Chapter 91 - Lagi

3.3K 215 45
                                    

Untuk sesaat tadi, Ardian memang merasakan sinyal bahaya datang dan bergerak ke kanan untuk menghindarinya, dan dia berusaha melakukan itu tanpa berpikir sama sekali. Tapi tetap saja dia masih terlambat untuk menghindari sabetan katana Hikari sepenuhnya.

Hikari berdiri dan menegakkan badannya, “instinctmu memang peka. Serang pertama adalah kemenanganmu,” kata si Samurai itu.

Ardian menarik napas panjang dan mengangkat tangannya ke arah Hikari, “beri aku waktu untuk menarik napas.”

“Oke,” jawab Hikari pendek dan tanpa berpikir sama sekali.

Si Jepang itu lalu kembali menikmati rokoknya dan tetap memperhatikan Ardian. Ardian sendiri bersyukur telah berhasil menghindari serangan pertama Hikari. Dia memang tak bisa menghindar sepenuhnya dari serangan pedang itu dan kakinya terluka parah. Tapi, dia berhasil menyelamatkan nyawanya kan?

Itulah yang terpenting baginya sekarang. Berhasil survive dari ancaman seorang petarung manifestasi? Ardian tak bisa membayangkan betapa bangganya dia nanti.

Tapi dengan cepat, pria berambut cepak rapi dan berasal dari Riau ini kembali memusatkan konsentrasinya. Tinggal sekali lagi dan Ardian tak ingin mengacaukannya dengan kebanggaan semu yang terlalu dini dia nikmati.

Ardian lalu mengatur napasnya dan perlahan-lahan berusaha menekan rasa sakit di kaki kirinya. Dia tak menggunakan kain atau benda lainnya untuk menghentikan pendarahan di luka itu. Toh, dia punya banyak waktu untuk melakukan itu setelah semua ini berakhir.

“Cukup?” tanya Hikari.

Ardian mengangkat kepalanya dan melihat kearah Hikari, setelah terdiam selama beberapa saat, Ardian menganggukkan kepalanya. sekarang lah waktunya penentuan, gumam Ardian dalam hati.

Hikari meludahkan rokok di bibirnya dan menginjaknya dengan kaki. Ini serangan terakhir, dia akan melakukan yang terbaik. Ketika Ardian berhasil menghindari serangan terbaiknya, itu berarti dia layak untuk hidup. Jika tidak?

Hikari kembali menurunkan tubuhnya pelan dan menggeser kaki kanannya perlahan ke depan. Telapak kakinya bergerak mencari pijakan yang tepat dan nyaman untuk menyalurkan semua energi dari tubuhnya secara seimbang.

Mata Hikari melihat ke arah Ardian dengan seksama dan tanpa berkedip. Tangan kanannya perlahan-lahan mendekati ke gagang pedang yang ada di samping pinggang sebelah kirinya. Dia tak tersenyum kali ini. Sekalipun Ardian kembali memejamkan mata untuk berkonsentrasi pada nalurinya sendiri, Hikari sama sekali tak memikirkannya.

Hanya satu pikiran yang ada dalam kepala Hikari saat ini. Dia akan melakukan serangan terbaiknya.

Sama seperti Hikari, Ardian juga berusaha untuk memusatkan perhatiannya. Dia membuang semua pikiran yang menganggu konsentrasinya dan mulai memejamkan mata. Berusaha untuk mempercayai nalurinya. Ardian mulai memasang kuda-kudanya lagi meskipun terlihat agak timpang karena luka di kaki kirinya.

Ardian tahu kalau saat ini adalah momen terpenting dalam hidupnya. Momen yang menentukan apakah akan masih ada Ardian lagi setelah ini atau tidak? Apakah dia tetap akan terus hidup atau akan tewas ketika menjalankan tugas disini.

Keduanya saling diam dalam kuda-kudanya masing-masing dan memusatkan konsentrasinya. Waktu seolah-olah berhenti dan udara terasa berhenti mengalir. Suara-suara menghilang dan hanya ada dunia sunyi tanpa bunyi sedikitpun. Angin panas dan kering yang tadi menerpa kulit Ardian juga tak terasa lagi.

Ini kali pertama Ardian masuk ke dalam kondisi ini. Dan dia takjub ketika merasakannya untuk yang pertama kali.

Meskipun mata Ardian tertutup, dia bisa melihat Hikari yang diam dalam posisinya tadi. Dia terlihat seperti manusia biasa dengan sebuah pedang di tangan. Sama sekali tak ada yang istimewa.

Tapi, setelah itu Ardian melihat pemandangan membuatnya terpana.

Sosok Hikari tiba-tiba bergerak maju dengan gerakan yang teratur, tapi sosok sebelumnya masih terlihat dengan jelas. Semua itu membuat renteten bayangan Hikari yang bergerak maju ke arahnya sendiri sambil mencabut pedang dari sarungnya.

Ardian bisa melihat semuanya dengan jelas. Frame demi frame, bayangan demi bayangan, sosok demi sosok, saat Hikari menyerangnya. Seperti beberapa buah foto yang dijajarkan dan Hikari adalah objek foto yang ditracking pergerakannya.

Sesaat kemudian, Ardian sadar kalau yang harus dia lakukan bukanlah melihat ke arah Hikari dan pemandangan menakjubkan itu, seharusnya dia menghindar dari serangan yang datang dari musuhnya.

Ardian lalu berusaha bergerak dengan sekuat tenaga untuk menghindar ke samping, tapi dia kaget sekali.

Tubuhnya kaku. Udara di sekitar Ardian terasa menjadi penjara bagi tubuhnya. Dia bahkan tak bisa menggerakkan jemarinya satu ruas pun.

“Ada apa ini?” tanya Ardian dalam hati dan ketika dia melihat serangan Hikari makin dekat, Ardian mulai panik.

Dan saat itulah serangan Hikari mengenai tubuh Ardian. Katana itu mengenai pundak kiri Ardian dan perlahan-lahan turun ke bawah tetapi agak menyamping menuju ke pinggang kanan Ardian.

Ardian bisa melihatnya dengan jelas karena gerakan Hikari masih seperti sebuah video yang diputar sangat lambat sampai ke frame demi frame. Tapi Ardian tak bisa melakukan apapun. Dia hanya bisa melihat saat katana itu membelah tubuhnya menjadi dua bagian.

Ardian masih kebingungan dengan apa yang dialami dan dilihatnya. Untungnya, tak ada sedikitpun rasa sakit yang dia rasakan saat tubuhnya terbelah, hanya sebuah senyuman dan suara kata-kata Hikari yang mengantar Ardian menuju kegelapan yang abadi.

“Tubuhmu tak bisa mengikuti kecepatan nalurimu. Bahkan sistem syarafmu pun tak sempat untuk mengirimkan sinyal rasa sakit ke otakmu. Setidaknya, kamu mati tanpa merasakan kesakitan. Itu penghormatanku untukmu, Petarung!”

Tumbal ketiga akhirnya tumbang di tangan Hikari.

Sama seperti tadi, Hikari mengibaskan katana-nya untuk membersihkan darah dan memasukkan bilah pedang itu ke dalam saya (sarung) yang dipegangnya.

Dia melihat ke arah Munding yang menjadi buruan terakhirnya dan tersenyum.

“Akhirnya, mangsa terbaik untuk kali ini,” gumam Hikari, sesaat kemudian, hanya seonggok jenazah yang terbelah dua terlihat di lahan kosong ini.

Darah berhamburan kemana-mana bercampur dengan organ dalam tubuh yang juga terburai kesana kemari. Sebuah pemandangan yang mengerikan dan bisa menyebabkan seseorang muntah jika tak terbiasa.

Munding yang sedang berlari tiba-tiba merasakan sinyal bahaya mendekat kearahnya dan dia menarik napas. Munding tak seperti dua orang rekannya tadi. Yang pertama, Ridwan, dia berlari ke arah perkampungan, sedangkan Ardian berlari ke arah lahan kosong dan area persawahan.

Munding?

Dia berlari menyusuri tepian jalan pantura.

Sekalipun dia tak berniat untuk melibatkan para pengemudi atau orang yang berlalu lalang di sekitarnya karena dia tahu bahwa seorang serigala petarung tak akan menganggap nyawa manusia-manusia biasa itu layak untuk diselamatkan atau bahkan dikasihani.

Karena itu, Munding tahu, jika para pengguna jalan raya itu akan tetap aman dari serangan si Samurai yang tadi dilihatnya, terkecuali kalau mereka melakukan tindakan bodoh yang memancing maniak itu.

=====

Author note:

Hari ini masih satu gaess. Maafkan saya. Wkwkwkwk.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang