Chapter 92 - Dokkodo

3.2K 232 25
                                    

Di saat Munding masih berkonsentrasi penuh untuk berlari di pinggiran jalan, tiba-tiba nalurinya mengirimkan sinyal bahaya. Munding bukanlah seperti Ardian yang dilatih dengan cara militer dimana logika bisa mengalahkan naluri, rantai komando lebih berarti dibandingkan pendapat pribadi.

Munding adalah seorang militan. Dia percaya nalurinya melebihi logika. Dengan cepat Munding melompat kesamping tanpa berpikir sama sekali ketika sinyal bahaya itu datang.

Krakkkkkkk.

Sebuah paving beton yang dipasang untuk pembatas tepi trotoar terbelah menjadi dua karena sabetan pedang yang tak terlihat. Munding menghela napas panjang dan tanpa berpikir berlari lagi. Dia bukan orang bodoh atau mungkin penuh rasa penasaran seperti Ardian yang justru berhenti saat diserang dari belakang.

Munding terus berlari.

Craasssss

Ciiiiitttttttttttttt. Duarrrrrrrrrr. Duarrrrrrrr. Duarrrrrrrrrr.

Kali ini Munding menghentikan langkahnya. Dia melirik kearah jalan raya dan tersenyum pahit. Jalan raya yang tadi masih terlihat normal dengan kendaraan bermotor yang berlalu lalang. Kini menyerupai medan perang dimana sebuah mobil terbelah bagian kap mesinnya lalu ditabrak secara beruntun oleh beberapa mobil di belakangnya.

Suara rintihan dan tangisan terdengar bersahut-sahutan dari dalam mobil yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas itu. Dan Munding tersenyum pahit karenanya. Musuhnya kali ini cerdas dan pintar. Dia tahu kalau untuk melukai Munding yang sepenuhnya mengandalkan naluri dari jarak jauh peluangnya sangat kecil.

Jadi dengan sengaja dia melayangkan serangan ke mobil yang lewat di sebelah Munding untuk memberi peringatan kepada bocah itu, “Silakan terus berlari, tapi aku akan membawa korban sebanyak-banyaknya dan memaksamu berhenti.”

Mau tak mau Munding pun berhenti berlari dan membalikkan badannya. Hikari terlihat berjalan dengan santai di tepian jalan tapi anehnya jarak yang ditempuh dengan langkah kakinya yang santai itu luar biasa. Hanya dalam beberapa langkah saja, Hikari sudah berdiri tak jauh di depan Munding.

“Bocah, aku menunggu pertemuan ini sejak lama,” kata Hikari sambil tersenyum dan menghembuskan asap rokok dari bibirnya.

Munding sedikit kebingungan dan membuat Hikari mengeluarkan tawa kecil ketika melihat ekspresi Munding.

“Mentormu pasti bukanlah seorang petarung manifestasi. Sekalipun aku yakin kalau dia sudah mendekati tahap itu. Dia seharusnya tahu dan memberitahumu, jangan pernah menggunakan insight terhadap serigala petarung tahap manifestasi,” kata Hikari.

“Saat seorang serigala petarung mencoba untuk menggunakan insightnya kepada seorang petarung manifestasi, targetnya juga akan melihat apa yang dia lihat dan berada dalam kondisi yang sama. Jadi, aku melihat dengan jelas saat aku menusukmu dengan katana ini ke dadamu di pinggiran ladang padi itu,” lanjut si Samurai dengan suara pelan dan nada datar.

Munding tercekat.

Dia tak pernah memikirkan atau bahkan membayangkan kalau apa yang dia alami waktu itu ternyata diketahui oleh musuh di depannya ini. Dia juga tak pernah menyadari bahwa ada bahaya besar yang mengancamnya karena ketidaksengajaan yang dia lakukan waktu itu.

Tapi, semua sudah terjadi, dan musuh itu sudah berdiri di depan mata. Tak ada gunanya lagi bagi Munding untuk menyesali semua itu. Lagipula, tak mungkin kan dia memutar kembali waktu dan mengubah semua pengalaman itu?

“Kamu adalah serigala petarung muda paling berbakat yang pernah kutemui. Tak ada satupun serigala petarung tahap inisiasi yang pernah melakukan insight sebelumnya sepanjang pengetahuanku. Kamu memiliki bakat alam yang luar biasa untuk menjadi seorang petarung,” kata Hikari.

Munding terdiam dan tak mengerti maksud perkataan Samurai di depannya itu.

“Dalam aliranku, setiap generasi hanya ada satu pewaris saja, sebelum aku hanya ada guruku, saat ini hanya ada aku, setelah aku meninggal, penerusku yang akan menggantikan aku. Dan aku belum memiliki penerus itu. Aku ingin kau menjadi muridku,” kata Hikari dengan nada serius dan tersenyum ke arah Munding.

Ha?

Munding kaget sekali, tak pernah sekalipun dia berpikir kalau musuhnya yang mengejarnya sedari tadi ternyata berniat untuk menjadikannya penerus aliran beladiri miliknya. Munding tak menyangka kalau semuanya akan berujung ke arah ini.

“Aku...” Munding berniat untuk menjawab permintaan Hikari tapi kata-katanya langsung dipotong oleh Samurai itu.

“Tapi kamu harus tahu, aliranku Iaijutsu, semangat bushido kami adalah Dokkodo, The Way to Walk Alone, kami diharuskan memutuskan semua hubungan dengan keluarga dan teman, tak ada kekerabatan. Kita akan selalu sendirian dan menempuh perjalanan hidup seorang diri. Tak pernah menetap di satu tempat. Selalu berlatih setiap saat demi mencapai satu tujuan. Mengenali diri sendiri dan menjadi yang terkuat,” kata Hikari.

Munding kembali tediam.

Tanpa keluarga, tanpa saudara, Nurul? Pak Yai? Bu Nyai? Calon anaknya? Amel? Asma?

“Itu bukan hidup yang kuinginkan,” kata Munding tegas tanpa perlu berpikir panjang.

Hikari tertawa, “sejak awal aku tahu itu.”

“Aku sudah melihatmu menangisi kematian istrimu saat insight itu. Dalam aliran kami, untuk menghindari kesedihan seperti itu maka kami memutuskan semua hubungan dengan orang di sekitar kami. Tanpa hubungan, tak ada kehilangan, tak ada kesedihan. Hanya ada diri sendiri,” lanjut Hikari.

“Tapi itu akan menjadi sebuah jalan hidup yang sangat menyedihkan,” jawab Munding.

“Hmmmm. Kita memandangnya dengan cara yang berbeda,” jawab Hikari, “jadi, kamu sudah yakin dengan keputusanmu?” lanjutnya.

Munding menganggukkan kepalanya.

“Siapa namamu?” tanya Hikari setelah menghembuskan asap rokok dari mulutnya.

Munding bisa melihat kalau Hikari seperti seseorang yang tidak memiliki emosi. Dia sepertinya tidak terlihat begitu senang saat bertemu dengan orang yang memiliki potensi seperti Munding dan layak menjadi penerusnya. Juga tak terlalu sedih atau kecewa saat Munding menolak tawarannya. Seolah-olah semua itu sama sekali tak berhubungan dengan dirinya sendiri.

“Seperti itukah caramu melihat dunia? Semua terlihat tak penting sama sekali dimatamu. Hanya ada dirimu saja tanpa orang lain. Sebuah cara hidup yang sangat egois dan menyedihkan,” gumam Munding dalam hati.

“Munding,” jawab Munding pelan.

“Munding-kun, aku meminta maaf. Tapi karena kamu tak bersedia mengikuti jalan bushido-ku dan menjadi penerusku. Aku harus membunuhmu,” kata Hikari setelah itu.

Munding tak menjawab, untuk seorang petarung dengan sebuah pemahaman konsep jatidiri seperti Hikari, dia tak akan pernah menganggap nyawa manusia lainnya berharga. Dia bisa dengan mudah memutuskan untuk membunuh seseorang tanpa berpikir panjang dan tanpa pernah merasa bersalah.

Itu adalah idealismenya.

Hikari kemudian menurunkan badannya pelan-pelan dan mengambil stance quick draw seperti sebelum-sebelumnya. Tapi dia tidak menawari Munding dua kali kesempatan seperti saat berhadapan dengan Ardian. Karena bagi Hikari, meskipun Ardian berbakat tapi dia tak akan pernah menjadi sebuah ancaman. Sedangkan Munding yang ada di depannya ini, dia punya potensi untuk membahayakan dia suatu saat nanti.

Dan ancaman bahaya harus dihilangkan sedini mungkin, bahkan kalau bisa sebelum ancaman itu tumbuh dan berkembang untuk mencapai tingkat yang membahayakan.

=====

Author note:

Chapter ke 1 dari 2.

Next chapter langsung up.

Karena saya bakalan sibuk sampai besok pagi. Sore ini persiapan tempat untuk acara halal bihalal ntar malam. Lanjut ke acaranya sehabis Isya. Kebetulan juga nanti malam dapat jatah piket di PT dari jam 00.00 sampe 04.00.

Besok pagi pasti terkapar di kasur seharian. Wkwkwkwk.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang