Chapter 63 - Jembatan

3.9K 275 83
                                    

Seorang lelaki paruh baya yang berbadan tegap sedang berada dalam sebuah ruangan yang terlihat seperti sebuah tempat latihan bela diri. Tetapi dia hanya memperhatikan saja orang-orang yang ada di tengah ruangan itu saling menyerang satu sama lain dengan pasangannya masing-masing.

Sesosok lelaki yang sudah berumur terlihat sedang berteriak berulang-ulang memberikan instruksi kepada orang-orang yang sedang bersemangat melakukan aktifitasnya itu. Sesekali sebuah tendangan ataupun pukulan akan dilayangkan oleh lelaki tua yang senantiasa bergerak kesana kemari diantara orang-orang yang sedang berlatih itu ketika melihat apa yang tidak dia sukai dan dia pernah mengajarkan itu kepada anak didiknya.

Tiba-tiba sebuah panggilan masuk mengagetkan lelaki paruh baya yang sedari tadi memperhatikan anggota pasukan elitenya sedang dididik oleh Umar itu. Broto melihat ke arah Caller ID dan sedikit mengrenyitkan dahinya ketika melihat ternyata panggilan masuk berasal dari Afza, prajurit elite terbaik yang pernah dia miliki, sekaligus murid kesayangan Umar.

“Ya?” kata Broto sambil mengangkat panggilan masuk tersebut.

“Selamat Siang Pak, ini Afza. Ada urusan penting yang ingin saya laporkan, mohon ijin untuk melapor,” jawab Afza.

“Silahkan,” jawab Broto.

“Beberapa hari lalu, saat melakukan misi pertama kami, Munding ...”

Afza lalu menceritakan kronologis semua kejadian yang mereka alami saat penggerebekan Nia di rumah mungilnya yang berada di desa kecil daerah pegunungan. Broto mendengarkan dengan penuh perhatian sambil sesekali bertanya ketika ada details yang dia rasa kurang begitu dia pahami.

Setelah menjelaskan selama kurang lebih 15 menit, Broto secara garis besar bisa mengetahui apa yang telah terjadi kepada Munding dan sikap yang diberikan oleh Penanggung Jawab tim Merah Putih terhadap keberadaan Munding dalam timnya.

“Jadi apa maunya si Jae sekarang?” tanya Broto ke Afza.

“Itu .. Begini Pak ...” Afza terlihat ragu ketika menjawab pertanyaan Broto.

Broto segera paham kalau sekarang Jaelani sedang berada di dekat Afza, tentu saja dia tidak akan membuat anak buahnya sendiri berada dalam posisi tidak mengenakkan.

Dengan cepat Broto memotong kata-kata Afza, “Berikan handphone-nya ke Jaelani!!”

Afza yang berada di sebelah Jaelani dan Arya memberikan handphonenya ke Jaelani dengan sedikit ragu-ragu. Muka Jaelani pun sedikit terlihat aneh. Dia memang garang saat meminta Afza menelepon Broto, tapi ketika sekarang Broto benar-benar berada di sambungan telepon yang kini dia pegang, entah kenapa, nyalinya terbang dihembus angin.

Setelah lama tak mendengar suara dari handphone yang dipegangnya, Broto sedikit gusar dan membentak ke arah bagian mic handphonenya sendiri, “Jae!!!!”

Jaelani terperanjat kaget dan hampir menjatuhkan handphone Afza dari tangannya.

Afza dan Arya yang melihat kejadian itu spontan langsung tertawa tetapi sesaat kemudian, mereka berdua berusaha keras menahan tawa mereka sekuat-kuatnya sampai tubuh mereka berguncang-guncang.

Jaelani melihat kedua prajurit itu dengan tatapan mata marah bercampur malu dengan muka yang memerah. Ini benar-benar sesuatu yang memalukan bagi seorang komandan sekaligus perwira tinggi sepertinya.

Jaelani lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu berusaha meredam rasa keterkejutan sekaligus groginya. Sesaat kemudian dia berhasil mengendalikan emosinya dan dengan suara tenang menjawab panggilan di handphonenya.

“Selamat siang Jenderal,” kata Jaelani dengan suara yang perlahan dan terdengar tenang.

“Selamat Siang, Komisaris Jenderal,” jawab Broto sambil memberikan penekanan kepada pangkat yang memang dimiliki oleh Jaelani.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang