Jangan tanya mengapa Derin bisa berakhir di sini—di depan Arka yang kini dipenuhi tanda tanya. Sebelumnya, Derin melihat cowok itu bertemu Diana di depan gerbang rumahnya. Hanya sebentar. Begitu Arka beranjak pergi dari rumah itu, instingnya mengatakan untuk mengikutinya.
Alhasil ia kembali berhadapan dengan Arka yang kini membisu untuk seperkian detik.
"Dari mana gue tau nama lo?" tebak Derin tepat sasaran.
"Lo stalker ya?" tuduh Arka tak berdasar. Tapi wajar jika Arka menuduhnya sebagai stalker. Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya dan tiba-tiba saja ada orang asing yang tahu namanya.
"Sembarangan kalo ngomong! Nama gue Derin. D-E-R-I-N," tegas Derin dengan mengeja namanya.
"Siapa juga yang nanya nama lo?"
Derin mencoba untuk tersenyum. Menahan sedikit kekesalannya kepada Arka. Dari pertama bertemu, ia sudah mengira jika Arka ini tipe orang yang menyebalkan. Menyebalkan dalam artian sulit untuk didekati.
"Gue cuma ngasih tau! Emang nggak boleh?" sentak Derin gagal menahan diri untuk tidak berteriak.
"Gue nggak mau tau tuh,"
Derin membulatkan matanya mendengar jawaban sarkas Arka. Perlahan ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya kasar.
Sabar. Batinnya mengingatkan.
Arka sudah bersiap menyalakan motor ketika Derin tiba-tiba menghadang di depan motornya. "Mbak? Ngapain di situ? Mau gue tabrak?"
"Tolong ya, itu kesongongan-nya dikondisikan," kata Derin jengkel. "Orang mau kenalan baik-baik juga,"
Arka mulai jengkel. Tatapan tajam ia layangkan kepada cewek asing di depannya. Cewek yang membuat waktunya terbuang percuma hanya dengan mendengar ocehannya.
"Mau lo apa sih?" tanya Arka kesal. Bertemu cewek tidak jelas ini semakin memperburuk suasana hatinya.
"Lo masih punya hutang sama gue, woy!"
"Dompet gue hilang abis bayarin lo di mini market tadi. Jadi, lain kali aja gue bayar hutang, ya?" Arka mencoba bernegosiasi dengan Derin agar cewek itu segera menyingkir dari sini.
"Siapa bilang gue minta ganti rugi duit?" balas Derin membuat Arka mengerutkan dahinya. "Sini pinjem hp lo,"
"Buat apaan? Lo mau nyadap gue?"
"Negatif thinking amat sih nih, bocah!" gerutu Derin. "Udah sih, sini dulu."
"Nggak!"
"Pinjem, Ar!"
"Nggak!"
"Gue mau ngabarin bokap dulu ini, nggak bawa hp gue!"
Arka berdecak kesal. Tapi entah mengapa mendengar itu ia langsung luluh. Ia langsung meminjamkan ponselnya kepada Derin. "Buruan!"
Derin tersenyum sumringah. Ia mengetikan beberapa angka di layar-tanpa lupa menyimpan nomor itu—lalu menekan tombol hijau. Selang beberapa detik ponselnya sendiri berdering. Membuat Arka membelalakkan mata seketika.
"Lo ngerjain gue, ya?" Derin buru-buru mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya yang kini siap melemparkan amarah padanya.
Derin tersenyum puas. "Hutang lo lunas," ujarnya kemudian.
Arka tidak habis pikir. Sungguh. Ia baru pertama kali ini bertemu makhluk yang berhasil membodohinya.
"Dan ini hutang gue tadi di minimarket," ujarnya lagi seraya menyerahkan uang kepada Arka.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...