Bab 24•Jurang

1K 62 4
                                    

Ketika sedang asik meminum jus mangga nya, tiba-tiba Didi terkejut dengan kehadiran seorang pria yang sangat ia kenal dengan wanita yang berpakaian mini, sebut saja kurang bahan.

Didi menghampiri pria itu dengan emosi memuncak, tangan nya terkepal keras. Dia sangat ingin menonjok pria tersebut, tetapi niat nya dia urungkan, karena pria tersebut adalah papahnya. Orang yang sangat ia sayang.

"Papah?!"

Fredo Adhitama, salah satu pengusaha terkenal di Indonesia. Pemilik perusahaan terbesar di Bandung. Orang itu adalah ayah Didi. Biasa disebut papah oleh Didi. Sekarang pria itu sedang jalan berdua dengan seorang perempuan yang berpenampilan seperti... Jalang? Maybe.

Fredo membelalakkan matanya,"Didi? Ngapain kamu disini?"

"Aku yang seharusnya tanya sama papah, ngapain papah disini? Sama jalang itu lagi!" tanya Didi sambil menunjuk ke arah Viona, perempuan yang berada di samping papahnya.

Viona menatap Didi dengan tatapan tak suka,"Kamu siapa? Berani-beraninya sebut saya jalang!"

"Lho bukannya emang jalang ya? Itu ngapain pake baju kurang bahan begitu? Benang baju nya abis? Atau lo gak punya uang buat beli baju yang cukup bahan?" ketus Didi kepada Viona. Viona mengepalkan kedua tangannya. Tak suka dengan ucapan Didi.

"Songong kamu dengan saya!" teriak Viona berusaha menjambak rambut Didi, tetapi tangan Fredo menghalanginya.

"Dih mau main jambakan? Ga level ah, main baku hantam aja ayo, jalang!"

"CUKUP DIDI! kamu bisa sopan tidak dengan orang yang lebih tua?" bentak Fredo membuat seluruh pengunjung cafe memusatkan pandangannya kepada mereka.

Ada yang menonton dengan tatapan risih, ada yang menonton dengan tatapan penasaran, dan lain-lain. Fredo menghiraukan sekitar. Dia membentak Didi seolah-olah tidak ada orang di sekitarnya. Kecuali Viona.

"Aku bisa bicara sopan, tapi bukan dengan jalang itu!" jawab Didi sambil menunjuk ke arah Viona.

"Sama saja kamu tidak bisa sopan dengan orang yang lebih tua, dasar anak tidak tau diri!" bentak Fredo lagi-lagi. Amarah Didi semakin memuncak, ingin sekali ia memukul orang yang sudah membentaknya itu dan menghancurkan rahangnya sampai tidak terbentuk.

"Bukannya Anda yang tidak tau diri? Dimana tanggung jawab Anda sebagai seorang ayah? Istri Anda membutuhkan anda, ayah. Tapi Anda malah jalan dengan jalang ini dan beralasan ada urusan kantor di luar! So, siapa yang tidak tau diri disini?"

Plak

"Dasar anak kurang ajar!" Didi memegang pipinya yang terkena tamparan oleh tangan ayahnya sendiri. Ayahnya yang selama ini dia bangga-banggakan kepada temannya. Ayahnya yang selama ini dia nantikan kehadirannya untuk mengisi waktu bersama keluarga, tetapi apa ini? Ketika kemarin hari kebahagiaannya bersama sebuah keluarga yang utuh, namun sekarang?

Sepertinya Didi salah sudah menantikan seoranga ayah untuk pulang dan berkumpul bersama keluarga.

Didi menatap ayahnya dengan tatapan tajam, biar saja sekarang ia dikatakan anak durhaka.

"Dasar ayah kurang ajar! Saya sudah salah menantikan anda pulang untuk berkumpul bersama keluarga," sarkas Didi, dada nya turun naik akibat amarah yang sudah memuncak.

"Maafin ayah," kata Fredo lirih sambil memegang bahu Didi, tetapi langsung ditepis kasar oleh Didi.

"Maaf anda siapa? Saya gak punya ayah, saya cuma punya bunda." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Didi pergi dari hadapan ayahnya. Fredo mengacak rambutnya frustasi. Ini memang salahnya. Kenapa berani sekali dia jalan bersama seorang jalang sedangkan dia mempunyai seorang istri di rumah.

La-Luna (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang