Chapter 103 - Analisa part 1

3.4K 244 37
                                    

“Bagaimana mungkin intent seorang petarung inisiasi bisa sesulit itu untuk dimanipulasi?” gumam Dirman yang dijawab dengan diam oleh kelima orang lainnya dalam ruangan itu.

“Jenderal, tadi di saat-saat terakhir aku mencoba memanipulasi intent Munding, ada sesuatu yang terasa aneh. Seberapapun besarnya intent yang kukirimkan, semuanya seperti hilang tak berbekas,” kata Aisah.

“Aku juga merasakannya,” jawab Dirman pendek sambil memikirkan sesuatu.

“Aku punya beberapa asumsi mengenai kondisi Munding,” kata Dirman setelah terdiam selama beberapa saat.

“Yang pertama, Munding adalah seorang serigala petarung tahap inisiasi dengan potensi yang luar biasa. Bahkan dari info yang kudengar, bakatnya melebihi gurunya. Jadi kita tahu sekuat apa naluri dan kesadaran diri Munding. Kita tak ragu akan hal itu.”

“Yang kedua, kita semua tahu seperti apa perjalanan seorang serigala petarung. Awakening saat kita melakukan kontak pertama kali antara kesadaran diri dengan naluri. Inisiasi saat kita membuat prioritas pilihan antara kesadaran diri dan naluri. Manifestasi saat kita menyatukan kesadaran diri dengan naluri.”

Sebuah kalimat yang pendek dan sederhana tapi tentu saja akan membuat geger semua petarung yang meniti di jalan serigala petarung.

Betapa Munding dulu berjuang dengan keras untuk memahami arti sebuah proses inisiasi. Betapa sampai detik ini, Munding juga belum berhasil menemukan petunjuk yang diberikan oleh Om Leman bertahun-tahun lalu tentang tahapan manifestasi.

Betapa Munding kebingungan saat dia berhadapan dengan para petarung inisiasi dari militer yang lebih mengedepankan logikanya dibanding naluri tetapi tetap berhasil juga terinisiasi. Sedangkan menurut pemahaman Munding selama ini, jalan yang benar untuk mencapai tahapan inisiasi adalah dengan mempercayai naluri predatornya bahkan diatas logika atau kesadaran dirinya.

Munding dan juga para petarung terinisiasi yang menjadi rekan-rekannya dari tim Merah Putih mungkin tak akan pernah tahu kalau proses inisiasi hanyalah sebuah proses dimana kita menentukan apa yang terpenting dan akan menjadi pedoman kita saat mengambil keputusan dalam menghadapi pilihan hidup dan mati.

Tapi saat ini, Dirman mengatakannya seolah-olah itu sebuah pengetahuan yang umum. Yang harusnya diketahui oleh semua orang. Padahal ada berapa ribu serigala petarung di luar sana yang sedang kebingungan dan berusaha mencari jalannya masing-masing.

Tapi semua itu memang demikian, para petarung senior dengan tahapan tertinggi seperti keenam orang yang ada di ruangan ini tahu dengan pasti bahwa seorang serigala petarung harus memahami jalannya sendiri. Mereka juga tahu, misalkan saja, Dirman atau salah satu diantara mereka memberitahukan tentang rahasia ini kepada semua orang. Belum tentu juga mereka akan berhasil naik ke tahapan selanjutnya.

Mengetahui dan memahami adalah dua hal yang berbeda.

Serigala petarung harus memahami jalannya sendiri jika ingin naik ke level selanjutnya. Sang guru hanya akan menunjukkan jalan saja sedangkan si murid diharuskan menempuh perjalanan itu seorang diri.

Seperti itulah jalan seorang serigala petarung.

Dirman melanjutkan lagi diskusi yang dia lakukan untuk berusaha menyadarkan Munding.

“Yang ketiga, kita tahu kalau ada kasus dimana naluri akan memangsa kesadaran diri. Ini sering terjadi saat anak serigala akan melakukan awakening menjadi serigala petarung. Kita menyebutnya berserk, dan korban akan dieksekusi karena dia tak lagi punya kesadaran diri.”

“Tapi, sangat jarang terjadi kasus berserk untuk serigala petarung yang sudah berhasil melakukan proses awakeningnya. Karena pada dasarnya, saat kita berhasil melakukan awakening, naluri sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari seorang serigala petarung.”

“Apalagi untuk serigala petarung inisiasi. Kondisi berserk hampir tidak mungkin terjadi. Kecuali tercipta beberapa kondisi secara bersamaan. Yang pertama, dia harus memilih naluri sebagai prioritasnya. Yang kedua, tercipta suatu kondisi, karena pengaruh lingkungan sekitarnya, nalurinya menguat secara tiba-tiba dan diikuti oleh kesadaran diri yang melemah secara signifikan dalam waktu yang bersamaan.”

“Dan kudengar Munding pernah mengalami ini,” lanjut Dirman.

Kelima orang lainnya masih menjadi pendengar setia sambil berusaha mencerna kata-kata Dirman dan berusaha untuk menebak kemana nanti asumsi Dirman bermuara.

“Dirman, berhentilah berceramah dan segera katakan analisamu. Aku capek menunggu dan berpikir dari tadi,” teriak Nasution memecah suasana hening dalam ruangan ini.

Keempat orang lainnya hanya tersenyum kecut mendengar teriakan Nasution yang membuyarkan konsentrasi mereka. Dirman hanya mendenguskan napasnya ke arah rekannya selama puluhan tahun itu lalu dia menarik napas panjang.

“Analisaku mengarah kepada satu kemungkinan. Bagaimana jika, di saat darurat, di saat Munding menghadapi bahaya yang sangat mengancam jiwanya, nalurinya mengambil keputusan untuk menelan kesadaran diri Munding secara paksa sebagai bentuk penyelamatan diri. Seperti sebuah kerang yang mengatupkan cangkangnya saat merasa terancam bahaya,” kata Dirman.

Suasana hening kemudian tercipta di dalam ruangan itu.

“Tapi, kalau memang seperti itu kejadiannya bukankah seharusnya Munding mengalami berserk?” tanya Pak Yai tiba-tiba.

“Cerdas!!” jawab Dirman sambil menepuk pundak Pak Yai.

“Tapi, bagaimana jika, sedari awal, naluri Munding sama sekali tak ingin menelan kesadaran diri Munding tapi ingin melindunginya dengan jalan berasimilasi dengannya. Ingin menyatu dengannya. Naluri Munding secara alami memulai proses penyatuan dengan kesadaran diri Munding,” kata Dirman yang makin lama terlihat wajahnya makin cerah, seakan-akan dia makin percaya kalau asumsinya semakin mendekati kebenaran.

Ketika sampai di titik ini semua orang dalam ruangan menarik napas panjang dan tanpa sadar mereka semua menggumamkan satu kata secara bersamaan.

“Manifestasi!”

Dan mereka langsung bergidik ngeri membayangkan seorang serigala petarung berhasil masuk ke tahapan manifestasi di usianya yang masih di bawah 25 tahun. Munding akan menjadi petarung manifestasi termuda di Indonesia, bahkan mungkin di Asia.

Kalau memang benar itu terjadi, Munding akan menjadi salah satu petarung yang mendominasi semua petarung lain yang lahir pada era-nya.

“Oke, jangan terlalu senang dulu,” kata Dirman memecah khayalan orang-orang yang ada di dalam ruangan itu.

“Kalian lupa ada satu aspek penting lagi saat seorang serigala petarung mencoba untuk melewati tahapan manifestasi?” tanya Dirman.

Seember air es terasa disiramkan ke kepala masing-masing orang disini setelah mendengar pertanyaan barusan. Betapa mereka tadi bersemangat sekali saat mengetahui bahwa mereka sedang menyaksikan lahirnya petarung manifestasi yang masih sangat muda dan berpotensi.

“Konsep,” jawab Pak Yai sambil tersenyum pahit.

Dirman tertawa kecil saat melihat senyuman pahit Pak Yai, “Ahmad, kenapa senyumanmu seperti itu?” ejek Dirman setengah bercanda.

Semua orang, kecuali Aisah, yang ada di ruangan ini kemudian tertawa kecil sambil melihat ke arah Pak Yai.

Ahmad Hambali, petarung genius pada eranya, gagal melangkah ke tahapan manifestasi karena konsep yang dimilikinya. Karena itu, semua orang tahu kenapa Pak Yai tersenyum pahit saat berbicara barusan.

=====

Author note:

Chapter ke 1 dari 2.

Mmmmm, dan ada tambahan 1 bonus chapter. Dedicated to Dek jijeer yang berulang tahun kemarin.

Sekedar info, dek jijeer adalah salah satu reader setia saya yang membantu menyumbangkan idenya saat pembuatan konsep cerita Munding:MerahPutih ini. Saya juga sudah menyinggungnya saat menulis prolog cerita ini.

Terimakasih banyak untuk semua followers dan readers saya yang terus memberikan kontribusinya dan tidak bisa saya sebutin satu-satu.

Next chapter langsung saya publish. Bonus chapter masih saya tulis separuh. Mungkin agak malam dikit.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang