Chapter 82 - Persepsi

3.4K 221 12
                                    

“Mereka sudah mencobanya,” jawab Munding pendek dan pelan.

Afza dan Arya terlihat sedikit kebingungan dan tak tahu apa yang harus mereka katakan. Nia hanya terdiam saja melihat ekspresi mereka berdua. Dia tahu apa yang sekarang ada dalam kepala mereka, karena Nia pernah mengalaminya sendiri.

“Aku butuh waktu untuk berpikir,” kata Arya pelan dan membalikkan badannya, ingin meninggalkan ruangan ini dan memikirkan ulang semuanya.

Afza sendiri sebenarnya punya keputusan yang sama.

“Aku tahu apa yang kalian pikirkan,” kata Nia pelan.

“Kalian semua dengan semangat dan percaya bahwa misi tim kecil kalian ini adalah sesuatu yang mulia demi bangsa dan negara. Memberantas grup teroris yang menebarkan pembunuhan dan kekerasan demi tegaknya keadilan. Tapi setelah mengetahui kenyataan bahwa semua ini hanyalah bagian dari strategi pucuk pimpinan kalian dalam sebuah permainan sandiwara yang luar biasa besar, kalian pasti gamang dan merasa bingung dengan eksistensi kalian sendiri.”

Afza dan Arya tak menjawab klaim Nia.

“Aku sama seperti kalian,” lanjut Nia lagi tak lama kemudian.

“Aku dan Kakakku, kami berdua adalah korban perampokan dengan kekerasan yang menyebabkan orang tua kami meninggal saat kami masih kecil. Kami tumbuh dan besar menjadi sepasang saudara yatim piatu dengan belas kasihan saudara-saudara kami.”

“Saat itu, kami tumbuh dengan dendam dalam hati dan bercita-cita untuk membasmi kejahatan saat kami besar nanti. Agar kejadian yang menimpa kami tak berulang lagi.”

“Dan kami mewujudkannya. Saat kami dewasa, kami bergabung dengan kepolisian dengan cita-cita mulia untuk mewujudkan mimpi kami. Kami berdua selangkah lebih dekat dengan impian masa kecil kami.”

“Tapi aku dan Kakakku punya jalan hidup yang berbeda. Aku lebih berbakat dibandingkan Kakakku. Saat itu, aku berhasil masuk seleksi tim elite dalam kepolisian, sedangkan Kakakku tidak. Waktu itu aku merasa kalau aku mempunyai anugerah dibandingkan dia dan dengan senang menjalankan semua prosedur untuk bergabung bersama tim khusus itu.”

“Saat itulah aku baru menyadari bahwa apa yang selama ini kami bayangkan adalah sebuah utopia. Omong kosong semu yang dibalut cerita manis pengantar tidur.”

“Semua yang aku percayai hancur waktu itu. Kami, kita semua hanyalah alat. Alat bagi segelintir orang untuk mewujudkan ambisi mereka. Entah dengan tujuan pribadi, kelompok maupun golongan.”

“Kami dipaksa untuk melakukan misi dan tugas yang kadang bertentangan dengan nurani kami. Hingga akhirnya aku bertemu Mas Yasin.”

“Munding, kamu pernah bertanya kenapa aku tega meninggalkan Kakakku?”

“Aku hidup dalam kegelapan dan mengetahui busuknya kenyataan, sedangkan Kakakku hidup dalam cahaya dan menjalani mimpi masa kecilnya. Dia tak pernah tahu dan mengalami apa yang kualami.”

“Meskipun aku harus mengambil keputusan sulit, tapi aku memilih untuk membiarkan Kakakku menjalani mimpi masa kecilnya meskipun itu cuma semenit lebih lama. Biarkan dia hidup dengan mempercayai bahwa apa yang sekarang dia jalani adalah sebuah kebenaran dan mulia.”

Munding pun terdiam, saat dia membayangkan dirinya menjadi Nia, kemungkinan besar dia akan mengambil keputusan yang sama. Nia memilih untuk menjadi penjahat, dan dibenci oleh Kakaknya, agar sang Kakak tahu kalau dirinya adalah seorang pahlawan dengan misi mulia.

Keempat orang itu lalu terdiam setelah itu. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Apa yang benar? Apa yang salah? Apa yang harus dipercayai? Siapa lawan? Siapa kawan? Batas semuanya menjadi kabur dan abu-abu.

Munding mungkin satu-satunya orang dalam ruangan ini yang dengan cepat menguasai dirinya karena dia tak pernah ragu akan jati dirinya sendiri. Dia seorang alpha. Dia sendiri yang menentukan apa yang benar dan salah bagi dirinya.

“Yasin masih hidup. Setidaknya saat Bapak melepaskannya. Bapak memberinya kesempatan untuk berubah. Tapi bukan berarti dia masih bernyawa saat kita sedang berbicara sekarang,” gumam Munding pelan.

“Menurut Bapak, Chaos tak akan membiarkannya hidup setelah apa yang dia lakukan dengan memberikan infomasi yang salah mengenai Bapak dan menyebabkan seorang anggota meninggal dunia dan dua lainnya terluka parah,” lanjutnya lagi.

“Tapi seharusnya Yasin tetap mempunyai kesempatan untuk bertahan hidup, karena Bapak yakin kalau Om Leman tak akan turun tangan sendiri untuk memburu Yasin. Bapak juga tahu kalau mungkin selama ini, sebagian besar sepak terjang Chaos bahkan sama sekali diluar kendali Om Leman.”

“Om Leman??” Nia, Afza, dan Arya hampir berbarengan dan sedikit kaget saat Munding menyebut nama itu.

Munding menggaruk kepalanya sendiri sambil tersenyum pahit, “mungkin kalian lebih mengenalnya dengan nama Sulaiman. Adik angkat Bapak. Aku pernah bertemu dengannya saat dia berkunjung ke rumah Bapak.”

Nia, Afza, dan Arya memasang wajah terpana saat Munding mengatakan kalimat barusan. Sulaiman, pendiri dan pemimpin Chaos, seorang serigala petarung tahap manifestasi yang bahkan kepolisian harus berpikir panjang dan menyusun strategi yang rumit hanya sekedar untuk membatasi sepak terjangnya, berubah menjadi seorang ‘Om Leman’ bagi Munding.

Semua hal berubah sesuai dengan cara pandang seseorang dan dunia berjalan dengan caranya yang misterius.

Mereka baru menyadari maksud kalimat itu sekarang.

Bagi mereka, musuh terbesar mereka saat ini yang mungkin tak akan bisa mereka lawan dengan segenap kekuatan dari tim Merah Putih, Sulaiman, hanyalah seorang paman yang mungkin penuh kasih sayang kepada keponakannya di mata Munding.

“Aku sudah menggenapi kesepakatan kita. Tak ada lagi hutang di antara kita. Mungkin suatu saat nanti kalau aku bertemu dengan Bu Santi, aku akan menyampaikan bahwa kamu baik-baik saja,” lanjut Munding.

Nia tersenyum, “terima kasih, aku yakin kalau Mas Yasin akan bertahan. Dan juga terima kasih untuk perhatianmu kepada Kakakku, dia satu-satunya keluargaku di dunia ini.”

Munding hanya menganggukkan kepalanya lalu berjalan keluar dari dalam ruangan ini. Ruangan tahanan yang menyerupai hotel dan berisi seorang serigala petarung tahap awakening bernama Nia yang sekarang mungkin tak lagi mempunyai manfaat bagi tim mereka.

Afza dengan cepat mengikuti Munding. Dia tak tahu alasannya. Tapi gerakannya itu seakan-akan sebuah naluri dan reflek baginya. Bahwa dia akan selalu mengikuti pria itu, meskipun dari belakang.

Kini hanya tinggal Arya dan Nia dalam ruangan ini.

Arya terdiam dan berpikir sebentar, lalu dia menggunakan microphone kecil yang merupakan alat komunikasi di dalam markas ini dan menghubungi pusat control di lantai satu yang berada dekat dengan ruangan meeting tim mereka.

“Matikan perekam video dalam ruangan ini!” perintah Arya.

Nia hanya diam dan melihat semua aksi Arya tanpa berkata apapun. Dia sudah mendapatkan apa yang dia mau. Sebuah informasi dari Munding tentang belahan jiwanya. Dan dia merasa tenang setelah mengetahui kalau Yasin baik-baik saja.

Beberapa saat kemudian, Arya mendekat dan berbisik kearah Nia, “Katakan padaku, apa yang kamu ketahui tentang militer? Siapa Jenderal yang masuk ke dalam faksi nasionalis dan mana yang tergabung dalam faksi agamis?” kata Arya.

Nia tersenyum, “semua ada harganya. Aku akan memberitahumu, tapi tentu saja itu tidak cuma-cuma.”

Arya lalu terdiam dan berpikir sejenak, “penawaran terbaikku, aku bisa membantumu untuk melarikan diri dari sini.”

Setelah Nia mendengar kata-kata Arya, dengan tersenyum lebar, Nia mengulurkan tangannya dan berkata, “Deal!”

=====

Author note:

Chapter ke 1 dari 2.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang