Chapter 65 - Jae part 2

3.6K 235 53
                                    

“Aku juga sudah mencoba berteriak dan mengambil alih kendali tubuhku sendiri. Tapi semuanya gagal. Sampai ...” kalimat Munding kembali terhenti.

“Sampai Afza menyebut nama istriku.”

“Saat itu aku merasa seluruh tubuhku berhenti bergerak untuk sesaat dan seperti ada sebuah kekuatan yang memaksa ‘aku’ yang sedang menguasai tubuhku untuk kembali memberikan kendali tubuhku kepadaku.”

“Dan saat itulah aku berhasil mengambil alih tubuhku.”

“Jadi. Jika pertanyaannya adalah apakah aku sadar selama kejadian? Aku akan menjawab bahwa aku sadar sepenuhnya dan tahu semua yang terjadi.”

“Tapi kalau pertanyaannya adalah apakah aku dengan sengaja melukai Nia atau bahkan Mia? Tidak, aku tak pernah dengan sengaja melakukannya. Saat itu terjadi, tubuhku bukan berada dalam kendaliku,” Munding mengakhiri penjelasannya sambil kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang yang sandarannya sudah ditegakkan.

Afza dan Arya mendengarkan semua penjelasan Munding dengan seksama. Ketika Munding mengakhiri penjelasannya, mereka berdua membuang napas lega.

Setidaknya, mereka sudah memastikan satu hal. Munding tak pernah dengan sengaja berniat melukai rekan setimnya. Karena kalau itu terjadi, tak akan ada lagi tempat bagi Munding di dalam tim Merah Putih ini.

“Munding,” panggil Afza.

“Hmmm,”

“Sebelum kamu bangun tadi, Komandan ada disini. Dia menyuruhku untuk menelepon Jenderal Broto untuk menyampaikan komplain mengenai kondisi berserk-mu kepada Beliau,” jawab Afza.

“Lalu?” tanya Munding.

Afza terdiam sebentar tapi sebelum sempat dia membuka mulutnya, Arya membalikkan tubuhnya dan meninggalkan ruangan. Arya tahu, ini waktunya bagi dia untuk memberikan kesempatan kepada dua orang itu untuk membahas masalah internal mereka.

Afza menahan kalimatnya yang tadi hampir keluar dari kerongkongan. Dia menggunakan pandangan matanya untuk mengikuti Arya keluar dari ruangan dan kembali menatap Munding setelah itu.

“Lalu?” ulang Munding.

“Lalu aku menelepon Jendral. Aku mencoba menyampaikan permintaan Komandan kepada Jenderal dan dia menolaknya.”

“Jenderal juga meminta untuk berbicara langsung dengan Komandan,” lanjut Afza.

“Apakah Pak Broto setuju dengan permintaan Komandan?” tanya Munding.

Afza hanya tersenyum kecut. Munding memanggil salah satu komandan tertinggi Angkatan Darat dengan panggilan ‘Pak Broto’ tanpa menggunakan embel-embel Jenderal atau rasa segan karena jabatan yang dia miliki. Memang untuk orang sipil seperti Munding, mereka tidak bisa menghargai sistem kepangkatan.

“Tentu saja Jenderal menolak permintaan Komandan,” jawab Afza sambil membusungkan dadanya, seolah-olah dialah yang telah melakukannya.

Munding hanya tersenyum kecil melihat tingkah Afza, dia melirik sekilas ke arah dada Afza yang tertutup baju seragam pakaian dinas harian itu dan terlihat membusung kencang. Sebagai lelaki normal, tentu saja ada reaksi dari bagian bawah tubuh Munding.

Afza, seorang prajurit terlatih dan juga serigala petarung tahap inisiasi, kalau dia tidak menangkap apa yang barusan terjadi, tentu saja dia tak layak mendapatkan tempatnya sebagai petarung dengan potensi terbaik dari angkatannya.

Afza menyadari sepenuhnya tatapan mata Munding ke dadanya tadi dan sepenuhnya juga menyadari reaksi yang dimiliki oleh Munding di bagian bawah tubuhnya. Muka Afza langsung memerah. Tak pernah seumur hidupnya Afza semalu ini.

Malu.

Dan Afza sendiri juga sedikit merasa heran dan aneh. Ini kali pertama ada seorang laki-laki yang menatap ke area kewanitaannya dan dia merasa malu.

Biasanya?

Afza sang petarung atau Afza sang prajurit yang akan mengeluarkan tanduknya dan memberikan reaksi. Dan pelakunya cuma mempunyai dua pilihan, antara memilih dihajar sampai babak belur atau menjadi sasaran sansak tinju bagi Afza. Dua pilihan yang sebenarnya sama saja hasil akhirnya, membuat si pelaku itu terkapar di tangan Afza.

Ini kali pertama Afza secara naluriah memberikan reaksi yang berbeda dengan laki-laki yang melakukan tindakan yang selalu dianggap Afza sebagai tindakan pelecehan bagi wanita dan sebuah tindakan mundur bagi emansipasi wanita.

Munding membuang muka dan mencoba meredakan gejolak nafsu sesaat tadi. Dia segera mengganti isi kepalanya dengan bayangan Nurul, istrinya sendiri, dan membuang jauh-jauh bayangan Afza yang memang ukurannya istimewa itu.

Suasana di dalam ruangan menjadi canggung dan Afza paling merasakan dampaknya. Dia merasa gugup tanpa sebab dan merasa aneh sendiri saat menyadari kalau cuma ada mereka berdua dalam ruangan ini sekarang.

Seorang prajurit elite seperti dirinya, yang selalu menghabiskan waktunya untuk berlatih dan belajar, ternyata masih sangat awam dengan urusan asmara. Selain tentu saja, banyak bodyguard bertebaran di sekelilingnya yang tak akan membiarkan sang Putri digondol oleh orang sipil biasa.

“Kamu sudah dua bulan bekerja untuk tim ini. Mungkin saatnya pulang mengunjungi istrimu untuk beberapa waktu,” kata Afza pelan, memecah keheningan dalam ruangan.

“Iya,” jawab Munding pendek sambil melirik kearah keluar jendela.

Afza yang mengharapkan sedikit ketidakrelaan dari Munding saat dia mengangkat isu liburan ini terlihat sedikit kecewa saat Munding sama sekali tanpa ragu mengiyakan sarannya.

“Seharusnya kamu berpura-pura nggak rela ninggalin tempat ini dong Munding!” teriak Afza dalam hati yang tentu saja tak didengar oleh Munding.

Tapi.

“Ummmmmm,” Afza hanya bisa menggigit bibirnya sambil menganggukkan kepala saja mendengarnya.

“Munding, sebenarnya ada dosa apa antara kamu dengan Komandan Jaelani? Kenapa dia begitu benci kepada dirimu?” tanya Afza dengan raut muka penasaran setelah beberapa saat mereka kembali terdiam.

“Ada apa antara aku dengan Jaelani?” gumam Munding mengulangi kalimat yang ditanyakan oleh Afza barusan.

Setelah beberapa saat berpikir, Munding belum berhasil juga menemukan alasannya. Dia mengenal Jaelani baru setelah beberapa hari masuk ke dalam tim Merah Putih ini dan bergabung di markas mereka.

Tapi, pertanyaan Afza justru kembali mengingatkan Munding tentang kejadian di malam pertama dia datang ke tempat ini. Saat pasangan Arya dan Anggie menyerangnya di atas bukit yang ada di belakang markas.

Dan kini, Munding juga sadar, saat kejadian itu, bukankah Munding dan Jaelani sama sekali belum berjumpa?

Adakah dendam antara dia dengan Jaelani yang membuat sang Komandan memerintahkan pasangan Arya-Anggie yang jelas-jelas merupakan salah satu pasangan terkuat untuk ‘menjajal’ Munding dengan serius malam itu?

Belum lagi apa yang dia lakukan sekarang, menggunakan alasan kondisi berserk Munding untuk mengeluarkan dia dari tim. Apa yang ingin dia capai dari semuanya? Apa maksud Jaelani melakukan itu?

“Apa motif si Jae untuk menyerangku bahkan sebelum kami bertatap muka?” tanda tanya besar muncul di kepala Munding.

Munding yang selama ini selalu berpikiran positif terhadap orang lain, kini merasa semuanya terasa aneh ketika dia mulai menyadari semua tindakan Jaelani yang selama ini dia lakukan.

=====

Author note:

Chapter ke 2 dari 2.

Saya akan berusaha kembali ke jadwal semula. Update 2 chapter per hari, Senin sampai Jum'at.

Update pertama saat pulang kerja jam 16.00-16.30, update kedua setelah sampai di rumah antara jam 18.00-19.00.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang