Chapter 79 - Nia

3.6K 260 39
                                    

"Selamat datang kembali!!" teriak Sunarya aka Arya kepada Munding dan Afza.

"Memang kamu tak cuti?" tanya Afza sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Arya.

"Cuti juga, tapi tak lama. Hanya satu minggu. Tetap harus ada yang berjaga di sini kan?" balas Arya, "Lagian kan tak ada istri yang menungguku di rumah seperti Munding," goda Arya ke arah Munding.

Munding hanya tersenyum mendengar candaan Arya, "Bukannya itu alasanmu saja karena Mia ada disini?" tanya Munding.

"Uhukkkkk," Arya langsung terbatuk ketika mendengar kata-kata Munding yang to the point.

Mereka bertiga pun tertawa bersama setelah itu.

Pagi ini diawali dengan cerah. Mereka bertiga berniat untuk mengunjungi Nia yang sekarang berada di dalam ruangan tahanan khusus yang ada di lantai bawah tanah markas ini. Berada satu lantai dengan ruang interogasi yang digunakan sebelumnya.

Saat mereka bertiga sampai di depan ruang tahanan, dua orang prajurit berseragam dan memiliki tahapan awakening memberikan hormatnya kepada mereka bertiga. Arya lalu masuk ke dalam sel tahanan diikuti oleh Munding dan Afza.

Mungkin tak seperti bayangan setiap orang, yang dimaksud sel tahanan dalam markas Merah Putih ini lebih mirip disebut kamar hotel berbintang dibandingkan sel tahanan dalam rutan atau lapas. Kamar yang rapi dilengkapi dengan fasilitas yang memadai layaknya kamar hotel bintang tiga. Satu-satunya yang kurang tentu saja alat komunikasi dan sarana internet.

Saat mereka masuk ke dalam ruangan, Nia sedang duduk di kursi yang berada di depan sebuah meja yang dilengkapi dengan komputer dan sedang asyik memainkan game di sana. Dia seolah-olah tak mendengar atau mengetahui kedatangan mereka bertiga pagi ini.

"Nia," panggil Arya ke arah gadis itu.

Nia sama sekali tak menoleh dan tetap asyik memainkan permainan yang ada di komputer depannya. Komputer yang sama sekali tanpa ada akses jaringan.

"Nia!!" panggil Arya untuk yang kedua kalinya, kali ini lebih keras dari yang tadi tapi tetap saja tidak digubris oleh Nia.

Arya sedikit terpancing emosinya dan bergerak maju dengan cepat untuk memegang dan memutar paksa tubuh gadis itu ketika dia tiba-tiba merasakan tangannya dipegang dengan kuat oleh seseorang.

Arya menoleh ke arah si pemilik tangan dan sedikit keheranan saat mengetahui kalau itu adalah Munding. Arya melihat ke arah Munding dengan pandangan penuh tanya tapi hanya mendapatkan senyuman dari Munding sebagai jawaban.

Arya hanya menganggukkan kepalanya pasrah dan memberikan kesempatan kepada Munding untuk mencoba berkomunikasi dengan gadis yang menjadi tahanan mereka itu.

"Aku baru saja pulang ke kampungku," kata Munding dengan suara pelan dan seolah-olah tidak ditujukan kepada siapapun.

Suasana kamar juga menjadi lebih hening, hanya suara nafas dan suara mouse yang di klik berkali-kali terdengar memenuhi ruangan ini.

"Saat aku sampai disana, Bapakku bercerita kepadaku," lanjut Munding masih dengan intonasi datar dan pelan, kali ini Munding berjalan-jalan pelan keliling ruangan dan melihat satu persatu perkakas yang ada di dalam ruangan ini.

"Sebelum aku pulang, ada satu tim kecil dari Chaos yang terdiri dari empat orang dan mereka menyerang rumahku," lanjut Munding lagi, dia masih terus berjalan pelan dan mengamati semuanya dengan rasa ingin tahu.

Suara mouse dari tangan Nia juga mulai berkurang. Munding tahu, kalau gadis itu mulai mendengarkan ceritanya.

"Kata Bapak, empat orang itu terdiri dari 1 orang Indonesia, 1 orang Jepang, 1 orang Filipina dan 1 orang Korea Selatan," lanjut Munding lagi.

Kali ini Nia sudah berhenti bermain game dan mendengarkan dengan seksama kata-kata Munding. Tapi dia masih tetap tidak membalikkan badannya dan masih menghadap ke layar komputer.

"Mereka berempat ingin mencelakai keluargaku. Tapi mereka membuat kesalahan fatal. Mereka terlalu meremehkan kemampuan Bapakku. Dari keempat orang itu, 1 orang meninggal, 2 orang cacat permanen, dan satu orang lainnya diampuni oleh Bapakku setelah semuanya berakhir," lanjut Munding lagi masih dengan nada pelan dan datar, seolah-olah sedang membacakan sebuah berita di koran yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan dirinya.

"Bohong!!!" teriak Nia dengan keras dan histeris sambil melemparkan mouse yang dia pegang sedari tadi ke arah Munding.

Tapi, lemparan itu bukan apa-apa bagi Munding. Dia bisa menangkap mouse itu dengan mudah dan baru kali inilah dia melihat lagi sosok gadis yang telah menjadi kekasih Yasin itu sekaligus saudara kandung guru wali kelas Munding saat dia di SMA Harapan Bangsa.

"Kamu mirip sekali dengan kakak kandungmu," gumam Munding pelan dan tatapan mata sedih.

"Diam kau!!" balas Nia dengan histeris.

Nia meloncat dari kursinya dan menyerang ke arah Munding, tapi dengan sigap Afza menghadang gadis itu dan dengan lihai langsung meringkusnya. Afza melakukan kuncian dan membuat Nia tak bisa berkutik lagi dan hanya bisa melotot dan berteriak marah ke arah Munding.

"Bedebah!! Semua ini gara-gara kamu!! Seandainya kamu tak ada waktu itu, aku dan Mas Yasin pasti sudah hidup bahagia dan tenang saat ini," teriak Nia.

"Benarkah?" tanya Munding.

"Kalian tetap bisa melakukannya setelah insiden itu. Lalu kenapa kalian harus bergabung dengan Chaos?" tanya Munding.

"Kalian bisa saja lari dan hidup sederhana dengan apa yang kalian bawa hari itu. Tapi kalian memilih untuk tidak melakukannya. Semua ini adalah pilihan. Pilihanmu dan Yasin. Kita semua berada disini karena konsekuensi dari pilihan yang telah kita buat. Jangan pernah salahkan orang lain untuk keadaanmu saat ini. Kalian sendirilah yang memilihnya!!" kata Munding.

Nia menjadi sedikit tenang setelah mendengar kalimat balasan dari Munding. Sedikit banyak, apa yang dikatakan pria di depannya ini benar. Seandainya saja mereka tidak bergabung dengan Chaos? Seandainya saja mereka memilih untuk hidup sederhana? Seandainya saja ...

Afza melirik sebentar ke arah Munding, "Tumben ni anak agak bijak gitu ngomongnya," gumam Afza dalam hati.

Tapi keadaan tenang Nia tak berlangsung lama, beberapa menit kemudian, dia kembali meronta dengan kuat dan berusaha menyerang lagi. Bukan menyerang Munding tapi menyerang siapapun yang berada di dekatnya, termasuk Afza yang masih memeganginya.

Afza dan Arya jelas kaget melihat perubahan ini, tapi Munding tidak, dia tahu apa penyebabnya. Bagi seorang serigala petarung seperti Nia yang dididik oleh Yasin dengan metode militan. Naluri dan perasaan adalah yang terpenting. Bahkan diatas logika.

Dan kali ini, yang membuat Nia kembali marah dan beringas, tentu saja tentang informasi yang tadi diberikan oleh Munding mengenai penyerangan ke kampung Munding yang ternyata gagal total. Nia pasti merasa kalau semuanya sekarang tak ada gunanya, toh Yasin sudah tewas dan tak ada lagi di dunia.

Seperti itulah tebakan Munding dan tebakan dia memang benar. Nia tak lagi memperdulikan semuanya. Bagi Nia, semua di dunia ini sudah berakhir saat dia memutuskan untuk mencintai Yasin sepenuh hati. Dia tak lagi mempertimbangkan status dan masa depannya sebagai polisi. Dia tak lagi mempertimbangkan hubungan keluarga dengan Kakaknya sendiri.

Bagi Nia, hidup ini cuma berarti satu hal, Yasin. Dan kali ini Yasin sudah tiada, jadi hidup ini bagi Nia sudah tak ada lagi artinya.

=====

Author note:

Chapter ke 2 dari 2.

Sedikit sharing berita gembira. Untuk tag #silat ketiga series Munding punya hasil yang membanggakan.

Munding:MerahPutih di #2
Munding di #3
Munding:Redemption di #6

Ketiga seri Munding Alhamdulillah masuk 10 besar. Terima kasih banyak gaess untuk support kalian.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang