Chapter 64 - Jae part 1

3.6K 220 73
                                    

Jaelani hanya terdiam tanpa menjawab. Sesaat kemudian, sambungan telepon itu terputus meninggalkan Jaelani yang sekarang terlihat sedikit kebingungan.

Jaelani hanya bisa menarik napas dalam sambil melirik ke arah Munding yang masih terbaring dengan tenang di atas ranjangnya sambil tertidur. Seolah-olah tanpa dosa dan tidak menyadari semua perbuatan yang telah dia lakukan. Betapa Jaelani sangat ingin sekali mengambil kursi yang ada di sebelah ranjang dan menghantamkannya ke arah laki-laki yang tertidur nyenyak itu.

Tapi, semua hanya khayalan dan keinginan Jaelani semata.

Jauh panggang dari api, lain yang diharapkan dalam kepala, lain pula apa yang bisa Jaelani lakukan ke laki-laki itu. Dengan tangan yang menahan gemetar karena emosi, Jaelani kembali menarik napas panjang dan dalam mencoba untuk kembali meredakannya.

Setelah beberapa kali menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan menyerupai seorang ibu yang sedang berjuang hidup dan mati saat melakukan persalinan, Jaelani akhirnya berhasil meredakan emosinya.

Afza dan Arya sedari tadi berusaha keras untuk menahan tawa mereka yang hampir meledak. Ekspresi muka Jaelani yang menarik dan menghempaskan napas berkali-kali tadi, tak ada bedanya sama sekali dengan mulut Ikan Mas Koki yang megap-megap di dalam aquarium.

Siapa yang tidak akan tertawa saat melihatnya?

Setelah berhasil meredakan emosinya, Jaelani hanya melirik ke arah Afza dan berkata dengan nada yang berwibawa, “Lupakan yang tadi! Biarkan saja Munding tetap dalam tim!”

Belum sempat Afza memberikan jawabannya, Jaelani langsung memutar tubuhnya dan meninggalkan ruangan ini. Dia sama sekali tak ingin semenit pun lebih lama melihat sosok laki-laki sipil yang sangat dibencinya itu. Dia merasa mual hanya berada dalam satu ruangan yang sama dengannya. Seolah-olah tak tahan karena sesuatu yang sangat membuatnya jijik, bayangan tubuh Jaelani menghilang dengan cepat dari ruangan tempat Munding dirawat.

Beberapa detik setelah Jaelani meninggalkan ruangan, Afza dan Arya saling bertatapan mata secara spontan dan tanpa dikomando, mereka berdua langsung tertawa terbahak-bahak. Afza memegangi perutnya yang ramping karena rasa sakit karena tertawa.

Di saat mereka masih meredakan sisa tertawanya, terdengar suara pelan dari arah ranjang yang membuat Afza dan Arya langsung menolehkan kepala mereka bersamaan.

“Kalian ngetawain apa?” tanya Munding dengan suara pelan.

“Eh? Kamu sudah sadar?" tanya Afza sambil mendekat ke arah ranjang.

Arya hanya mengikuti Afza dari belakang. Dia dan Munding memang bukan orang asing lagi, tapi tentu saja hubungan mereka tak sedekat Afza dan Munding yang memang kandidat dari angkatan yang sama. Jadi Arya membiarkan Afza yang mendekat dan menanyai Munding.

“Hmmm. Tadi, tiba-tiba saja ada suara tertawa yang masuk ke dalam mimpiku dan tidak bisa kuhilangkan. Lalu aku terbangun,” kata Munding dengan wajah serius, terlihat kalau dia memang jujur.

Afza menanggapi perkataan Munding dengan berbeda. Mukanya tiba-tiba bersemu merah setelah mendengar kata-kata Munding, padahal Munding sama sekali tak bermaksud apa-apa.

Arya hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Afza. Dengan cepat dia menggeser tubuhnya dan berdiri di sebelah Afza. Dia lalu mendekat ke arah Munding dan berkata pelan, “Kamu sudah siuman kan?”

“Jelas lah, kan sekarang kita sedang ngobrol?” jawab Munding kebingungan.

Arya menggaruk-garuk kepalanya, “iya juga ya?” batinnya dalam hati.

“Maksudku, gimana perasaanmu setelah tak sadarkan diri selama beberapa jam tadi?” tanya Arya.

“Biasa saja. Seperti orang yang sedang bangun tidur,” jawab Munding.

“Hmmm. Syukurlah kalau begitu,” jawab Arya sambil menarik napas lega.

Arya lalu memberikan isyarat kepada Afza untuk memberikan gelas air putih yang berada di atas meja sebelah ranjang. Afza mengambil gelas itu lalu memberikannya kepada Munding. Munding lalu meminumnya setelah menegakkan badannya dan kembali memberikan gelas itu keapda Afza sambil mengucapkan terima kasih.

“Kamu ingat nggak apa yang terjadi sebelum kamu tak sadarkan diri?” tanya Arya dengan muka serius ke arah Munding.

“Ingat,” jawab Munding pendek dan tegas.

Arya dan Afza sediki terkejut saat mendengar jawaban Munding. Mereka memang pernah mendengar cerita tentang kondisi ‘berserk’ seperti yang dialami Munding tadi, tapi menurut informasi yang mereka dapat, orang yang berhasil sadar setelah mengalami berserk biasanya selalu mengatakan kalau mereka tak mengingat apa pun saat mengalami itu.

Karena itu, kata-kata Munding barusan membuat mereka terkejut.

“Kamu serius?” tanya Arya.

Munding menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

“Berarti kamu tahu kalau kamu telah melukai Mia?” tanya Arya.

Munding kembali menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Arya menghembuskan nafas panjang setelah mengetahui jawaban Munding. Tapi, sesaat kemudian, tubuh Arya bergetar kuat dan tiba-tiba saja ada emosi amarah yang memuncak dan terlihat jelas dari raut mukanya. Afza yang bediri di sebelahnya juga kaget ketika dia merasakan intent yang penuh amarah dari Arya yang berdiri di sebelahnya.

“Kalau kamu sadar, kenapa kamu melakukannya?” tanya Arya dengan suara yang dalam dan pelan sambil menatap tajam ke arah Munding.

Arya sama sekali tak habis pikir, “Apakah benar sesuai dugaan Komandan Jaelani, bahwa Munding adalah sebuah variabel tak terduga yang membahayakan bagi keselamatan seluruh anggota tim,” batinnya dalam hati.

Munding terlihat bingung sesaat ketika melihat reaksi marah Arya lalu dia tersadar. Munding bisa memaklumi kemarahan Arya setelah melihat rekannya diserang membabi buta oleh Munding hingga terluka parah seperti Mia. Jika Munding berada di posisi Arya, dia juga akan melampiaskan amarahnya seperti Arya.

“Maafkan aku. Aku memang sadar. Aku juga terjaga selama kejadian itu,” jawab Munding pelan dan membuat Arya terdiam.

Kalimat Munding yang menggantung, membuat Arya dan Afza makin penasaran sambil mendengarkan dengan serius.

“Tapi aku sama sekali tidak bisa mengendalikan diriku,” lanjut Munding.

Afza dan Arya berusaha mencerna maksud kata-kata Munding barusan. Lalu dengan muka masih diselimuti kebingungan, Afza menggumamkan sebuah kalimat, “aku tak mengerti maksudmu.”

Arya melihat sekilas ke arah Afza lalu kembali memusatkan perhatiannya kepada Munding yang sekarang duduk di atas ranjangnya itu.

Munding menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal sambil menundukkan kepalanya dan mencoba mencari cara untuk menjelaskan kondisi yang dialaminya tadi. Munding juga tak mau membuat dirinya dipersalahkan karena telah melukai Mia. Bukan berarti dia tidak mau bertanggung jawab, dia hanya ingin tidak terjadi kesalahpahaman lebih lanjut dengan rekan-rekan timnya yang lain.

“Begini. Rasanya itu seperti ...” Munding kembali terdiam dan mencoba berpikir keras.

“Seperti?” tanya Afza dan Arya berbarengan.

“Seperti seolah-olah kita berada di tubuh orang lain. Jadi, kita bisa melihat dan mendengar semua yang terjadi di sekitar kita. Mengetahui semua yang kita lakukan dengan tubuh dan tangan kita, tapi kita sama sekali tidak bisa mengendalikan tubuh yang sekarang kita tempati.”

“Kita seolah-olah sedang melihat sebuah film, tapi dengan sudut pandang orang pertama.”

“Aku juga sudah mencoba berteriak dan mengambil alih kendali tubuhku sendiri. Tapi semuanya gagal. Sampai ...” kalimat Munding kembali terhenti.

=====

Author note:

I'm back.

Gimana liburan kalian gaess?

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang