Chapter 107 - Perpisahan

3.3K 238 27
                                    

Lima belas menit kemudian, Aisah dan Leman tiba di rumah sakit. Cynthia meninggalkan semua staffnya yang sedang memberikan laporan dan berlari ke arah Gurunya.

“Guru, aku minta maaf. Gara-gara aku, Dek Nurul...”

Aisah hanya mengangkat tangannya, memberi Cynthia aba-aba untuk diam, “Ini bukan salahmu,” kata Aisah pendek sambil berjalan menuju ke ruang operasi.

Aisah tak perlu meminta Cynthia menunjukkan jalan ke sana karena dia bisa merasakan intent yang luar biasa sinis dan siap meledak kapan saja. Dan dia kenal dengan pemilik intent itu.

Leman yang berjalan di sebelah Aisah juga menarik napas dalam lalu mengikuti Aisah. Dia juga bisa merasakannya, betapa sinisnya intent Abang tertua mereka yang masih berusaha untuk berpegang pada sisi logika kesadaran dirinya.

Hanya dalam beberapa menit, Aisah dan Leman sudah berdiri di depan ruang operasi. Dia melihat pemandangan yang memilukan. Amel yang terduduk di lantai dan terpaku di tempatnya dengan air mata yang mengalir tanpa henti dan tangisan tanpa suara. Pak Yai yang terdiam dan mengepalkan kedua tangannya sedangkan Bu Nyai memeluknya erat.

“Mereka berani menyentuh keluargaku,” bisik Pak Yai pelan saat melihat Aisah dan Leman datang.

“Mas, sabar dulu. Coba kita lihat apa yang terjadi terlebih dahulu,” bujuk Aisah dengan lembut.

Leman terdiam dan berdiri di sebelah Pak Yai. Hanya dia yang mungkin bisa mengatasi Pak Yai jika sewaktu-waktu Abangnya itu meledak tak terkontrol.

“Cynthia, kamu sudah selidiki?” tanya Aisah kepada muridnya dengan nada datar.

“Sudah Guru, kami sudah menemukan tersangkanya,” jawab Cynthia cepat.

“Bawa dia kemari!” perintah Aisah pendek.

Aisah lalu berjalan mendekati Nurul yang terbaring tanpa napas. Tapi Aisah menghembuskan napas lega saat dia mencoba untuk merasakan detak jantung keponakannya itu. Masih ada detak yang sangat halus disana. Detakan yang bahkan mungkin tak terdeteksi oleh tim medis tapi Aisah tahu kalau ada kemungkinan Nurul masih bisa diselamatkan. Asalkan dia tidak terlambat melakukannya.

Saat Cynthia kembali bersama perawat itu, Aisah menoleh ke arah muridnya dan memberikan perintahnya, “Kosongkan tempat ini!”

Cynthia segera melaksanakan perintah gurunya dengan cepat. Dia gadis yang cerdas, dia tahu maksud gurunya. Apa yang akan terjadi setelah ini harus tetap menjadi rahasia dan tak tersebar luas ke khalayak ramai.

Aisah lalu mengangkat kedua tangannya kesamping. Sebuah jarum yang entah datang dari mana tiba-tiba melayang di sebelah Aisah. Cynthia memperhatikan dengan seksama. Ini kesempatan yang sangat bagus bagi dirinya untuk melihat gurunya beraksi.

Aisah lalu menunjuk ke arah kening Nurul dan jarum itu melayang cepat mengikuti jari telunjuk Aisah ke arah kening Nurul. Sesaat sebelum jarum itu mengenai kulit kening Nurul, tiba-tiba jarum tersebut hancur menjadi ribuan butiran intent halus yang menyebar ke segala arah dan menyelimuti seluruh tubuh Nurul.

Tubuh Nurul yang tadinya diam saja berbaring tanpa bergerak tiba-tiba melenting keatas seperti tertarik sesuatu di bagian kepalanya. Aisah lalu memejamkan matanya dan membuka telapak tangannya dan menempelkannya ke kening Nurul.

Mereka berdua terdiam dalam posisi itu.

=====

Munding dan Nurul saling tertawa dan berbicara tanpa henti. Entah sudah berapa lama mereka melakukan itu. Tapi posisi mereka bukan lagi duduk bersampingan. Munding memeluk Nurul dari belakang dan Nurul merebahkan punggungnya ke Munding.

“Mas, Nurul nitip si adek bayi ya?” bisik Nurul pelan tiba-tiba.

Munding jelas kaget, “Maksud Dek Nurul apa?” tanya Munding.

“Mmmmm. Siapa tahu suatu saat Nurul nggak ada lagi. Mas tolong rawat anak kita dengan penuh kasih sayang ya?” jawab Nurul.

Munding terdiam, nada-nadanya kok seperti orang yang mau pamitan. Ada apa dengan istrinya? Munding kebingungan.

“Mbak Amel itu gadis yang baik kok Mas. Nurul setuju kalau Mas mau nikah lagi sama dia. Nurul yakin kalau dia bakalan beneran sayang ke anak kita seperti ke anak kandungnya sendiri,” kata Nurul sambil tertawa kecil tapi tetap saja masih terdengar nada tidak rela disana.

Munding kali ini diam saja dan tak menjawab kata-kata Nurul. Dia memeluk istrinya lebih erat dan tak ingin melepasnya. Seolah-olah kalimat Nurul akan menjadi sebuah mantra yang akan memisahkan mereka berdua.

“Nurul selalu berpikir kalau kita akan punya kesempatan untuk menua bersama. Tapi takdir mungkin berkata lain,” gumam Nurul seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri.

Air mata mulai terlihat mengalir di pipi Nurul dan dia mengusapnya. Dia tak rela meninggalkan suami dan anaknya. Tapi, siapakah yang bisa melawan takdir?

Saat itulah, Nurul tiba-tiba saja merasakan sebuah tarikan yang sangat kuat dan dia tahu kalau waktunya sudah tiba, “Nurul sayang Mas Munding. Teruslah hidup bahagia, jangan bersedih karena Nurul,” kata Nurul sambil kembali mengusap air matanya.

Munding yang tadinya hanya menganggap kalau Nurul hanya bercanda, benar-benar kaget sekarang. Dia juga merasakan sebuah kekuatan yang luar biasa besar menerobos masuk dunia gelap ini.

Tapi target yang diincar oleh kekuatan itu bukan Munding. Kekuatan itu mencoba untuk menarik Nurul dan membawanya ke suatu tempat. Kini Munding tahu apa maksud kata-kata Nurul barusan. Sang Istri ternyata memang berniat untuk mengucapkan pamitnya kepada Munding.

Di saat yang sama, sosok Nurul tiba-tiba berubah menjadi transparan. Munding mencoba untuk meraih dan memeluk istrinya lebih erat tapi dia tak bisa menyentuhnya sekarang. Bayangan transparan yang merupakan perwujudan dari sosok Nurul itu perlahan-lahan melayang ke atas dan meninggalkan Munding.

Munding terpaku diam di tempatnya dalam posisi merengkuh Nurul. Tapi Nurul tak lagi ada dalam pelukannya. Ketika Munding membayangkan bahwa tadi adalah pertemuan terakhirnya dengan istrinya, tiba-tiba saja, seluruh tubuh Munding terasa seperti terbakar.

“Aku tak peduli siapa dirimu!! Tapi tak ada yang bisa mengambil istriku!!” teriak Munding penuh amarah dan tubuh manusianya tiba-tiba hancur.

Kini yang terlihat adalah sebuah bayangan hitam yang luar biasa besar tapi memiliki postur dan bentuk seperti layaknya manusia.

“Ini duniaku. Kau datang kesini dan berani mengambil istriku!!”

Suara Munding terdengar menggelegar dan menggetarkan ruangan gelap tanpa batas itu. Dengan penuh amarah dia mencoba menahan Nurul yang melayang dengan cepat ke atas tapi dia tetap tak bisa menyentuhnya.

Munding hanya bisa berteriak marah sekuat tenaga ketika melihat sosok Nurul melayang dan hilang entah kemana.

=====

Author note:

Chapter ke 2 dari 2.

Mmmm. Ada bonus chapter satu lagi. Langsung up juga.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang