Chapter 11 - Reuni Kecil

4.3K 252 49
                                    

"Jadi?" tanya Broto.

"Saya akui dia memang petarung elite berbakat dan genius, Jenderal. Tapi, saya tidak suka attitude-nya itu. Saya tidak bisa mentolerir sikap dia saat berbicara dengan atasannya atau dengan seniornya," jawab Afza dengan suara jelas dan tegas.

"Dia itu militan," kata Umar yang berdiri di belakang Broto,"bukan militer."

"Militan agamis lebih tepatnya. Kita menjadikan Bela Negara dan Ibu Pertiwi sebagai prioritas terpenting bagi kita. Munding lain. Yang paling penting baginya adalah agama dan keluarga. Dia menempatkan hal lainnya bukan sebagai prioritas utama dalam hidup," lanjut Umar.

"Kalau begitu, kita akan susah mengaturnya ya kan?" protes Afza ragu-ragu.

"Kamu salah besar, militan memegang teguh ajaran agamanya. Kalau dia memberikan janji, dia akan berusaha menepatinya, sekalipun dia kehilangan nyawa dalam prosesnya, asalkan tak bertentangan dengan agamanya."

"Tapi, kamu lihat sendiri betapa susahnya mendapatkan sebuah 'janji' darinya kan?" lanjut Umar.

"Selain Afza, kan ada dua senior yang juga memasuki tahap Inisiasi seperti Afza, kenapa kita tak menggunakan mereka sebagai kandidat?" jawab Afza dengan cepat setelah kalah argumen barusan.

"Munding itu adalah senjata rahasia kita dalam memburu Chaos. Kalian semua, petarung elite didikan militer, punya karakter yang hampir mirip. Saat menghadapi masalah, kalian juga menggunakan metode dan cara berpikir yang sama. Mudah ditebak oleh musuh kita. Munding lain. Dia adalah faktor yang bisa merubah keteraturan dan keseragaman kalian. Dia juga akan menjadi sebuah keacakkan yang hasilnya tak terduga," kata Umar panjang lebar ke Afza.

"Jadi, Munding justru yang bakalan jadi trump card. Bukan kami?" batin Afza agak kecewa.

"Kalian para petarung Inisiasi didikan militer semuanya pernah melihat darah dan menggunakan tangan kalian sendiri untuk mengeksekusi musuh. Tapi dari semua petarung generasi muda angkatanmu yang tumbuh tanpa merasakan konflik skala luas, pengalaman bertarung kalian masih jauh dari apa yang pernah Munding alami," kata Broto.

Saat itu, Afza benar-benar memutuskan untuk melihat file bocah bernama Munding itu dengan lebih teliti.

=====

"Munding, karena mendadak, nggak semua kawan bisa ketemuan hari ini. Cuma Wowo dan Rin yang bisa datang. A Long lagi di Jakarta, sedangkan Fariz nggak bisa dihubungi," kata Amel saat mereka sedang menikmati santapan siang mereka di salah satu restoran Pemancingan terbesar di daerah Jimbaran.

"Oooo. Nurul penasaran pengen liat kawan Mas Munding yang namanya Wowo. Kata Mas, dia yang paling lucu kan?" kata Nurul.

Munding tersenyum, sedangkan Amel tertawa. Asma terdiam saja karena dia nggak mudeng dengan apa yang mereka omongin.

"Nanti ketemuan dimana?" tanya Munding.

"Di sini, Amel dah ngasih tahu kok. Lagian nungguin pesenan kita kan agak lama, Amel juga dah pesenin buat mereka berempat. Mereka dah otw dari tadi katanya. Sekalian refreshing juga," jawab Amel.

"Berempat?" tanya Munding.

"Kamu tu ya? Mbok ya bikin akun sosmed gitu. FB atau IG, biar update perkembangan kawan-kawan yang lain. Wowo kan seriusan jalan sama Citra sampe sekarang. Si Rin juga seriusan sama Billa. A Long aja yang brengsek dan masih sering gonta-ganti cewek. Kalau Fariz, Munding tahu kan seberapa noraknya selera dia?" jawab Amel.

Munding meringis kecut. Buat apa juga bikin akun sosmed. Dia bahagia dengan dunia kecilnya bersama Nurul di Sukorejo. Mau update status apaan? Lagi menyemai benih padi atau bersihin rumput di pematang?

Nurul tertawa kecil. Dia tak seperti suaminya, sedikit banyak, dia masih sekali dua membuka akun media sosial miliknya dan memantau kawan-kawannya. Tapi kalau suaminya, Nurul tahu persis kalau Munding tak punya akun sosmed satupun.

Mereka kemudian ngobrol dan bercanda sambil menunggu kedatangan kawan-kawan mereka dan pesanan mereka siap.

"Bro, mana istri ente?"

Tiba-tiba terdengar suara keras mengagetkan mereka berempat yang sedang bercanda di tempat lesehan mereka.

Siapa lagi kalau bukan Wowo.

Seorang gadis berjilbab dengan dandanan modis terlihat menggelayut mesra di sampingnya. Munding kaget melihatnya, Citra dah berubah juga ya?

Di belakang mereka berjalan sepasang muda mudi yang terlihat malu-malu bergandengan tangan. Gadis berjilbab lebar dan berkacamata tebal dengan seorang laki-laki yang terlihat tersenyum sendiri seperti orang gila, Rin dan Billa.

Rin dan Billa masih seperti dulu. Tidak terlihat perubahan yang berarti. Mereka hanya tampak lebih dewasa dengan guratan remaja masih terlihat di wajahnya.

Wowo dan Citra yang terlihat sangat berbeda. Wowo tak lagi gundul, sekarang dia punya rambut dengan potongan cepak mirip tentara, sedangkan Citra terlihat lebih manis setelah menutupi wajahnya dengan jilbab.

"Kamu sekalinya datang, itu yang ditanyain," jawab Munding sambil tersenyum, "ini istriku, Nurul," kata Munding sambil memperkenalkan istrinya.

Citra dengan antusias bersalaman dengan Nurul, Billa pun sama. Mereka berdua tahu kalau Munding tak akan berjabatan tangan dengan mereka. Kedua cewek itu lalu duduk bersama-sama dengan ketiga gadis berjilbab yang sudah duluan datang.

Rin dan Wowo duduk di sebelah Munding.

"Kupikir, kamu akan berambut panjang gondrong," kata Munding sambil melirik ke arah kepala Wowo.

"Nggak mungkin lah. Rambut ane keriting. Kalau gondrong bakalan mirip Babe Cabita," jawab Wowo sambil tertawa.

"Jadi kapan mau diresmiin? Kalau liat kelakuan kalian, ntar nambah dosa terus," kata Munding setengah bercanda.

Wowo melirik ke arah Citra sambil tersenyum kecut sedangkan Citra hanya menundukkan kepala dengan muka yang memerah. Semua orang juga tahu apa yang sudah dilakukan oleh pasangan ini.

"Papanya Citra minta dia lulus kuliah dulu baru married. Ane akan menunggu dengan sabar," jawab Wowo dengan muka serius.

"Nggak usah sok serius gitu. Nggak cocok sama mukamu," cibir Rin sadis.

Dan semua orang pun tertawa mendengarnya. Mereka lalu bercerita tentang apa yang sudah mereka alami selama beberapa tahun ini. Kelucuan-kelucuan sehari-hari, kehidupan kuliah mereka dan banyak hal lagi yang membuat suasana reuni kecil mereka menjadi meriah. Nurul dan Asma mendengar cerita mereka sambil tersenyum dan sesekali ikut tertawa. Mereka memang tidak dekat dengan kawan-kawan Munding, tapi kini mereka juga sedikit banyak tahu apa yang Munding telah dia alami dan kawan yang dia temui saat menghilang dulu.

Setengah jam kemudian, pesanan makanan mereka datang. Menu khas di pemancingan daerah pegunungan di sini. Gurame bakar dengan lalapan mentimun dan daun kol, ditambah sambal yang pedas, dan nasi yang masih hangat lengkap dengan uapnya yang masih mengepul.

Mereka kemudian menikmati hidangan itu dengan ceria.

Nurul, seperti biasanya, melayani suaminya terlebih dahulu, mengambilkan nasi dan lauknya lalu memberikannya untuk Munding.

Asma dan Amel cuma bisa melirik iri, mereka pengen juga melayani pujaan hati mereka. Tapi nggak mungkin kan?

Wowo melihat ke arah Citra, Citra cuma menundukkan kepalanya malu-malu, tapi akhirnya dia mengambilkan juga nasi untuk pacarnya dengan wajah yang memerah.

"Bil, aku nggak diambilin?" pinta Rin dengan wajah memelas.

"Enak aja, ntar kalau dah married," sungut Billa, jawaban yang sama yang juga dia berikan tiap kali Rin pengen bermesraan dengan Billa.

Semua orang langsung tertawa ketika mendengar kata-kata Billa, dan mereka semua melanjutkan makan siang mereka dengan ceria.

=====

Author note:

Ini chapter bonus nggak diitung.
Masih dua lagi.

Dedicated to Kak vhie101193

Selamat untuk calon dedek bayi ketiganya. Semoga sehat selalu kandungannya.

munding:MerahPutih (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang