Chapter 38 - Polos

4K 228 10
                                    

“Kok bisa?” tanya Afza lagi untuk yang kedua kalinya setelah mereka duduk berhadapan.

Munding menggaruk-garuk kepalanya. Dia tahu apa yang terjadi barusan, tapi dia sendiri sulit untuk menjelaskannya dengan kata-kata. Karena itu, Munding mencoba untuk berpikir dan memilih kata-kata yang tepat untuk menerangkan penyebab kekalahan Afza tadi.

“Ehm. Ini hanya pendapat pribadiku. Jadi mungkin saja kalau aku salah,” kata Munding pelan.

“Humph,” dengus Afza ketika mendengar kata-kata Munding.

“Mau dengar tidak?” tanya Munding.

“Iya,” jawab Afza cepat sambil menganggukkan kepalanya.

Munding menarik napas dalam-dalam lalu memulai dugaannya, “menurutku, kamu itu, lebih tepatnya, intent yang kamu keluarkan itu, terlalu ‘murni’ atau ‘polos’. Tidak, bukan hanya kamu, tapi hampir semua dari anggota tim ini, intent kalian terlalu polos,” kata Munding pelan.

“Polos? Apa maksudmu? Bukan hanya aku saja, tapi juga semua kawan kita?” tanya Afza sedikit kebingungan.

“Susah diterima ya? Menurutmu, bagaimana intent yang aku keluarkan? Katakan jujur sesuai yang sebenarnya,” jawab Munding.

Afza terlihat berpikir sebentar lalu dengan sedikit ragu-ragu dia bergumam pelan, “memang sejak kemarin, saat kamu ada sedikit konflik di ruangan meeting dengan rekan-rekan yang lain, aku merasa aneh dengan intent yang kamu keluarkan. Intent-mu penuh amarah, kebencian dan seperti awan gelap yang siap menghembuskan badai ke mana saja dia berlalu.”

Afza kembali menarik napas setelah itu dan melirik ke arah Munding, “tadi, saat kita sparing, aku juga merasa kalau intent kita sungguh berbeda, aku merasa seolah-olah sedang berada dalam duel hidup dan mati dengan musuh bebuyutanku. Tadi juga aku merasa kalau kamu benar-benar berniat untuk menghabisi nyawaku,” kata Afza sambil tertawa kecil dan mengelap keringat yang tiba-tiba keluar di keningnya saat mengingat tatapan tajam Munding tadi.

Munding sedikit kaget dan melongo mendengar kata-kata Afza, “Tapi, aku memang benar-benar berniat menghabisimu tadi,” kata Munding yang langsung membuat tawa kecil Afza menghilang seketika dan wajah gadis itu berubah pucat pasi.

“Kamu serius?” tanya Afza dengan suara bergetar.

Munding menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Munding lalu terlihat menengadah keatas dan berpikir, tak lama kemudian, dia kembali menatap Afza yang masih terlihat shock mendengar pengakuan Munding barusan.

“Kurasa aku tahu apa penyebab intent kita yang jauh berbeda,” kata Munding sambil menganggukkan kepalanya.

“Dan?” tanya Afza lagi, tapi tidak dengan nada seantusias tadi, terlihat jelas sekali kalau gadis manis itu masih belum bisa pulih kembali setelah mendengar pengakuan Munding kalau untuk sesaat tadi Munding benar-benar berniat menghabisinya.

“Aku tahu penyebab intent kalian yang terasa terlalu murni dan polos. Kalian sama sekali tak punya intent untuk menghabisi musuh kalian. Kalian tidak punya determinasi. Kalian tidak pernah sungguh-sungguh saat bertarung melawan musuh sparing kalian,” kata Munding dengan nada penuh percaya diri.

Kali ini Afza seperti disengat kalajengking saat mendengar kata-kata Munding barusan. Afza memang tadi hanya berniat untuk mengetahui sejauh mana perbedaan kemampuan dirinya dan Munding saat menantang laki-laki itu untuk sparing. Tentu saja, Afza tidak berniat untuk menghabisi Munding. Jangankan menghabisi, niat untuk melukai saja tidak pernah terbersit dalam benak Afza.

Melihat perubahan ekspresi muka Afza yang masih terdiam, Munding bisa menebak kalau kata-katanya barusan tepat sasaran, lalu sebuah pertanyaan muncul dalam kepala Munding, “Kalian, kapan kalian terakhir kali melakukan duel hidup mati dengan serigala petarung lain?”

Afza terbengong mendengar pertanyaan Munding.

“Helloooo???? Ini abad keberapa gaess? Ini bukan lagi jaman Tutur Tinular atau Saur Sepuh yang semua masalah bisa diselesaikan dengan tantangan duel sampai mati. Ini jamannya hukum dan kami adalah prajurit. Kami tak mungkin melakukan itu,” teriak Afza dalam hatinya.

Afza melotot ke arah Munding, "aku rasa kami belum pernah berduel seperti yang kamu maksud," jawabnya dengan menggertakkan gigi.

Justru Munding yang sekarang terlihat memasang wajah aneh saat mendengar kata-kata Afza. Meskipun dia sudah menduganya, tapi mendengarnya secara langsung dari Afza membuat Munding merasa sedikit aneh.

"Lalu, bagaimana kalian bisa terinisiasi?" tanya Munding.

Afza tertunduk dan terlihat berpikir, "sama sepertimu, kami diinisiasi dengan cara menghabisi nyawa seseorang," jawab Afza, dia terlihat  sedikit enggan membahas soal ini.

Munding terdiam, "mungkin tak sesuai dugaanmu. Tapi saat inisiasi, aku sadar kalau kita tidak perlu menghabisi nyawa seseorang," kata Munding.

Kedua orang itu lalu terdiam dan larut dalam pikirannya masing-masing setelah mereka membahas masalah ini.

"Pernahkah kamu melakukan sparing tanpa intent untuk membunuh musuhmu?" tanya Afza sesaat kemudian.

Munding terlihat berpikir sebentar, "aku rasa pernah. Saat melawan Umar. Dua kali," jawab Munding.

"Dengan gurumu?" tanya Afza.

"Tak pernah sekalipun. Karena Bapak, tak akan pernah setengah hati bertarung," jawab Munding.

"Kalau begitu, berapa kali kamu bertarung dalam duel hidup dan mati?" tanya Afza lagi.

Munding terlihat berpikir sejenak, tapi belum sempat dia menjawab, Afza mengganti pertanyaannya.

"Maksudku, berapa orang yang tewas di tanganmu?" tanya Afza.

Munding mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Afza, dia terlihat enggan menjawab pertanyaan itu, "Banyak, dan aku tidak bangga akan hal itu," jawab Munding.

"Menurutmu, apakah kami harus membunuh orang atau melakukan duel sesungguhnya agar intent kami bisa sekuat dirimu?" tanya Afza.

Munding menggelengkan kepalanya dengan cepat sebagai jawaban, "aku rasa itu tidak perlu. Sekarang aku sadar kalau jalan sebagai serigala petarung tak seperti yang aku kira seperti dahulu," jawab Munding.

"Maksudmu?" tanya Afza kebingungan.

"Maksudku, dulu aku berpikir kalau semua serigala petarung harus melalui tahapan dan proses yang sama untuk mencapai tingkatan tertentu. Tapi sekarang aku sadar, sekalipun kita melakukan pilihan yang berbeda, kita bisa mencapai tingkatan yang sama," jawab Munding.

Afza masih terlihat kebingungan.

Munding tersenyum setelah melihat Afza, "Coba ceritakan padaku, saat inisiasi, pilihan apa yang kamu buat?"

Afza menarik napas panjang dan memejamkan mata, sesaat kemudian, dia mulai bercerita, "dulu saat inisiasi, aku ditempatkan dalam sebuah ruangan dan di depanku ada seseorang yang kepalanya ditutupi dengan kain," kata Afza pelan.

Afza lalu menarik napas panjang lagi dan terlihat sedikit enggan untuk melanjutkan, "Mentor lalu meletakkan sebuah pistol di depan kami. Dia memintaku untuk menghabisi nyawa orang itu tanpa bertanya siapa dia dan apa kesalahannya."

"Aku lalu dibiarkan tinggal berdua dengan orang itu yang tak berhenti menangis dengan mulut yang ditutup dan sebuah pistol yang diketakkan di depanku. Saat itu, seluruh tubuhku bergetar karena ketakutan dan ragu-ragu. Aku ada di ruangan itu selama lebih dari 4 jam dan bimbang untuk mengambil keputusan," lanjut Afza.

"Sampai suatu ketika, aku mendengarkan sesuatu dalam diriku, yang aku tahu adalah naluri petarungku untuk menghabisi nyawa orang itu. Suara yang awalnya pelan itu makin lama makin keras dan memintaku untuk mengambil pistol itu dan menembakkannya ke kepala yang tertutupi kain itu. Dengan tangan bergetar, aku pun melakukannya. Saat itu adalah saat terburuk dalam hidupku," kata Afza pelan mengakhiri ceritanya.

=====

Author note:

Chapter 2 dari 2.

Sorry lambat. Kami kesiangan. Tapi Alhamdulillah masih sempat sahur.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang