan mudah dan kapan saja menemui sang leader. Bukan semata-mata karena tahapan manifestasi yang dimiliki oleh Shadow. Tapi karena kedekatan yang mereka punya.

Mereka berdua sama-sama orang yang pernah diselamatkan oleh Izrail semasa muda mereka.

Pemimpin Chaos yang sesungguhnya adalah adek angkat Pak Yai yang berasal dari Sulawesi dan bernama Sulaiman. Dialah orang yang pernah bertemu dengan Munding dan mengajarinya tentang konsep manifestasi. Bahkan Leman juga pernah memperlihatkan sendiri kepada Munding tentang kemampuan dasar yang membedakan antara seorang petarung manifestasi dengan tahapan sebelumnya.

Leman masih ingat sekali pertemuan pertama dengan pria yang di kemudian hari dia angkat menjadi abangnya sendiri. Orang yang dia anggap keluarganya yang paling dekat sampai sekarang.

Berbeda dengan Aisah yang masih menjadi gadis kecil saat pertama kali bertemu dengan Izrail, Leman bertemu Izrail pertama kali di medan perang.

Sama seperti Pak Yai, Leman adalah anak yatim yang dibesarkan dibawah sebuah organisasi yang berafiliasi dengan salah satu agama yang diakui di Indonesia. Pada awalnya, dia dibesarkan layaknya anak yatim piatu biasa. Dibesarkan dengan wajar dan normal, hingga akhirnya sesuatu yang mengubah jalan hidupnya terjadi.

Malam itu, sekelompok orang datang ke panti asuhan tempat dia dibesarkan dan melakukan niat untuk ‘merekrut’ anak-anak untuk menjadi para ‘pejuang’ bersama mereka. Dan Leman adalah salah satu anak yang terpilih untuk menjadi rekrut malam itu.

Hari demi hari dia jalani, minggu demi minggu dia lalui, tahun demi tahun terus berganti, hingga akhirnya, Leman berhasil menjadi komandan pasukan untuk kawanannya. Saat itu, Leman masihlah seorang serigala petarung tahap awakening.

Dan kejadian yang mengguncang sejarah negeri ini pun terjadi.

Tahun 1998.

Ketika di Jakarta terjadi reformasi untuk menggulingkan orde baru. Ketika di sekitarnya terjadi tindakan keji terhadap etnis tertentu yang menyebar hingga ke berbagai pelosok daerah di Indonesia. Pimpinan mereka memutuskan, inilah saatnya menggunakan pedang yang selama ini telah mereka asah dan persiapkan. Inilah saatnya mereka mengaktifkan para pejuang mereka dan memanfaatkan keadaan kacau di pusat untuk keuntungan mereka di daerah.

Leman dan kawan-kawan pejuangnya pun diturunkan untuk memulai perang.

Tugas pertama Leman yang selalu mengguncang nuraninya sendiri sampai saat ini, di harus melakukan pembantaian yang sungguh tidak sesuai keyakinan yang selama ini dia percayai.

Leman mulai memendam kecewa dan kehilangan kepercayaan kepada kawanannya sendiri. Kehilangan kepercayaan kepada pimpinan yang selama ini selalu dia anggap sebagai Bapak yang akan mengayomi semua anak-anaknya dan menunjukkan jalan kebenaran bagi mereka yang tersesat.

Dan pertemuan itu terjadi.

Di suatu petang, di sebuah desa di tengah antah berantah daerah Sulawesi, pasukan Leman yang sedang membakar dan membantai sebuah perkampungan tiba-tiba mendapatkan serangan balasan dari sekelompok orang bersenjatakan seadanya.

Leman saat itu hanya menggelengkan kepalanya dan hanya bisa merintih sedih. Dia seorang serigala petarung, kenapa dia harus menggunakan kemampuannya untuk menghabisi manusia yang tak lebih dari seekor domba di matanya ini?

Tapi tiba-tiba, Leman melihat sosok pria itu untuk pertama kali.

Seorang laki-laki berpakaian putih dan mengenakan celana hitam, sebuah sarung bermotif kota-kotak terselempang di lehernya, sebuah kopiah putih terlihat menutupi kepalanya, jenggot tipis yang hanya beberapa helai terlihat menggantung di janggutnya.

Dan dia tersenyum ke arah Leman dan rekan-rekannya.

Di tangan kanan pria itu terhunus sebuah pedang yang terlihat sama sekali belum digunakan untuk menebas seorang musuh pun karena belum ada tetesan darah disana.

“Namaku Ahmad Hambali, aku datang sebagai perwakilan dari kawanan Muslim. Jika kalian adalah prajurit, hunus senjata kalian! Jika kalian bukan prajurit, lepaskan pedang kalian! Jika kalian menyerah, lepaskan pedang kalian! Siapapun yang tidak memegang senjata di tangannya tak akan kami perangi. Siapapun yang masih memegang senjata di tangan, kami akan perangi,” kata pria itu dengan pelan dan tegas, karena suasana yang tiba-tiba hening karena kedatangannya, suara pelan pria itu bisa terdengar sampi ke tepi kampung kecil yang sedang diserang oleh Leman dan pasukannya.

Sejak beberapa hari lalu saat Leman dan pasukannya menerima misi mereka, ini kali pertama dia berjumpa dengan seseorang yang mengklaim diri mereka sebagai musuh. Selama ini, setiap tempat yang dia dan pasukannya serang, orang-orang itu selalu lari tunggang langgang dan kalang kabut. Melawan sebisanya dan menggunakan senjata seadanya.

Tapi.

Sosok pria yang berdiri seorang diri di tengah jalan dan menghunus pedang di tangannya itu lain. Leman merasakannya sendiri. Naluri serigala petarungnya menjerit-jerit memberikan tanda bahaya agar dirinya segera menyingkir dari hadapan pria yang terlihat tidak terlalu kekar tapi berbadan tegap itu.

Tapi Leman tak gentar, dia menekan rasa takutnya sendiri sekuat tenaga dan mengibaskan pedang di tangannya untuk membersihkan darah yang ada disana. Leman adalah seorang komandan. Di medan perang, saat seorang musuh yang kuat datang, sang Komandan harus maju menghadapinya agar moral pasukannya tetap terjaga. Dan Leman melakukan itu.

Dia merangsek maju sambil menyeret pedang di sebelah kanan tubuhnya dengan ujung pedang membentuk goresan tak berbekas di permukaan jalan aspal yang ada di kampung ini. Maju menuju musuh pertamanya yang bernama Ahmad Hambali.

Leman tak ingat detail pertarungan itu, atau berapa lamakah mereka bertarung, yang dia ingat adalah ending dari semuanya. Leman waktu itu terduduk di atas aspal dengan sebuah pedang yang terhunus dan menempel di lehernya, menimbulkan sebuah luka gores disana.

Pedang Leman sendiri terjatuh saat duel tadi. Jadi dia benar-benar hanya memasrahkan nasibnya ke tangan Ahmad Hambali.

“Kamu menyerah?” tanya Ahmad.

Di sekeliling mereka, pasukan masing-masing juga saling menyerang dan mengayunkan pedangnya. Leman bisa melihat semuanya, bukan seorang dua orang anggota pasukannya yang meregang nyawa. Dan Leman pun akhirnya menganggukkan kepalanya ke arah Ahmad dan memasrahkan semuanya ke Tuhan, karena dia tak pernah percaya kalau pria itu akan benar-benar menepati janjinya saat dia sudah menang dan berada di atas angin.

Dan tak seperti dugaan Leman, Ahmad dan pasukannya tak menyerang siapapun musuh yang meletakkan senjata mereka ke tanah sebagai tanda menyerah. Hari itu, Leman menaruh rasa hormat untuk yang pertama kali kepada musuh-musuhnya. Dan itulah kejadian yang mempertemukan Leman dengan abang angkatnya sendiri, Izrail.

Sebuah pertemuan yang Leman anggap sebagai sebuah penyelamatan dan mengantar Leman menuju sebuah dunia yang baru dan berbeda.

=====

Author note:

Chapter ke 2 dari 2.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang