Chapter 74 - Dulu

3.5K 221 26
                                    

“Amel mau disini dulu,” kata Amel kepada Papanya sore itu.

“Amel!! Kamu nanti ngrepotin Nurul!” kata Broto kepada putrinya yang keliatannya bertambah dewasa tapi ternyata masih tetap keras kepala.

“Nggak kan Dek?” tanya Amel sambil melihat ke arah Nurul.

Nurul tentu saja kebingungan mau menjawab apa, jadi dia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Tak mungkin kan dia berkata kalau Amel bakalan ngrepotin dirinya?

Amel tertawa lebar lalu dia menghambur ke arah Nurul dan memeluknya. Munding yang berdiri di sebelah Nurul hanya menggelengkan kepalanya. Ketika melihat reaksi Munding, Amel cuma mencibir ke arah laki-laki itu. Laki-laki brengsek yang masih setia untuk selalu datang ke dalam mimpi-mimpi Amel.

“Nggak apa-apa, Amel bisa tinggal di sini sesukanya. Nanti biar ditemeni Afza,” kata Pak Yai menawarkan solusi.

Broto melirik ke arah Afza, lalu ke arah Amel dan terakhir ke arah Munding. Setelah itu, Broto hanya bisa menarik napas panjang. Semua orang di tempat ini tahu apa yang terjadi dengan Amel. Gadis itu ingin tetap tinggal disini tentu saja bukan karena Nurul, tapi karena Munding.

“Aku titip anakku yang tidak tahu sopan santun ini ya Bu,” pinta Broto sambil menundukkan kepalanya kearah Bu Nyai.

Bu Nyai hanya menganggukkan kepalanya sambil memeluk tangan suaminya.

“Kalau begitu, kami pamit dulu,” lanjut Broto sambil berpamitan pulang.

Sore itu, tiga orang wanita berjilbab terlihat sedang mengajar mengaji di musala samping rumah Munding, dua orang dari mereka terlihat sibuk kesana kemari sedangkan yang terakhir duduk di tempatnya dan hanya tersenyum kecil melihat tingkah usil anak-anak di sekelilingnya. Afza hanya melihat kesibukan ketiga wanita tersebut dari jauh sedangkan Munding dan Pak Yai terlihat sedang bekerja di sawah.

“Bapak punya dua saudara angkat, satu laki-laki, kamu sudah bertemu dia, namanya Leman. Satu lagi seorang wanita, namanya Aisah,” kata Pak Yai sambil mengayunkan sabit di tangannya.

Munding mendengarkan Pak Yai sambil mengayunkan cangkul di tangannya sendiri. Mereka berdua memang berbagi tugas kali ini, Pak Yai yang membersihkan rumput di pematang sawah, sedangkan Munding akan mengangkat tanah dari bawahnya lalu menumpukkannya di atas pematang untuk meninggikan dan memperbaiki pematang itu.

“Dulu, waktu aku masih muda, orang selalu berpikir kalau aku adalah serigala petarung yang terhebat dengan segala sepak terjangku. Tapi tahukah kamu Le, kedua adik angkatku itu jauh lebih ‘monster’ dibandingkan aku sendiri,” kata Pak Yai melanjutkan ceritanya.

“Mereka punya karakter yang mirip, keras kepala, tak suka mengikuti perintah orang lain, dan percaya diri. Aku bertemu Aisah saat dia masih kecil. Dia yatim piatu, sama seperti kita, dia berhasil masuk ke tahap inisiasi dalam usia belasan tahun, sama seperti aku dan kamu.”

“Aku bertemu Leman di medan perang, waktu kami bertemu, dia sudah menjadi serigala petarung tahap inisiasi. Tapi nalurinya bertolak belakang dengan keyakinannya,” lanjut Pak Yai.

“Kok bisa Pak?” tanya Munding tanpa sadar, dia tak pernah mendengar hal seperti ini.

Munding punya beberapa bagian-bagian terpisah yang membentuk jati dirinya, yang terbesar adalah naluri, keyakinan dan keluarga. Ketiganya penting bagi dirinya. Karena itu, siapa pun yang mengusik keluarganya, tak akan pernah Munding lepaskan. Begitu juga dengan keyakinannya. Sedangkan nalurinya adalah bagian dari keberlangsungan hidup atau survival instinct yang dia miliki. Tanpa dia suruh, selama sesuatu mengancam jiwanya, nalurinya akan bekerja.

Selama ini, Munding tak pernah mengalami konflik antara naluri dan keyakinan seperti yang dialami oleh Leman. Munding merasa takut apabila suatu ketika, dia akan mengalami konflik yang sama.

Bagaimana jika dia mengalami konflik antara keluarga dengan naluri? Bagaimana jika orang yang mengancam nyawanya ternyata adalah keluarganya sendiri? Bagaimana dengan konflik-konflik yang lain?

Munding lalu hanya bisa tertunduk diam karena tidak tahu cara menghadapinya.

“Leman dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nalurinya oleh kawanannya sendiri. Lalu dia bertemu dengan aku dan Aisah. Sejak itu, dia berganti keyakinan dan bergabung bersama kami,” jawab Pak Yai.

“Kami punya masa-masa yang mungkin sangat pendek waktunya tapi penuh dengan kenangan. Waktu kami bertiga sama-sama bergabung dengan rezimenku. Aku Komandan-nya, mereka berdua adalah tangan kanan dan kiriku. Dulu nama kami bertiga sangat ditakuti oleh musuh.”

“Tentu saja, aku juga akhirnya menjadi target utama musuh untuk dibasmi. Nama ‘Izrail’ berada dalam urutan no 1 dalam daftar mereka. Mereka mengirimkan tim inti mereka, gelombang demi gelombang untuk mengejarku. Dan kami bertiga bagaikan sebuah lubang hitam yang akan menghisap apa saja yang datang mendekat,” kenang Pak Yai.

“Entah berapa kali kami melalui pertarungan hidup mati. Waktu itu, mereka berdua adalah orang-orang yang rela aku percayakan nyawaku. Dan saat Leman berkunjung terakhir kali ke sini itu, aku masih melihat sinar mata yang sama dengan yang sedari dulu dia punya,” lanjut Pak Yai.

“Maksud Bapak?” tanya Munding.

“Leman tak akan menyentuh rambut keluarga kita sehelai pun dengan sengaja, aku tahu itu,” jawab Pak Yai sambil tertawa.

“Tapi bukankah kemarin itu, Chaos menyerang tempat ini Pak?” tanya Munding.

“Aku rasa mereka punya masalah internal,” jawab Pak Yai pendek.

Munding hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti maksud Pak Yai. Lalu mereka berdua kembali melakukan pekerjaan mereka lagi. Mereka berdua tetap asyik bekerja sampai terdengar suara seorang anak kecil yang berteriak di dekat mereka.

“Mbah Yai, kata Ustadzah, sebentar lagi masuk waktu Ashar,” tanpa menunggu jawaban dari Pak Yai atau Munding, bocah itu sudah kembali berlari ke arah musala lagi.

Pak Yai hanya tertawa kecil dan melirik ke arah Munding yang sekarang juga berdiri tegak di sampingnya, “sebentar lagi, kamu juga punya jagoan kecilmu sendiri Le,” kata Pak Yai.

Munding hanya menganggukkan kepalanya, “Amin.”

Mereka berdua lalu merapikan pematang sawah terakhir yang baru saja mereka perbaiki. Lalu mencuci alat-alat mereka dan beranjak pulang.

=====

Seorang laki-laki berbadan tidak terlalu kekar sedang menikmati makan malamnya di sebuah restoran berkelas bersama seorang wanita cantik. Si laki-laki mengenakan tuxedo berwarna hitam dipadu sebuah dasi yang terlihat elegan dan membuatnya seperti seorang eksekutif muda berkelas.

Apalagi jika orang lain melihat fisik si laki-laki, dijamin para wanita terutama wanita Indonesia akan langsung blingsatan di tempatnya. Si laki-laki tersebut adalah seorang keturunan kaukasia dan berwajah sangat tampan khas Eropa. Matanya berwarna biru dan hidungnya mancung. Kulitnya juga tidak terlalu putih tapi lebih terlihat agak kecoklatan, menunjukkan kalau dia suka beraktifitas di luar ruangan.

Sedangkan gadis yang menemaninya terlihat tenang dan elegan, dia tidak mempedulikan wanita-wanita yang menoleh kepada pasagannya atau pria-pria yang melirik ke arahnya sendiri. Dia tetap asyik menikmati makan malamnya bersama si laki-laki bule tampan itu tanpa merasa terganggu.

Berbeda dengan si Pria yang keturunan Eropa, gadis itu terlihat jelas memiliki garis keturunan Asia, lebih tepatnya Chinese, dengan segala ciri khas mereka. Rambutnya hitam lurus, mata yang tidak terlalu sipit dan kulit yang putih bersih. Semuanya memberikan kesan kecantikan oriental yang sederhana tapi memukau.

Mereka berdua adalah pasangan paling menarik perhatian di dalam restaurant kelas atas ini dan menjadi santapan mata bagi pengunjung yang lain.

=====

Author note:

1 chapter lagi hari ini.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang