Chapter 56 - Sayid

3.6K 227 17
                                    

“Kamu datang kesini mau mencelakai keluargaku, sekarang minta diampuni dan diajari!! Memangnya dunia seisinya ini punya Mbahmu!!” teriak Pak Yai dengan suara menggelegar.

Yasin hanya bisa kembali menundukkan kepalanya.

Pak Yai lalu terlihat terdiam dan berpikir. Dia sedang mempertimbangkan apa yang harus dia lakukan kepada juniornya ini. Junior yang telah melenceng dari jalur dan melakukan segala tindak kejahatan yang bertentangan dengan norma agama dan hukum. Bahkan sempat terbersit satu pikiran dalam kepala Pak Yai, kalau membasmi sampah masyarakat semacam Yasin adalah tugas dan kewajibannya.

Semakin lama, Pak Yai semakin yakin dengan keputusannya untuk melenyapkan penyakit bernama Yasin dari muka bumi ini agar tidak ada lagi korban-korban yang lainnya lagi. Mungkin saat ini, Yasin sudah kembali bertobat, tapi siapa yang tahu di masa yang akan datang, dia akan kembali menjadi Yasin si teroris yang meresahkan lagi.

Pak Yai mengangkat tangannya dan bersiap untuk mengayunkan serangan terakhirnya kearah juniornya yang sekarang masih menundukkan kepala dengan pasrah dan bersiap menerima takdirnya.

“Pak,” terdengar sebuah suara panggilan dari pintu rumah yang ada di belakang Pak Yai.

Suara lembut seorang wanita yang membuat Pak Yai merasa seperti disiram air dingin di ubun-ubun kepalanya dan membuatnya kembali terjaga dan berpikir jernih. Suara istrinya, wanita yang telah menemaninya selama lebih dari dua puluh tahun belakangan ini.

Nasib Pak Yai sebenarnya tidak jauh berbeda dengan nasib Yasin. Mereka berangkat untuk berjuang dan ketika kembali setelah bertahun-tahun, mereka kehilangan istri dan keluarga mereka. Pak Yai tahu betapa beratnya apa yang dialami Yasin karena dia sendiri juga mengalaminya. Tapi ada faktor penting yang membedakan antara mereka berdua.

Bu Nyai, yang memiliki nama asli Rabiah, umurnya selisih belasan tahun dengan Pak Yai. Mereka menikah di saat Pak Yai yang baru saja pulang dan ternyata telah diceraikan istrinya, memutuskan untuk kembali ke pondok pesantrennya dan mengadu kepada gurunya karena dia tidak punya tempat untuk pulang. Sang guru lalu menerima Pak Yai dengan tangan terbuka, memberinya tempat tinggal dan pekerjaan seadanya. Sang guru juga akhirnya mencarikan seorang santriwati yang sudah siap menikah dan menjodohkan dia dengan Pak Yai. Karena itulah, di usianya yang lebih dari 50 tahun, Pak Yai masih menunggu cucu pertamanya dari Nurul dan Munding.

Yasin lain, istrinya dulu adalah santriwati yang bisa dikatakan menjadi pujaan di pondok mereka. Di saat dia pulang dan menemukan kalau keluarganya tak lagi ada, Yasin sangat terpukul dan kecewa. Karena dia sangat mencintai istrinya dan tidak merelakannya.

Pak Yai menoleh ke arah istrinya yang berdiri di depan pintu rumah dan sedang menatap dirinya dengan pandangan memohon. Pak Yai tahu maksud dari tatapan mata istrinya. Dia ingin agar suaminya mengampuni laki-laki yang sudah pasrah di depannya sekarang ini.

Pak Yai menatap lekat-lekat wajah wanita paruh baya tapi masih menampakkan guratan kecantikan dari masa mudanya itu dan tersenyum.

“Aku tidak tahu apakah ini adalah kesempatanmu untuk bertobat atau justru ujian bagimu agar kamu bisa kembali melakukan maksiat,” kata Pak Yai pelan ke arah Yasin setelah kembali memalingkan wajahnya kearah laki-laki itu.

Yasin tetap menundukkan kepalanya dan mendengarkan kata-kata Pak Yai dengan seksama.

“Pergi dari sini dan jangan kembali!! Jangan pernah bergabung dengan kawanan seperti tadi!! Jangan pernah ulangi kejadian beberapa tahun lalu di Semarang!! Tobatlah dengan sebenarnya!!” kata Pak Yai dengan suara tegas dan keras.

“Seandainya nanti di waktu yang akan datang, aku masih dikaruniai umur oleh Gusti Allah dan aku mendengar kabar kalau kamu kembali ke jalan itu ...” Pak Yai menghentikan kata-katanya dan mendekatkan kepalanya ke arah Yasin.

“Aku akan memburumu, tanpa henti, sampai aku menemukanmu. Dan jangan pernah berharap untuk memohon ampun untuk yang kedua kalinya dariku. Aku bukan Gusti Allah yang Maha Pengampun,” bisik Pak Yai pelan dengan nada penuh ancaman.

Yasin terdiam dan tidak terlihat bereaksi dengan ancaman Pak Yai. Tapi Pak Yai tidak peduli. Dia sudah memberikan kesempatan, dia sudah menyampaikan ancaman, kalau Yasin masih mengulangi lagi, itu artinya memang jalan mereka berbeda. Dan Pak Yai berjanji dalam hati bahwa dia akan menepati semua kata-katanya sendiri, dengan segenap tenaga yang dimilikinya.

Setelah mereka semua terdiam selama beberapa saat, Pak Yai terlihat agak aneh karena Yasin tak juga kunjung pergi dari sini. Bukan maksud dari tindakannya sudah jelas? Tapi kenapa Yasin masih saja tetap berdiri di tempatnya tak bergeming?

“Kenapa kamu masih disini? Pergi sana! Aku tak ingin melihatmu lagi,” kata Pak Yai sambil menunjuk ke arah jalan raya, isyarat agar Yasin segera meninggalkan rumah ini.

Tapi Yasin masih tetap tak bergeming di tempatnya.

Melihat itu Pak Yai makin meradang dan dengan cepat dia mengangkat tangannya untuk menempeleng laki-laki yang masih berdiri di depannya itu. Ketika Yasin melihat gerakan serangan Pak Yai, dengan cepat dia bergerak mundur.

Sekalipun Yasin tahu, Pak Yai tidak bermaksud menciderai atau menghabisi dirinya, tapi siapa yang mau coba-coba merasakan tempelengan tangan seorang serigala petarung yang sudah setengah langkah menuju tahap manifestasi?

“Ajari aku Kang,” pinta Yasin lagi dengan suara memelas ke arah Pak Yai setelah dia merasa berada pada jarak aman dari serangan Pak Yai.

Pak Yai terbengong seketika mendengar kata-kata Yasin. Ternyata itu alasannya. Saat inilah Pak Yai tersadar bahwa ungkapan ‘seseorang yang putus urat malunya’ itu benar-benar nyata dan sekarang orang itu sedang berdiri di depan dirinya. Setelah apa yang dia rencanakan dan lakukan, tanpa merasa malu, Yasin masih meminta untuk ‘diajari’ oleh Pak Yai.

Pak Yai hanya menghela napas panjang.

Sesaat kemudian, Pak Yai berkata, “Humphh. Anggap ini sebagai hadiah perpisahan. Dulu, aku juga berada di posisimu. Tapi, saat aku merasa putus asa, aku kembali ke pondok dan meminta pendapat Sayid. Kenapa kamu tidak balik ke pondok lagi waktu itu?”

“Aku kalut Kang, istriku yang aku cintai, yang aku rindukan sepanjang waktu, ternyata ...” jawab Yasin dan kesedihan kembali terbayang di matanya, apalagi dengan sedikit sisa air mata saat menangis tadi.

“Sudah!!! Lihat dirimu, rambut sudah mulai beruban, kulit keriput disana-sini. Mewek!!” sergah Pak Yai dengan suara keras.

Yasin hanya bisa kembali terdiam setelah itu.

“Kamu tahu apa kata-kata Sayid waktu aku ngadu dan minta petunjuk beliau?” tanya Pak Yai.

Yasin menggelengkan kepalanya.

=====

Author note:

Chapter ke 1 dari 2.

Next chapter sahur.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang