Chapter 125 - Darkness part 3

4.2K 277 50
                                    

Munding lalu berjalan pelan-pelan keluar dari taman dan masih memperhatikan dengan seksama kedua tangannya sendiri. Garis-garis hitam di pembuluh darahnya sekarang mulai menghilang tapi sebagai gantinya, Munding bisa melihat ada sesuatu yang menyerupai uap panas air yang biasanya terlihat diatas kompor yang mendidih dan menyelimuti kedua lengan itu.

Tapi, kalau uap air yang mendidih itu berwarna bening dan transparan, uap yang sekarang mengelilingi Munding berwarna gelap transparan. Tipis dan mungkin tak terlihat dari kejauhan.

“Inikah manifestasi intent-ku?” gumam Munding dalam hati.

Dia sedikit kecewa ketika melihatnya. Kalau memang benar manifestasi intent-nya hanya berupa uap sederhana yang hampir tak kasat mata ini, sangat jauh sekali dengan manifestasi intent Om-nya yang keras dan terlihat berkilauan. Saat dia melihat Om Leman, Munding seperti melihat ksatria berbaju zirah yang keren.

Tapi, Munding tak bisa mengeluh. Kegelapan adalah intent yang dipilih oleh nalurinya. Intent yang memang secara asli sudah menjadi bagian dari sifat dan karakter dari naluri predatornya sendiri.

Bukan karena pilihan Munding.

Tak seperti para seniornya yang memang memilih dengan masak-masak intent yang sesuai dengan karakter kesadaran diri mereka, sesuai dengan passion yang mereka miliki. Konsep Munding memang mengikuti pilihan dari nalurinya. Munding hanya bisa pasrah menerimanya.

Ketika Munding masih menyesali nasibnya dan membanding-bandingkan konsepnya dengan konsep Om Leman, dia mendengar teriakan keras dari arah depannya. Munding mengangkat kepalanya dan terkejut ketika melihat seorang Bule bertubuh kekar dan besar meloncat kearahnya.

Dan yang membuat mulut Munding terbuka lebar adalah dia melihat dengan jelas si Bule menjentikkan jarinya lalu tiba-tiba saja sebuah bola api besar berwarna merah sudah muncul di atas telapak tangan musuhnya itu.

Genkidama!!” gumam Munding pelan dengan raut muka penuh kekaguman.

Belum sempat Munding mengagumi bola api di tangan musuhnya, benda itu sudah melayang dengan cepat ke arahnya. Munding lalu mengatupkan rahangnya dan bersiap untuk menerima serangan luar biasa ini.

“Ini bukan saatnya bercanda!!” gumam Munding.

Dia tahu serangan yang datang kali ini dapat merenggut nyawanya. Bayangan Nurul dan Alit melintas di kepalanya dalam sekejap, lalu Munding dengan cepat menyilangkan kembali lengannya ke depan. Melihat ukuran bola api dan kecepatan lajunya, Munding tahu kalau dia tak akan punya kesempatan untuk menghindar. Satu-satunya peluang adalah bertahan dan mempercayai konsep yang dimilikinya.

“Naluri-ku, kau yang memilih konsep kegelapan, tunjukkan kepadaku seperti apa kemampuan konsep ini yang sesungguhnya!!” teriak Munding dalam hati.

Booooooooooommmmmmmm.

Munding hanya mendengar suara keras yang memekakkan telinga tapi dia tak merasakan apa-apa. Dia tidak merasakan sakit, tidak merasakan panas, atau juga sensasi rasa yang lain. Dia bahkan seolah-olah kembali merasakan sensasi yang sangat familiar dengannya.

Sensasi rasa yang pernah dia rasakan dalam rentang waktu yang lama sekali saat dirinya terjebak dalam dunia kegelapan saat itu. Sebuah kehampaan, sebuah ketiadaan, murni kegelapan. Tak ada ruang, tak ada waktu, tak ada arah, tak ada rasa, hanya ada kegelapan dan ketiadaan.

Seperti sebuah kekosongan dimana semuanya bermula, sebelum ada benda lain yang tercipta. Hanya ada kegelapan tanpa batas, kehampaan tanpa isi, dan ketiadaan tanpa materi.

Inilah kegelapan yang sesungguhnya. Bukan sekedar gelap karena hilangnya cahaya.

=====

Geoffrey melihat ke arah laki-laki yang masih tegak berdiri dengan kedua tangannya menyilang di depan dada itu dengan pandangan kaget dan takjub.

“Kamu!! Kamu cuma half-step!! Konsep apa yang kamu miliki!!” teriak Geoffrey kesal.

Munding diam tak menjawab.

Pelan-pelan kedua tangannya turun ke samping badannya. Semua orang bisa melihat kalau mata Munding terpejam. Mereka juga melihat ada aura tipis berwarna kegelapan yang menyelimuti seluruh badan Munding. Aura hitam yang awalnya tak begitu kentara tapi semakin lama semakin pekat.

Geoffrey tak mau mengambil resiko. Dengan cepat dia menjentikkan jarinya. Sebuah tombak api tiba-tiba saja terbentuk di atas telapak tangannya.

Geoffrey sudah sangat terlatih dengan konsepnya. Bola apinya tadi memang memberikan kesan dramatis dan sesuai untuk menyerang musuh yang lebih lemah dan jumlahnya banyak karena ledakan yang dihasilkan mempunyai kekuatan yang lemah tapi bisa menyebar ke segala arah dengan area yang lumayan besar.

Tapi, tombak api miliknya yang sekarang dia pegang sangat berbeda. Tombak ini memang dia kembangkan untuk menghadapi lawan petarung manifestasi yang seimbang dengan dirinya dan ditujukan terutama kepada para petarung yang mempunyai konsep defense seperti Munding.

Tombak api yang berujung runcing dan juga ditambah dengan putaran, membuat metode serangan Geoffrey yang kedua ini mempunyai daya hancur terpusat yang memang terbukti mampu mendobrak berbagai konsep manifestasi yang berbasis defense dan menjadi serangan favorit Geoffrey.

Geoffrey kemudian bersiap untuk melemparkan tombak apinya ke arah Munding ketika dia melihat musuhnya itu membuka kedua matanya yang terpejam. Saat Geoffrey melihat mata itu, semua nyali dan keberanian yang dia miliki tadi terbang terbawa angin, hanya ada satu kata yang terlintas dalam kepala Geoffrey saat itu.

“Lari!!!” teriak Geoffrey kencang.

Tanpa berpikir, Geoffrey melakukan itu karena dia melihat sesuatu yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan ditemuinya di tempat ini. Sesuatu yang selalu membuatnya berpikir dan menyadari bahwa sekuat apapun dia berusaha, akan selalu ada orang yang berada diatas dirinya, akan selalu ada orang yang bahkan tanpa berusaha akan dapat dengan mudah mengalahkan dia.

Hanya karena satu kata, sebuah kata yang bisa mematahkan semua logika dan usaha manusia.

Destiny. Takdir.

Geoffrey melempar tombak apinya secara sembarangan ke arah Munding lalu meloncat kebelakang dengan cepat. Tanpa melihat ke arah rekan-rekannya, dia berteriak kencang, “Abort mission!! Run for you life!!

Denise, Vidyut, dan Bae terkejut melihat reaksi Geoffrey yang seperti orang kesurupan dan tiba-tiba membatalkan misi mereka itu. Mereka saling berpandangan untuk sesaat, lalu dengan cepat meloncat pergi ke arah yang berbeda tanpa berkomentar apa-apa.

=====

Inilah kegelapan.

Kegelapan adalah kehampaan.

Kegelapan adalah ketiadaan.

Kegelapan akan menelan semuanya.

Saat itulah Munding merasakan seluruh tubuhnya seperti bergetar karena sebuah kekuatan luar biasa yang ingin berontak keluar dari tubuhnya. Seakan-akan ada sesuatu yang ingin terbangun dan meloncat keluar.

Tapi Munding tahu kalau itu bukan nalurinya. Nalurinya sudah menyatu dengan dirinya. Tak mungkin jika nalurinya masih mempunyai egonya sendiri. Ini sesuatu yang lain.

Dan tanpa berpikir Munding melepaskannya.

Melepaskan semua kekuatan yang terasa berontak dan ingin terbebas dari seluruh tubuhnya itu. Kekuatan yang dia tahu mengalir dalam setiap pembuluh darahnya. Kekuatan yang dia tahu juga memenuhi setiap relung otot dan tulang yang ada dalam tubuhnya.

Saat kekuatan itu terlepas, Munding membuka matanya.

Matanya berubah menjadi hitam pekat sama seperti ketika dia terbangun dari komanya waktu itu. Munding melihat wajah panik si Bule yang melemparkan tombak apinya sesaat kemudian.

Tapi Munding sama sekali tak merasa takut. Seolah-olah dia tahu kalau tombak api itu tak akan pernah bisa melukainya.

Karena dia tahu, untuk saat ini, di tempat ini, Munding adalah kegelapan. Dan tak akan ada yang bisa bertahan dalam dunianya.

=====

Author note:

Bonus chapter untuk semua readers yang selalu setia memberikan supportnya ke cerita absurd ini. Makasih gaess.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang