Chapter 90 - Iai

3.4K 219 49
                                    

Munding dan Ardian tak melihat apa yang terjadi dengan Ridwan. Mereka bertiga lari ke arah yang berbeda. Mereka juga tidak tahu kalau disaat yang hampir bersamaan, Mia sudah tewas di tangan Titis, sedangkan Arya sedang disiksa oleh sang Jenderal.

Ardian menggunakan seluruh kemampuannya untuk berlari secepat kilat. Mungkin ini adalah kali pertama dia memaksakan kemampuannya yang diatas manusia biasa untuk tujuan berlari.

Hikari dengan tenang mengibaskan katananya ke samping untuk membuang bekas darah yang ada di bilah pedang itu. Setelah itu, sama seperti tadi, dia meletakkannya di atas pundak lalu melihat ke arah Ardian dan Munding.

"Sisakan yang terbaik untuk dinikmati paling terakhir," gumam Hikari sambil tersenyum.

Tak lama kemudian, bayangan si Samurai kembali menghilang, melesat menuju ke arah buruannya.

Ardian tiba-tiba saja merasakan kalau sesuatu yang sangat berbahaya mendekatinya dengan kecepatan luar biasa. Ardian lalu dengan cepat melompat kesamping karena mengikuti nalurinya.

Sebuah goresan bekas sabetan pedang tiba-tiba saja muncul di atas tanah tempat dia barusan berdiri. Keringat dingin keluar dari punggung Ardian.

"Sial! Hampir saja aku kena tadi," keluhnya dalam hati dengan dada berdebar-debar.

Ardian melihat ke sekelilingnya. Dia berada di sebuah lahan kosong yang tak terawat dan berada beberapa ratus meter dari jalan Pantura tempat mereka tadi menyergap Yasin dan Nia. Lahan kosong ini berisi rerumputan tinggi yang tak pernah dipotong dan hanya dua buah rumpun pohon pisang terlihat di dekat Ardian.

Lalu, Ardian melihatnya.

Si Samurai yang berjalan pelan dan sudah menyarungkan pedangnya kembali. Dia memegang pedang itu dengan tangan kiri lalu menggunakan tangan kanannya untuk menyalakan rokok yang ada di bibirnya.

Dengan santai si Samurai menghembuskan asap rokok itu ke udara dengan ekspresi damai. Seolah-olah dia sedang menikmati pemandangan di sebuah tempat wisata.

"Kenapa dia justru mengejarku?" tanya Ardian dalam hati.

Si Samurai yang kini hanya berjarak beberapa meter dari Ardian menghentikan langkahnya. Dia melihat ke arah Ardian dan tersenyum.

"Maafkan aku, aku sama sekali tidak punya dendam ataupun masalah denganmu. Ini semua hanya pekerjaan," kata Hikari pelan ke arah Ardian.

Tanda tanya bermunculan di wajah Ardian, dia bingung dengan maksud kata-kata yang berlogat asing dari mulut si Samurai yang ada di depannya ini. Tapi, Ardian kembali merasakan sensasi bahaya yang kuat dan mengarah ke lehernya. Sensasi bahaya yang juga dia rasakan saat melarikan diri tadi.

Dengan cepat Ardian menundukkan kepalanya ke depan.

Craassssssss.

Beberapa helai rambut Ardian beterbangan karena tebasan katana Hikari yang sangat cepat itu. Bahkan Ardian tak dapat melihat sama sekali kapan si Samurai menarik pedangnya keluar dan mengayunkannya. Ardian juga masih melihat kalau di jemari kanan musuhnya itu, bukan sebuah pedang melainkan sebatang rokok yang tergenggam disana.

"Mustahil! Dengan kemampuan seperti ini, apakah mereka masih manusia?" keluh Ardian.

"Hohohohohoho. Instinct-mu bagus sekali. Siapa namamu?" tanya Hikari.

"Ardian," jawab Ardian pendek.

"Ardian-kun, namaku Hikari Makoto. Aku bangga bertemu seorang pejuang sepertimu," kata Hikari sambil membungkukkan badannya ke arah Ardian.

"Kenapa seorang petarung manifestasi sepertimu memburu kami? Kami ini tak lebih dari seekor serangga di mata kalian," balas Ardian dengan nafas terengah-engah.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang