Chapter 16 - Sampah

4.2K 253 30
                                    

"Maaf. Tidak menunggu lama kan?" tanya Suprapto yang kembali masuk ke dalam ruangan meeting sambil tersenyum ramah.

"Aku barusan menghubungi informanku. Kalian beruntung sekaligus sial ... "

Suprapto sengaja menggantung kata-katanya untuk membuat Pak Yai dan Munding penasaran, tapi mereka berdua terlihat tenang sambil menikmati minuman mereka.

Suprapto menghela napas, "dasar orang-orang aneh," gerutunya dalam hati.

Tapi, Suprapto akhirnya menyerah juga. Dia harus sukses melakukan rencananya kalau ingin mendapatkan pasokan dana melimpah tiap bulannya dari Kafe Aditya.

"Mmmmm. Yang pertama, aku akan memberitahukan kabar baiknya dulu," kata Suprapto.

"Preman berambut gondrong yang menyerang Dek Asma tadi malam sudah kami ketahui identitasnya," lanjut sang polisi.

Pak Yai tersenyum sedangkan ketiga anaknya terlihat kaget. Secepat itu?

Cuma dalam waktu sebuah minuman dibuat dan disuguhkan, identitas pelaku sudah diketahui? Kinerja luar biasa. Coba kalau para pelaku penyerangan Novel Baswedan bisa dilacak dengan cara yang sama.

Suprapto tersenyum lebar melihat ekspresi kaget Munding dan dua wanita di sebelahnya. Kalau Pak Yai, Suprapto tak peduli dengan orang tua itu. Mereka hidup di dunia yang berbeda, bisik Suprapto dalam hati.

"Pelaku penyerangan tadi malam adalah karyawan Kafe yang ada di desa kalian, Sukorejo. Mereka memang bertampang sangar, tapi secara tertulis mereka adalah bagian keamanan Kafe itu," jelas Suprapto, "jadi, kemungkinan terbesar, mereka menyerang Dek Asma atas instruksi atasannya," lanjutnya.

"Aditya?" tanya Asma secara tak sadar.

Tak seperti Munding, Nurul, atau Pak Yai, Asma tumbuh dan besar di Sukorejo sampai sekarang. Tentu sedikit banyak dia tahu tentang Aditya dan hal-hal lain yang terjadi di kampungnya.

"Bukan," jawab Suprapto.

Asma menunjukkan wajah keheranan, "Apa maksud Bapak? Kafe itu milik preman dari kota yang bernama Aditya kan?" tanya Asma.

"Memang betul yang Dek Asma bilang. Tapi sejak sebulan lalu, tempat itu bukan lagi milik Aditya," kata Suprapto.

"Pemiliknya sekarang adalah warga asli Sukorejo yang bernama Puji Astuti," lanjutnya lagi.

Asma dan Munding langsung kaget ketika mendengar nama itu. Nama yang membuat Asma mengingat kembali kejadian terkelam dalam hidupnya tetapi sekaligus yang terindah juga. Kejadian dimana seorang ksatria berbaju zirah dan menunggang kuda putih, menyelamatkan seorang putri yang sedang berada dalam sekapan penjahat dan membuat sang Putri makin cinta pada sang Ksatria.

Klise, terdengar seperti dongeng pengantar tidur yang dibacakan untuk anak-anak oleh orang tuanya. Tapi itu semua terjadi pada Asma, dan lagi, ini kan juga cerita fiksi, jadi harap maklum lah.

"Puji?" desis Asma.

"Dek Asma kenal dia?" tanya Suprapto dengan mata yang bersinar, karena umpan yang dia pasang mulai diendus-endus oleh sang ikan.

Asma menundukkan kepalanya dan tak menjawab. Munding yang ada di sebelahnya menghela napas. Ternyata, penyerangan semalam adalah buntut dari masalah masa lalu mereka semua.

"Itu berita bagusnya, sekarang berita buruknya. Kami dari kepolisian mungkin tidak bisa membantu apa-apa untuk menangkap para pelaku penyerangan," kata Suprapto.

"Apa? Kalian sudah tahu identitas pelakunya tapi tak bisa menangkap mereka? Lelucon apa ini?" sungut Nurul dengan raut muka berapi-api.

Suprapto jelas emosi saat mendengar gadis muda berjilbab ini berani mengkritiknya seperti itu. Tapi saat dia melihat ke arah Pak Yai yang tersenyum simpul dan Munding yang menatap tajam ke arahnya, Suprapto bisa menebak siapa gadis ini.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang