Chapter 112 - Terbangun

3.7K 255 25
                                    

Munding merasakan tubuhnya terasa berat dan kaku sekali.

Berat? Kaku? Dia sudah lupa akan dua sensasi rasa ini. Entah sudah berapa lama dia tak merasakannya lagi saat berada di dalam dunia gelap itu. Tapi kenapa sekarang dia bisa kembali merasakannya?

Munding mencoba mengingat lagi apa yang terjadi sebelumnya. Di saat terakhir, nalurinya membisikkan sesuatu di sela-sela suara gemuruh yang menggetarkan seluruh ruang kegelapan itu.

“Aku akan hancur seperti permintaanmu. Aku akan hancur dan menyatu dengan dirimu. Tapi karena aku adalah kegelapan. Maka kau juga. Kau adalah kegelapan.”

“Kegelapan adalah ketiadaan."

"Kegelapan adalah kehancuran."

"Kegelapan adalah akhir sekaligus awal."

"Kegelapan adalah pemangsa."

"Kegelapan akan menelan segalanya."

"Kegelapan akan menghancurkan semuanya."

"Kegelapan akan meniadakan semuanya dan hanya menyisakan ruang hampa.”

Saat itulah Munding memahami konsep yang sebenarnya bukan pilihannya tapi merupakan pilihan nalurinya, lebih tepatnya konsep yang memang sedari awal sudah dimiliki oleh nalurinya sendiri.

Karenanya, waktu itu dia hanya tersenyum dan berkata, “jadi seperti itu?”

Munding tahu, nalurinya tak akan pernah mengkhianati atau mencelakainya.

Munding lalu merasakan sebuah kekuatan besar yang masuk ke dalam tubuhnya. Kekuatan yang menyerupai pusaran hitam kemudian perlahan-lahan mengisi setiap celah yang ada pada kesadaran dirinya hingga tak bersisa.

Setelah itu, Munding tak sadarkan diri dan disinilah dia sekarang. Merasakan seluruh tubuhnya berat dan kaku dalam kondisi terbaring di sebuah ranjang yang empuk dalam sebuah ruangan yang dipenuhi aroma obat-obatan.

“Hei?” Munding tiba-tiba kaget ketika menyadari sesuatu.

“Aku punya indera perasa dan tahu kalau dalam posisi terbaring,” teriak Munding dalam hati.

Saat itulah Munding tahu kalau dia sudah kembali. Kembali pulang ke dunia nyata dan tak berada lagi dalam dunia kegelapan perwujudan nalurinya sendiri. Munding tersenyum bahagia dan merasakan sendiri sensasi yang sangat dia rindukan, tarikan otot di bagian bibirnya ketika tersenyum. Hal yang dulu tak pernah dia perhatikan.

Deg.

Tiba-tiba jantung Munding serasa berhenti berdetak.

Aku kembali. Aku kembali ke dunia nyata.

Tapi,

Nurul?

Munding kembali teringat perpisahan yang diucapkan oleh istrinya saat itu. Senyuman sedihnya, wajahnya yang tersenyum tapi meneteskan air mata. Tiba-tiba saja Munding merasakan amarahnya meledak tak terkendali.

“Nurul, aku sudah pulang. Tapi kenapa tak ada engkau yang menyambutku?” teriak Munding dalam hati.

Tubuh Munding yang terbaring tiba-tiba seperti terangkat ke atas. Dia membuka matanya pelan-pelan dan bagian tengahnya hanya berwarna hitam gelap.

Di sekeliling Munding tiba-tiba muncul seperti sebuah lapisan udara transparan yang berwarna gelap dan bentuknya tak beraturan. Lapisan ini mengelilingi seluruh permukaan tubuh Munding dan membuat Munding seolah-olah dibungkus oleh aura kegelapan.

Tapi, meskipun dadanya diliputi amarah, emosi juga membuatnya merasa sesak, tapi Munding masih bisa berpikir jernih. Dia tidak dalam kondisi berserk. Dia juga masih bisa mengendalikan seluruh tubuhnya sesuai dengan keinginannya sendiri. Munding tahu kalau dia tak akan lagi mengalami kondisi berserk seperti dulu saat naluri menguasai tubuhnya. Karena naluri-nya sudah melebur dan menyatu dengan kesadaran diri Munding.

Munding berdiri dan mengangkat tangannya sendiri ke depan. Dia melihat aura berwarna hitam yang mengelilingi tubuhnya itu.

“Inikah manifestasi intent-ku?” gumam Munding.

Munding lalu mencoba menarik napas dalam dan mencoba berkonsentrasi untuk mengendalikan intent berwarna hitam yang menyelimuti seluruh tubuhnya itu. Aura hitam yang mengelilingi tubuh Munding berangsur-angsur menghilang tapi tiba-tiba...

Duakkkkkk.

Pintu ruangan Munding terbang melayang.

Seorang pria dengan badan gempal langsung meloncat masuk ke dalam ruangan tempat Munding dirawat dan dengan cepat melayangkan pukulan ke arah Munding. Munding terkejut, tapi dia tak merasa takut.

Wussssssshhhhhh.

Sebuah kepalan berhenti tepat di depan wajah Munding. Kepalan yang diayunkan oleh sebuah lengan yang dipenuhi tattoo hingga pergelangan tangan.

“Munding?” tanya Leman dengan nada tak percaya.

Munding hanya tersenyum. Om Leman memang sebelas dua belas dengan Pak Yai, main tendang pintu sampai jebol dan langsung menyerang tanpa bertanya dulu.

“Kamu sudah sadar?” tanya Leman lagi sambil menarik tinjunya dan memperhatikan Munding dengan seksama, seolah-olah sedang melihat alien.

“Nurul dimana Om?” tapi kalimat itulah yang pertama kali keluar dari mulut Munding.

“Ehm. Nurul baik-baik saja kok. Dia masih dirawat sekarang. Ayo kuantar ke kamar istrimu,” kata Leman.

Tapi setelah beberapa langkah mereka berjalan, Leman berhenti dan kembali melihat ke arah Munding, “Kamu Munding kan?” tanyanya lagi.

“Iya Om,” kata Munding mencoba meyakinkan Om-nya.

“Bukan apa-apa. Aku merasakan intent seorang serigala petarung manifestasi dari kamarmu tadi. Kita sedang dalam kondisi waspada. Kalau kau adalah musuh yang mencoba untuk berkamuflase sebagai Munding, aku orang pertama yang akan meledakkan kepalamu dengan kepalan tanganku,” kata Leman dengan nada datar dan tatapan serius.

Saat itulah Munding sadar kalau sesuatu pasti sedang terjadi dengan keluarganya sekarang hingga membuat Om Leman sewaspada itu.

=====

Munding memegang tangan istrinya dan mencium keningnya pelan.

Dia marah, tapi tak lupa bersyukur. Marah karena ada yang mencoba memisahkan dia dengan istrinya, bersyukur karena Gusti Allah masih menyelamatkan istrinya.

Di sebelah Nurul yang masih berbaring dengan tenang, Amel sedang menggendong seorang bayi kecil yang juga tertidur tenang seperti ibunya. Munding berdiri lalu mencium bayinya. Dia kemudian membacakan adzan di telinga anaknya, sekalipun Munding tahu kalau Bapak Mertuanya pasti sudah melakukan itu saat Munding tak sadarkan diri.

Amel terlihat menangis tanpa suara, tapi kali ini adalah tangisan bahagia.

Munding koma selama beberapa bulan dan dokter bahkan memvonisnya dengan penyakit kronis yang bisa bertahan hingga seumur hidup. Di saat Munding sedang tak sadarkan diri, Nurul melahirkan tanpa didampingi suami dan justru terkena percobaan pembunuhan.

Masalah demi masalah yang datang bertubi-tubi.

Amel memang mencintai Munding. Tapi, setelah berhubungan selama bertahun-tahun dengan Nurul, Amel benar-benar menganggap kalau Nurul sudah seperti adik kandungnya sendiri. Jadi saat Nurul divonis oleh tim medis telah meninggal dunia sesaat setelah operasi, betapa sedihnya Amel. Orang yang dicintainya koma tak sadarkan diri, adik yang dikasihinya meninggal dunia.

Tapi, Tuhan menunjukkan kuasanya. Nurul berhasil diselamatkan dan kini dalam masa pemulihan. Tak lama kemudian, Munding tiba-tiba sadar dan kini sudah berdiri di hadapan Amel. Sedang mencium anaknya yang ada dalam gendongan Amel.

Bisa melihat kembali wajah Munding yang tersenyum bahagia di depannya seperti saat ini, membuat Amel tak kuasa untuk menahan air mata agar tidak keluar membasahi pipinya.

Cukup dengan melihat pujaan hatinya seperti ini, Amel sudah merasa bahagia.

=====

Author note:

Satu lagi. Langsung publish.

Sorry tadi sempat salah posting chapter ini di MSG. Wkwkwkwk. *Emang noob bener lah..

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang