Chapter 54 - Pisau

3.7K 252 80
                                    

Semua orang mendengar monolog panjang Pak Yai dan hanya terdiam. Ketiga rekan Yasin, sama sekali tak ambil pusing soal itu. Masalah antara Yasin dan Pak Yai dan masa lalu mereka adalah urusan mereka berdua. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana caranya mereka bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan bernyawa.

Choi yang sama sekali belum cidera dan Maria yang berdiri dengan susah payah dan ditopang oleh rekannya melihat dengan pandangan memelas ke arah Hiro yang masih berdiri di depan Pak Yai. Hiro tahu maksud mereka. Tak ada harapan untuk membalikkan keadaan dan mengalahkan monster pseudo-manifestasi yang sekarang berdiri dengan kedua tangan di belakang punggungnya itu.

Satu-satunya cara adalah dengan memohon agar si Izroil menangguhkan tugasnya dan membiarkan mereka pergi. Hiro menarik napas dalam dan menelan bulat-bulat harga dirinya. Apa gunanya harga diri jika dia kehilangan nyawanya? Mungkin itulah alasan yang ada di kepalanya untuk membantu membulatkan tekadnya sendiri.

“Izrail-san, kami membuat kesalahan. Kami minta maaf dan tidak akan mengulanginya lagi. Tolong lepaskan kami sekali ini saja,” kata Hiro sambil membungkukkan badannya dan tetap berada di posisi itu.

Pak Yai melirik ke arah Hiro dan kembali tersenyum, “Kawan, semua orang membuat kesalahan. Dulu, sekarang, dan tak akan pernah berhenti di kemudian hari. Itu sudah kodratnya manusia.”

“Setiap kesalahan yang kita buat pasti ada akibatnya. Kecil, sedang, besar, atau fatal. Dan kamu harusnya tahu kalau apa yang kalian lakukan sekarang ini, adalah sebuah kesalahan yang berakibat fatal,” lanjut Pak Yai diiringi dengan senyuman yang berangsur-angsur pudar dari bibirnya.

“Sebagai sesama serigala petarung, ada sesuatu yang seharusnya kalian tahu sedari awal. Jangan pernah sentuh keluarga musuhmu. Dan kalian justru datang kesini. Ke tempat keluargaku tinggal. Aku mungkin akan rela jika kalian memburu Munding dan menghabisinya di luar sana. Karena itu berarti dia lemah dan sudah takdirnya seperti itu. Tapi kalian justru datang ke sini!!” nada Pak Yai terdengar makin lama makin meninggi.

Hiro, Choi, Maria dan Yasin dengan cepat memasang kuda-kuda mereka masing-masing dengan raut muka kecut. Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan nyawa mereka dengan jalan damai. Kini tinggal satu-satunya jalan penyelesaian yang ada.

“Apakah kalian sudah terlalu lama melakukan misi tak berguna untuk Chaos dan mengikis harga diri kalian sebagai serigala petarung?” bentak Pak Yai, “Apakah kalian merasa hebat setelah selama ini dapat dengan mudah menghabisi orang-orang lemah di luar sana demi imbalan uang?” lanjutnya.

“Sampah!!!” teriak Pak Yai sambil melompat maju ke arah Hiro.

Hiro bergerak mundur ke arah ketiga rekannya, dengan begitu, setidaknya dia bisa membagi beban serangan yang dia terima dari Izrail. Satu lawan satu? Hiro tak yakin kalau dia sanggup bertahan dalam waktu 10 detik melawan Izrail satu lawan satu.

Maria yang sudah kehilangan salah satu kakinya jelas menjadi sasaran paling mudah bagi Izrail. Dia tak akan bisa bergerak secepat dan selincah ketiga rekannya untuk menghindari serangan orang tua itu. Dia memutuskan untuk mengeluarkan benda yang selalu disimpannya di bagian dalam rok pendeknya dan diikat ke paha dalamnya.

Sebuah pistol SIG Sauer P238 terlihat di jemari tangannya. Pistol mungil yang banyak digunakan oleh wanita dan dapat disembunyikan dengan mudah untuk melindungi diri. Choi dan Yasin yang berdiri di sebelah Maria hanya melirik sekilas ke arah senjata yang kini dipegang oleh Maria itu.

Hiro yang bergerak mundur kini sudah bergabung dengan Choi dan Yasin di depan Maria yang memegang pistol dan mengarahkannya ke Pak Yai. Seolah-olah tidak melihat sebuah senjata api yang diacungkan ke arahnya, Pak Yai tetap merangsek maju ke arah keempat orang itu.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang