Minggu pagi adalah waktu yang paling tepat untuk menikmati car free day. Derin dengan semangat mengayuh sepedanya menyusuri sepanjang jalan yang menjajakan aneka makanan dan minuman. Di saat banyak orang yang berolahraga, ia justru berencana memburu berbagai makanan yang ada di sini. Jangan salah, kalau soal makanan itu selalu menjadi nomor satu bagi Derin. Terlebih lagi makanan paling bisa mengubah suasana hatinya.
Pada akhirnya Derin kembali meninggalkan kota hujan, kemarin. Dengan setengah hati ia menuruti ucapan ayahnya yang lebih seperti perintah yang tidak bisa diganggu gugat. Walau sebenarnya bukan itu yang membuatnya mau pulang. Derin tidak bisa mengelak. Jika bukan karena bujukan Arka, mungkin ia akan memilih menetap di sana seorang diri. Ia tidak bisa bohong bahwa ia masih ingin berada dalam radius yang dekat dengan Arka.
Senyum kecil terbit menghiasi wajahnya ketika mengingat hal kecil yang Arka lakukan ketika di Bogor. Membuat fokusnya bercabang. Butuh beberapa detik hingga kesadaran Derin pulih sepenuhnya. Matanya membulat sempurna ketika sepeda yang dikayuhnya hampir menabrak orang yang sedang lari di depannya.
"Anjir, Derin!" Dengan cepat Derin menarik rem tanpa mengira ia yang akan terpental ke jalan. Seketika Derin meringis menahan perih di sekitar siku dan kakinya yang tergores aspal. "Aish! Gue kenapa sial mulu sih?" gerutunya.
"Derin?"
Derin mendongakkan kepalanya begitu mendengar namanya dipanggil. Ia tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Tristan berdiri di hadapannya. Tristan terlihat sama terkejutnya dengan dirinya. Sedetik kemudian cowok itu mengulurkan tangannya kepada Derin. Bodohnya ia justru bengong saja.
"Gue kirain siapa. Ternyata lo," ujar Tristan seakan sudah akrab dengan Derin. Derin sendiri dibuat melongo melihat sikap Tristan seperti itu. Pasalnya ini baru kedua kalinya mereka berinteraksi—meskipun saat di rumah sakit waktu itu tidak bisa dibilang interaksi yang layak. "Lo nggak apa-apa?" tanya Tristan menyadari bahwa Derin tidak kunjung menerima uluran tangannya.
Derin berdiri sendiri tanpa menerima bantuan yang ditawarkan Tristan. Lalu menggeleng pelan sebagai jawaban dari pertanyaan Tristan. "Sori, tadi gue ngelamun dan hampir nabrak lo," ucap Derin dengan canggung.
Tristan justru terkekeh. "Yailah, nggak kena juga kan tadi?"
Derin tidak bisa tidak canggung di depan Tristan. Aura yang dipancarkan cowok itu seolah membuatnya merasa terintimidasi meskipun yang dilakukan Tristan saat ini jauh dari kata itu.
"Kalau dipikir-pikir kita belum kenalan dengan layak, ya?" gumam Tristan membuat Derin tersenyum kikuk.
"Mungkin,"
"Gue Tristan,"
Kali ini Derin membalas uluran tangan Tristan. "Derin,"
"Baru juga kemarin kecelakaan. Tangan sama kaki lo udah lecet aja lagi,"
Derin menyadari tatapan Tristan sedari tadi tertuju pada siku dan kakinya yang ternyata berdarah. "Luka kecil aja ini mah," kata Derin berusaha meyakinkan Tristan bahwa lukanya tidak separah itu.
Tristan tanpa diminta mengambil alih sepeda Derin yang masih tergeletak di jalan. Lalu menatap sebentar pemiliknya. "Ikut gue yuk,"
Derin mengernyit. Ke mana pula cowok itu mengajaknya. "Ke mana?"
"Udah, ayo,"
Derin ingin menolak. Tetapi langkah kakinya justru menuruti ajakan Tristan yang entah kenapa terdengar seperti perintah yang siapapun enggan untuk membantah. Derin menatap ke sekeliling. Ramai. Meyakinkan Derin bahwa Tristan tidak ada niatan buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...