Minggu pagi, seperti biasa Arka melakukan rutinitasnya setiap akhir pekan. Memandikan ninja hitam miliknya. Sembari terus membilas bagian luar motor, pikiran Arka terus berkelana. Ia mencoba mengeyahkan semua itu dari dalam otaknya. Namun, bayangan Derin menyatakan perasaan padanya terus terlintas dipikiran sejak kemarin.
Arghhh, Arka menggeram seraya memukul kepalanya pelan. Ada yang salah di dalam dirinya. Harusnya ia marah, marah karena Derin telah membohonginya selama ini. Lantas mengapa ketika mendengar pernyataan cewek itu, perasaannya justru menjadi gelisah?Arka menghentikan aksi mencuci motornya. Ia mendudukan tubuhnya di kursi yang berada di depan teras. Matanya ia pejamkan, lantas kedua jemarinya mulai memijit pelipisnya pelan. Masih mencoba mencari tau penyebab rasa gelisah di dalam dirinya ini datang dari mana.
Satu menit dalam posisi seperti itu, Arka membuka mata begitu merasa ada sosok lain yang tengah duduk di sampingnya. Ia melirik sekilas ketika seseorang itu menyodorkan sebungkus rokok ke arahnya.
Arka menatap datar Arya yang masih memberi ekspresi menawarkan barang bawaannya itu.
"Lo ngerokok lagi?" tanya Arka, lantas menepis jauh rokok itu dari hadapannya.
"Lo buka dulu dong ini apa," dengus Arya. Kemudian cowok itu membuka bungkus rokok itu dengan cepat. "Nih,"
Arka menatap malas begitu Arya mengeluarkan isi dari bungkus rokok itu. Isinya mirip rokok, tapi itu bukan rokok.
"Ada ya, pabrik nyiptain permen mirip rokok kaya gini?" Arya mulai mengunyah permen itu. "Ya lord, kasian generasi anak-anak gue nanti," lanjutnya mendramatisir.
Arka sama sekali tidak berniat menanggapi candaan Arya. Ia masih terus bergelut dengan pikirannya sedari tadi.
"Minta nggak lo?" lagi-lagi Arya menyahut, seraya menyodorkan sebatang permen itu ke arah Arka.
Arka mendelik, ia menepis tangan Arya kasar. Hampir saja semua permen yang ada digenggaman cowok itu terjatuh ke atas lantai.
"Lo kalau nggak mau santai aja, woi!" gerutu Arya. "Emang si Babi kurang ajar, katanya ini mempan buat ngilangin stres," runtuk Arya.
Arka tak menyahut, ia sudah paham konteks 'Babi' yang di maksud Arya, pasti itu Bian, adik semata wayang cowok itu. Aneh memang, adiknya sendiri dikatain Babi.
"Oh iya, itu Bian katanya minta lo ajarin lagi, bentar lagi UN kan dia. Heran gue, abangnya siapa minta diajarinnya ke siapa? Mungkin gegara dia sebelas dua belas sama lu kali, ya? Kadang tuh gue heran sama dunia datar kalian berdua," cerocos Arya, masih heran jika ia memiliki sahabat dan juga adik yang sikapnya terbilang tidak jauh berbeda.
Lagi-lagi Arka tak menyahut.
Arya meneguk ludahnya susah payah. Ia sadar betul mood Arka belum membaik, jadi percuma saja ia ngomong panjang lebar.
"Ikut gue yuk," ajak Arya seraya bangkit dari duduknya.
Namun, Arka masih saja bergeming di tempat.
"Woi!" Arya menepuk kasar bahu Arka. Membuat yang dipukul terlonjak beberapa saat.
"Apaan sih lo," dengus Arka.
"Ayo ikut gue."
"Nggak."
Kali ini Arya tidak kehilangan akal, ia menarik paksa lengan Arka. Namun, Arka kembali menebasnya kasar.
Arya menghela napas sesaat. "Oke, oke, lo boleh marah, tapi apa kemarahan lo itu bisa ngebuat hati lo lega?"
Tidak ada jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...