Hari ini hari libur. Karena Arka tidak memiliki agenda atau jadwal latihan basket, maka ia memutuskan untuk pergi ke rumah Nara. Meminta penjelasan dari cewek itulah yang ia butuhkan saat ini. Keputusan sepihaknya---Arka masih tidak dapat menerima hal itu sampai kapan pun.
Hanya butuh beberapa menit untuk Arka berdiri di sini. Di depan pintu berpelitur coklat inilah lagi-lagi ia berharap bisa bertemu dengan cewek itu. Arka mengehela napas sejenak, lalu dengan yakin mengetuk benda keras yang menjulang tinggi di depannya.
Tidak perlu waktu lama kedua sudut bibirnya nyaris tertarik ke atas menatap Nara yang muncul dari balik pintu. Belum sempat Arka membondonginya dengan beberapa pertanyaan, tanpa aba-aba cewek itu justru menariknya menuju gerbang.
"Ra, kenapa sih?" tanya Arka begitu mereka sampai di depan gerbang.
Arka menghela napas, mengatur emosinya sejenak. Ia sama sekali tidak ingin membentak Nara. Arka memegang bahu cewek itu, mengarahkan tubuh Nara agar sejajar dengannya. Matanya menatap lekat Nara yang tidak kunjung menjawab pertanyaannya. "Ra?"
Sejenak Nara termenung, sebelum akhirnya menepis pelan lengan Arka yang masih menempel di bahunya. "Aku sekarang dijemput sopir, Ar," ujarnya kemudian, membuat Arka sedikit menghela napas lega.
Ia kembali menatap lekat cewek itu. Seolah mencari kebohongan atau kebenaran dari pernyataannya.
"Serius?" tanya Arka, meyakinkan cewek itu sekali lagi.
"Iyalah, buat apa aku bohong?" jawab Nara, seraya tertawa kecil.
"Aku serius, Ra," sela Arka penuh penekanan.
Nara tertegun, matanya menatap canggung cowok itu. Ia tidak pernah melihat Arka sedingin ini. Nara mengulum senyum, lantas menggenggam jemari Arka pelan.
"Iya, aku serius. Sopir papa baru aja dateng dari kampung kemarin."
Arka terdiam beberapa menit, sebelum mengangguk kecil ke arah cewek itu. "Ya udah deh, aku percaya," ujarnya sembari mengacak pelan rambut Nara.
"Mau jalan nggak?" tawar Arka kemudian.
Nara tampak berpikir sejenak, lalu kepalanya mengangguk pelan, "Aku ambil tas dulu, ya? Kamu tunggu di sini aja," ujarnya, lalu bergegas masuk ke dalam rumah, dengan Arka menunggunya di depan gerbang.
"Kamu mau makan apa?" tanya Nara, sembari membolak-balikkan buku menu yang ada di tangannya.
Karena tidak kunjung mendapat jawaban dari Arka, Nara melirik cowok itu melalui ekor matanya. Ia mengerutkan dahi, sekilas dilihatnya Arka tengah terdiam sembari menatap intens ke arahnya. Tidak lupa senyum tipis diujung bibirnya yang hampir tidak terlihat itu membuat Nara menaikan alis.
"Ar?" panggil Nara, telapak tangannya ia lambaikan di depan cowok itu.
Sesaat kemudian Arka tersadar, lalu senyum canggung spontan melengkung di bibirnya, "Eh, iya mau pesen apa?" respon Arka, balik bertanya. Jemarinya sesekali menggaruk tengkunya yang tidak gatal.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...