"Makin deket aja ya sekarang," gumam Nara, ketika Derin sudah menghilang dari balik pintu.
Arka menghiraukannya, ia lebih memilih mengeluarkan ponsel, lantas menunjukkan tangkapan layarnya ke arah cewek itu. "Lebih deket mana sama yang ini?" tanyanya kemudian.
Nara terdiam beberapa detik. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu. "Dapet dari mana?"
Arka memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Matanya menatap tajam Nara. "Aku pikir bukan kalimat itu yang terlontar pertama kali dari mulut kamu. Ternyata sama aja. Seolah emang bener, ya?"
"Kamu ngomong apa sih?" balas Nara, seolah tidak mengerti atas apa yang tengah dibicarakan Arka.
"Kenapa harus sama sahabatku sendiri, Ra?" tanya Arka to the point.
Nara meneguk salivanya sejenak. "Terus apa bedanya kamu sama Derin?"
"Udah berapa kali aku bilang, aku sama Derin cuma temen. Selama ini aku lihat kamu menyikapi hal ini dengan baik."
"Temen apanya? Kamu tuh yang nggak peka, Derin itu jelas-jelas suka sama kamu. Dan, kamu justru ngebiarin dia ngedeketin kamu secara leluasa."
"Stop bawa-bawa nama Derin, dia ngga ada hubungannya sama masalah ini," jelas Arka.
"Bela aja terus!"
Arka menghela napas berat. Entah mengapa Nara yang dihadapannya saat ini, rasanya bukanlah Nara yang ia kenal. "Mau kamu apa, sih?" tanya Arka, nada suaranya mulai terdengar sedikit meninggi. Tangannya mengacak kasar rambut legamnya.
"Kayaknya kita emang udah nggak sejalan. Aku mau kita sendiri-sendiri dulu," ujar Nara, tanpa pikir panjang.
Sejenak keheningan menyertai keduanya. Arka sudah menduga hal semacam ini pasti akan terjadi. Siap tidak siap, ia harus merelakan segala sesuatu yang memang tidak diciptakan untuknya.
Kata orang hakikat tertinggi dari mencintai seseorang ialah melepaskan. Maka, detik ini juga Arka akan melakukan hal itu. Ia tidak mau lagi hidup dalam kebahagian yang berlandaskan kebohongan.
Sejenak Arka menghela napas pelan. Sebelum akhirnya tersenyum tipis, seraya menepuk pelan bahu cewek di depannya itu. "Baik-baik, Ra," gumamnya, lantas berbalik melangkah pergi meninggalkan Nara, beserta kenangan yang dulu pernah mereka buat bersama.
Sinar matahari mulai meredup ketika Arka keluar dari ruang rawat Wisnu. Ini pertama kalinya Arka menginjakan kaki keluar, karena sedari pagi ia siaga menjaga ayahnya yang masih belum tersadar sampai sekarang.
Bagi Arka, Wisnu adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Sedari lahir, Arka sudah tidak memiliki figur seorang ibu. Wisnu merupakan seorang ayah, sekaligus figur seorang ibu baginya sejak lahir. Jadi, tidak bisa dipungkiri lagi rasa khawatir yang ada di dalam dirinya saat ini tidak dapat dibendung lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...