Chapter 88 - (blank) part 1

3.1K 217 133
                                    

Author note:

Kalian tidak lupa kalau cerita ini ratingnya mature karena mengandung unsur violence kan?

You've been warned.

=====

“Lari!! Sejauh dan secepat yang kalian bisa!!” bisik Munding kepada semua anggota timnya melalui alat komunikasi mereka dengan suara bergetar.

Suara Munding terdengar bergetar karena tegang dan gugup. Dia tahu kalau saat ini, dia sedang berhadapan dengan musuh terkuat yang pernah dia hadapi. Dan Munding sendiri tidak yakin kalau dia bisa selamat kali ini.

Keempat rekan Munding seperti mendapatkan sebuah siraman air dingin di kepala mereka ketika mendengar peringatan Munding barusan. Mereka tahu kalau setiap detik saat ini adalah sangat berharga dan menentukan hidup mereka.

Arya dan Mia yang tadi hendak turun dari mobil dengan cepat kembali masuk ke dalam dan menyalakan mobil mereka. Raut muka tegang terlihat di kedua orang itu. Sama seperti Munding, para serigala petarung inisiasi ini memiliki instinct dan naluri bertahan hidup yang sangat peka. Mereka tahu kalau musuh yang ada di depan mereka ini dapat dengan mudah menghabisi mereka.

Ardian dan Ridwan yang tadi sudah berada di halaman musala dan sedang melayangkan serangan ke arah Clown dengan cepat memutar tubuh mereka dan berlari berpencar dengan dua arah yang berbeda. Mereka tidak peduli lagi dengan Clown, Yasin, atau Nia. Cuma satu kata yang ada di kepala mereka saat ini.

Lari!!

Munding pun mengambil keputusan yang sama sesaat setelah memberikan peringatan tadi kepada rekan-rekannya. Dia memutar tubuhnya dan memaksa seluruh otot tubuhnya untuk bekerja maksimal untuk pergi meninggalkan tempat ini.

Ini kali pertama Munding melarikan diri dari pertempuran melawan seorang musuh. Tapi apakah sebuah pertarungan masih bisa dikatakan pertempuran ketika satu pihak mendominasi pihak yang lain tanpa memberikan peluang untuk menang?

Karena itu adalah sebuah pembantaian.

Hikari tersenyum melihat ikan-ikan itu berenang kesana kemari berusaha menyelamatkan dirinya masing-masing. Dia membuka kain lusuh yang digunakan untuk membalut katana yang dipegangnya.

Sebuah katana yang terlihat usang dan kuno kini berada di tangan Hikari. Dia lalu menarik bilah pedang tersebut dengan tangan kanannya dan mengangkatnya ke atas tegak lurus dengan badannya.

Sebatang rokok masih tetap setia menemani senyuman di bibir Hikari. Lalu dengan gerakan pelan, dia mengayunkan katana itu ke bawah, seperti gerakan seorang tukang kayu yang sedang membelah kayu tapi dengan menggunakan satu tangan saja. Ayunan itu ditujukan kearah mobil yang ditumpangi oleh Arya dan Mia.

Serangan itu terlihat pelan dan sederhana. Bahkan seolah-olah seperti seorang anak kecil yang iseng mengayunkan pedang mainannya. Tapi, ketika Hikari mengayunkan bilah katana yang dipegangnya, sebuah bayangan tipis dan transparan yang menyerupai lengkungan pedang melayang lurus ke arah mobil yang menjadi sasaran pedang Hikari.

Arya dan Mia yang sudah berhasil menyalakan mobil mereka dan berniat meninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja merasakan naluri mereka menjeritkan tanda bahaya. Serentak mereka melihat ke arah Hikari dan menyaksikan saat dia melakukan serangan kearah mobil yang mereka naiki.

Ketika Arya dan Mia melihat benda transparan yang melayang cepat ke arah mereka, dengan serentak mereka berdua membuka dan meloncat keluar dari mobil. Sesaat kemudian, mobil yang tadi mereka tumpangi, kini terbelah menjadi dua karena benda transparan yang keluar dari katana musuh mereka.

“Itu? Manifestasi Intent?” desis Arya dengan suara bergetar, kini ada sedikit ketakutan di sana.

Arya dan Mia lalu saling berpandangan dan mereka cuma bisa menarik napas panjang. Kini mereka tahu alasannya kenapa seberapa banyak pun petarung inisiasi, di hadapan seorang petarung manifestasi, jumlah tak lagi signifikan. Kedua tahapan itu bagaikan sebuah jurang pemisah antara kehidupan nyata dan khayal, antara manusia biasa dan super hero di film aksi.

Meskipun terlihat sangat lama, namun sejak tadi Hikari mengayunkan pedangnya sampai akhirnya dia menghancurkan mobil Arya, semua itu hanya membutuhkan waktu tak lebih dari dua detik saja.

Semuanya berlangsung dengan cepat dan terasa sangat natural.

Hikari tersenyum saat melihat tak ada lagi semangat bertarung dari Arya dan Mia. Dia tak menyerang mereka berdua lagi lalu berjalan ke arah musala. Ardian, Ridwan, dan Munding melarikan diri ke arah yang berbeda. Ridwan yang paling cepat dan sudah meninggalkan tempat ini sejauh puluhan meter.

“Ich,” Hikari mendecakkan lidahnya dan sedikit tak senang melihat buruannya berusaha melarikan diri.

Si Samurai ini lalu meletakkan katananya di bahu sebelah kanan dengan bagian tajamnya menghadap keatas lalu meludahkan puntung rokoknya ke tanah. Dia menggunakan kaki kanannya untuk mematikan rokok itu dan sekejap mata kemudian dia menghilang.

Ridwan melirik ke arah belakang dan sedikit bernapas lega ketika dia tidak melihat seorang pun mengejar dirinya. Dia juga melirik ke arah Ardian dan Munding lalu dia tersenyum.

Ada satu prinsip yang Ridwan percayai selama ini tentang melarikan diri, ‘Kamu tidak perlu menjadi yang tercepat untuk bisa melarikan diri dari kejaran musuh, tapi cukup menjadi lebih cepat daripada yang lain, karena mereka lah yang akan menjadi korban lebih dulu’.

Karena itu dia tersenyum saat melihat Munding dan Ardian terpaut beberapa meter lebih lambat dibanding dirinya. Ridwan kemudian dengan bersemangat kembali menoleh ke depan dan berniat untuk menambah kecepatan larinya.

Tapi Ridwan melihat sesuatu yang aneh.

Sebuah tubuh tanpa kepala berlari dengan cepat di depannya. Darah segar mengucur dari leher tanpa kepala itu. Beberapa langkah setelah itu, tubuh tersebut tersungkur ke tanah.

Tewas bersimbah darah.

Ridwan juga melihat pria itu berdiri di depannya. Pria berbaju aloha dan sedang memegang katana di tangannya. Darah segar terlihat menetes dari bilah pedang itu. Dan pria itu tersenyum ke arah Ridwan. Sebuah senyuman yang ditemani tatapan mata sebuah permintaan maaf.

“Kenapa kamu meminta maaf?” batin Ridwan keheranan.

Dan tiba-tiba Ridwan tersadar, dia melirik ke arah tubuh tanpa kepala bersimbah darah itu. Saat itulah dia tahu apa maksud tatapan permintaan maaf dari si pemegang katana yang berdiri di depannya ini.

“Itu tadi tubuhku?”

Semuanya menjadi gelap setelah itu. Ridwan menjadi tumbal pertama di tangan Hikari.

Arya dan Mia melihat semua proses tadi dengan mata kepala sendiri. Si Samurai mematikan rokoknya, lalu dia menghilang, ketika muncul lagi, dia sudah berada di depan Ridwan yang berhasil melarikan diri dengan jarak terjauh dari mereka.

Dengan santainya dia mengayunkan katana itu untuk menebas leher Ridwan yang sedang menoleh ke belakang dan sama sekali tidak sadar kalau musuh mereka berdiri di depannya.

Adegan setelah itu adalah sesuatu yang sangat mengerikan, bahkan bagi sekelas prajurit elite seperti mereka berdua. Tubuh Ridwan yang tanpa kepala tetap berlari maju dan terpisah dengan kepalanya.

Kepala Ridwan yang tadinya menghadap ke belakang masih sempat memalingkan muka sebelum akhirnya tubuh dan kepala itu terpisah menjadi dua. Adegan mengerikan itu lalu ditutup dengan semburan air mancur merah dari leher Ridwan dan kepala Ridwan yang terjatuh ke tanah ditemani sebuah senyuman dari Hikari.

=====

Author note:

Chapter ke 1 dari 2.

Kenapa judulnya '(blank)'? Karena judul asli chapter ini adalah 'Satu per satu' dan kalian pasti tahu maksudnya, sekalipun belum membaca chapter ini. Wkwkwkwk.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang