Chapter 114 - Counter

3.7K 250 14
                                    

"Apakah kamu masih Inisiasi atau sudah melangkah ke tahap Manifestasi?" tanya Aisah.

Semua orang dalam ruangan ini langsung memasang telinga mereka dengan segera. Mereka juga ingin mengetahui jawaban Munding.

"Aku belum masuk ke tahapan manifestasi," jawab Munding pelan setelah berpikir selama beberapa saat.

Fyuhhhhhhhhh.

Terdengar suara orang yang menghembuskan napas panjang. Sebagian diantara mereka ada yang melakukannya karena bernapas lega seperti Paulus Hong, sebagian lagi karena merasa kecewa seperti Pak Yai dan Leman. Sedangkan Aisah dan Cynthia sendiri sama sekali tak bereaksi.

"Tapi," lanjut Munding setelah berhenti beberapa detik.

"Eh?"

Terdengar suara orang yang kaget ketika Munding berkata barusan.

"Prosesnya sudah mulai," kata Munding pendek.

Buahahahahahahahaha.

Suara tawa keras terdengar dari Pak Yai, dengan cepat dia langsung menepuk pundak Munding, "Bagus! Bagus!! Itu baru anakku," kata Pak Yai.

Paulus terlihat menarik napas panjang, "Satu lagi calon petarung manifestasi dari garis keluarga Ahmad Hambali, kalau mereka mau, akan sehebat apa keluarga mereka," keluh Paulus.

Bagaimana tidak, keluarga Hong hanya punya dirinya, dan keluarganya bisa menjadi sebesar sekarang. Sedari dulu, Paulus menggunakan kepalan tangannya untuk mencari nama dan melebarkan jalan bagi usaha dan ekonomi keluarganya, hingga mereka mencapai ke tahap ini.

Tapi,

Keluarga Munding, tanpa menghitung Pak Yai sekalipun, setidaknya sekarang ada 2 orang petarung manifestasi sesungguhnya dan seorang calon petarung yang sedang dalam proses menuju kesana. Kalau mereka mau, menjadi sekaya dan memiliki posisi yang melebihi keluarganya bukan sekedar isapan jempol belaka.

Paulus tahu seberapa besarnya pengaruh kekuatan untuk melancarkan kepentingan pribadi. Karena itu, salah satu kekuatiran terbesarnya adalah nasib keluarga Hong jika suatu saat Paulus meninggal dunia. Tanpa pengganti dirinya yang mampu melewati tahap manifestasi, Paulus bisa membayangkan betapa keluarganya akan menjadi daging domba panggang lezat yang siap disantap bagi musuhnya.

"Mas, jangan buru-buru senang dulu! Mas lupa ya dengan kondisi Mas sendiri?" tegur Aisah ke arah Pak Yai yang terlihat sedang bangga sekali itu dengan pencapaian muridnya.

"Itu kan cerita lama, lagian Munding bukan aku. Aku mungkin gagal dan berhenti di tengah jalan. Tapi Munding tidak akan," jawab Pak Yai.

"Gagal dan berhenti di tengah jalan?" tanya Munding kebingungan ke arah Pak Yai.

"Biar Aisah saja yang jelasin, dari dulu dia yang otaknya paling encer diantara kami bertiga," jawab Pak Yai sambil tersenyum.

Aisah hanya tersenyum mendengar kalimat Pak Yai yang mengandung pujian halus itu. Lalu, Aisah melirik ke arah Cynthia dan menarik napas dalam.

"Cynthia, kamu satu-satunya yang masih berjuang untuk melangkah ke tahapan manifestasi di ruangan ini. Kamu boleh mendengarkan tapi aku minta kamu tetap fokus dan jangan terpengaruh dengan apa yang akan kamu dengar. Tetap yakin dengan jalanmu dan jadikan ini semua hanya sebagai lampu penerangan di pinggirnya. Ngerti?" tanya Aisah ke arah Cynthia.

Cynthia menganggukkan kepalanya, "Iya Guru."

"Munding, Mas Ahmad selama ini hanya mencapai level half-step saja, kau tahu alasannya?" tanya Aisah.

Munding menggelengkan kepalanya.

"Oke, sebelum Tante kasih tahu alasannya, kamu sudah memulai prosesnya kan?" tanya Aisah.

Munding menganggukkan kepalanya.

"Mas Ahmad juga. Dia sudah memulai proses penyatuan antara naluri dan kesadaran diri sejak bertahun-tahun lalu, lebih dulu dibandingkan Tante dan Om Leman," kata Aisah.

"Tapi proses penyatuan itu terhenti di tengah jalan, jadi dia terjebak di level half-step. Inisiasi bukan, manifestasi juga belum," lanjut Aisah sambil melirik ke arah Pak Yai.

"Itu semua karena konsep Mas Ahmad. Konsep sangat penting untuk proses penyatuan naluri dan kesadaran diri. Dan konsep dia tidak sesuai dengan kehidupan bahagia keluarga petani yang kalian jalani. Jadi dia tak pernah membuat kemajuan lagi," kata Aisah.

"Munding, Tante sekarang mau tanya, apa konsepmu?" tanya Aisah.

"Stop!!" teriak Pak Yai.

Semua orang menolehkan ke arah Pak Yai dengan pandangan bertanya-tanya. Pak Yai hanya memasang wajah datar dan tanpa tersenyum.

"Munding, jangan katakan konsepmu dan karakternya kepada siapapun. Sekalipun itu aku yang bertanya. Kau mengerti?" kata Pak Yai ke arah Munding.

Munding terdiam sesaat dan dengan cepat mengetahui alasannya. Konsep adalah jantung seorang serigala petarung tahap manifestasi. Ketika konsep kita sudah diketahui oleh musuh, mereka dapat dengan mudah memikirkan cara untuk meng-counter-nya.

Tak ada yang sempurna.

Semua orang tahu itu, termasuk juga dengan sebuah konsep manifestasi. Semua pasti mempunyai titik lemahnya. Dan untuk mengetahui titik lemah sebuah konsep, kita harus mengetahui karakternya. Karena itu Pak Yai melarang Munding.

Aisah sedikit tertegun lalu dia tersenyum ke arah Pak Yai, "Maafkan aku Mas, aku terlalu excited karena Munding sudah menyusul kita di usianya semuda itu."

"Aku tahu. Jangan bahas ini lagi," jawab Pak Yai.

Paulus hanya memendam rasa kecewanya dalam hati. Untuk sesaat tadi, dia ingin juga mengetahui konsep yang dimiliki oleh calon rivalnya yang masih berusia sangat muda itu. Tapi harapan itu urung menjadi kenyataan.

"Temani istrimu, kami akan mendiskusikan sesuatu disini," kata Pak Yai ke arah Munding.

Munding menganggukkan kepalanya dan meninggalkan ruangan itu. Kini hanya ada lima orang disana, Paulus, Leman, Aisah, Pak Yai dan Cynthia.

"Paulus, pertarungan ini adalah urusan kami. Kamu tak perlu ikut campur dan menyeret keluargamu ke dalamnya," kata Leman.

"Aku mengerti, tapi, biarkan Nurul tetap dirawat disini. Setidaknya kita lebih mudah untuk mengontrol orang-orang yang mendekatinya," jawab Paulus.

"Aku akan membatasi akses untuk tim medis yang akan merawat Nurul. Kami hanya akan menempatkan orang-orang yang benar-benar bisa kami percayai. Kami tidak ingin kejadian ini terulang lagi," janji Cynthia.

Aisah tersenyum dan menganggukkan kepalanya ke arah Cynthia.

"Oke, masalah kesehatan dan perawatan Nurul, kami akan memasrahkannya kepada keluarga Hong. Kami berhutang budi kepada kalian," jawab Pak Yai.

Paulus langsung tersenyum lebar ketika mendengar kata-kata Pak Yai. Hutang budi adalah sesuatu yang sangat berat dan berharga bagi sesama petarung manifestasi. Sebuah hutang budi bisa menentukan nasib seluruh keluarga Hong di saat-saat kritis dan bahaya.

"Aku yakin mereka tak akan berhenti mencoba untuk mencoba mencelakai anakku. Aisah, Leman, aku memohon bantuan kalian," pinta Pak Yai ke arah kedua adik angkatnya.

"Abang ini... Memangnya Abang anggap aku ini siapa? Aku akan menjaga keponakanku tanpa Abang minta," jawab Leman cepat.

Aisah tersenyum, "Aisah akan tetap disini Mas."

"Guru, perlukah kita meminta bantuan militer?" tanya Cynthia.

"Untuk sementara ini tidak perlu. Kita lihat dulu sebesar apa keinginan mereka untuk melaksanakan niatnya," jawab Aisah.

=====

Author note:

Chapter ke 1 dari 2.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang