Arka menunggu di ruang tunggu dengan cemas. Ini merupakan kunjungannya yang kesekian kali. Sebelumnya Nino selalu menolak bertemu seseorang. Bahkan kemarin setelah bersedia bertemu Derin, Nino justru tidak bersedia bertemu dengannya. Sampai akhirnya hari ini cowok itu mau menemui Arka.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya seseorang yang Arka tunggu sedari tadi muncul di hadapannya. Arka menatap Nino yang nampak sangat berantakan saat ini.
Bahkan luka memar akibat pukulan Arka waktu itu sepertinya belum sepenuhnya pulih. Sungguh ia tidak sanggup membayangkan kehidupan Nino di balik jeruji sel sejak kemarin.
"Maafin gue," ujar Arka lirih, setelah terjebak keheningan yang cukup lama. Ia menunduk, merasa malu menatap Nino saat ini.
"Yang lo lakuin itu bener, Ar." Nino menjeda kalimatnya. "Di sini gue yang jahat," lanjutnya dingin, tidak ada Nino yang cerah seperti biasanya.
"Lo ngomong apaan sih?!" sentak Arka.
"Gue udah denger semuanya dari Derin sama Arya. Kenapa lo nggak pernah cerita semua masalah lo ke kita, No?"Nino tersenyum tipis. "Gue udah terlalu banyak ngerepotin kalian," Ia menghela napas sejenak. "Gue, gue cuma nggak mau jadi beban."
"Sejak kapan lo jadi beban buat kita?" tanya Arka. "Kita udah sama-sama sejak SMP, lo udah gue anggep saudara gue sendiri. Nggak seharusnya lo kaya gini."
"Sikap lo yang terlalu baik kaya gini, Ar, yang selalu ngebuat gue sungkan," gumam Nino pelan. "Gue nggak apa kok di sini. Dengan di sini mungkin gue nggak akan nyelakain kalian lagi."
Arka memijit kedua pelipisnya pelan. Bahkan berbicara baik-baik saja harus menahan emosi.
"Kita semua itu korban, No!" Arka meninggikan suaranya. "Nggak seharusnya lo terima jadi kambing hitam kaya gini!"
Nino terdiam.
Terdiam cukup lama.
"Gue sama yang lain bakal nyari cara buat bebasin lo. Kita nggak akan biarin lo nanggung kesalahan bocah brengsek itu. Jadi, gue minta lo terima Om Hardana sebagai---"
"Mereka itu terlalu kuat, Ar," sela Nino.
"Dan, lo lebih milih nyerah?" Sahut Arka.
"Inget, No, lo masih punya Tante Sarah. Lo mau nyerah gitu aja? Gimana kalau Tante Sarah tau?"
Nino meneguk salivanya kuat-kuat. Ia mengulum bibir sejenak. "Justru gue takut mama kenapa-kenapa, Ar. Tristan itu monster. Dia nggak pandang bulu."
Jadi, selama ini hal itu yang Nino takut, kan?
Arka menghela napas dalam. "Lo nggak usah khawatir. Kita bakal jaga Tante Sarah. Lo lupa, Tante Sarah udah gue anggep kaya nyokap gue sendiri?" jelas Arka. "Trust me, okey?"
Nino masih diam. Tangannya bergetar, rautnya terlihat begitu gelisah.
"No, ketakutan itu harus dilawan. Bukan diterima kaya gini. Lo nggak salah, jadi lo nggak perlu takut. Lo nggak pengen cepet keluar biar bisa jagain Tante Sarah? Lo masih punya nyokap, lo masih punya kita semua, No. Seenggaknya lo harus hargain usaha kita buat bantuin lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...