"Ini ada apa, sih?" tanya Nino bingung sendiri.
Jujur saja ia baru datang karena harus pergi ke apotik dulu tadi. Begitu tiba di rumah Arka, tiba-tiba atmosfer di antara Arya dan si pemilik rumah itu cukup menegangkan seperti ini.
Masih hening.
Keduanya tetap terdiam, tanpa kata, tanpa melirik satu sama lain.
"Elah, gua baru dateng nggak tau apa-apa ini, tolong jangan didiemin, anjay!" seru Nino, matanya memutar menatap Arka dan Arya bergantian. Kemudian memilih berhenti menatap Arya. "Kenapa sih, Ri?"
Arya hanya melengos, tangannya menopang dagu menatap pintu keluar rumah Arka. "Lo tanya aja sama yang punya rumah."
Nino beralih menatap Arka. "Ar, kenapa?"
"Gapapa," jawab Arka singkat.
Nino yang geregetan pun langsung menarik lengan keduanya agar bersalaman. "Yaudah kalau nggak ada apa-apa baikan, ya?"
Namun, tangan keduanya saling tergenggam di udara.
Enggan untuk memaafkan satu sama lain.
Nino memijat pelipisnya, ternyata mereka berdua lebih kekanak-kanakan dibanding dirinya sendiri. "Ya udah, ayo buruan diselesaiin masalahnya. Abis itu kalian bebas bully gue deh. Ikhlas gue, tapi abis itu kasih makan gue, ya?" canda Nino, namun keduanya tetap membisu.
"Ya Allah, masih—"
"Derin sama Nara serumah. Tu bocah tau, tapi nggak cerita ke gue," potong Arka.
Mulut Nino menganga. "Hah?"
"Loh kan gue udah bilang, gue kira Nara udah bilang ke lo. Kan lo pacarnya," Arya yang tidak terima pun ikut bersuara.
"Lagian lo paling nggak suka kan kalau hubungan lo kita bahas?" gerutunya lagi.
Tepat sasaran.
Memang sejak dulu Arka paling tidak suka jika hubungannya dibahas tanpa seizinnya. Ia tidak menyangka Arya paham akan hal itu. Biasanya dia dan Nino selalu melakukan hal-hal yang berbanding terbalik dengan apa yang Arka minta.
"Bentar, bentar," Nino menengahi. "Nara sama Derin saudaraan?" tanyanya setengah kaget.
Arka hanya mengangguk cuek.
Entah mengapa Nino malah menatap takjub. "Wah, gila! Ini sinetron..."
Arya mendengus, lantas menjitak pelan kepala sahabatnya itu. "Berisik lo!"
Nino mengaduh, seraya mengusap ubun kepalanya pelan. "Kalau menurut gue, lo nggak bisa salahin Ari juga si, Ar. Gue kalau jadi dia pasti juga ngira kalau Nara udah ngasih tau lo," gumam Nino.
"Ya, siapa tau dia bikin rencana sama si Biang Sial itu," protes Arka, masih tidak terima.
"Udah gue bilangin, dia punya nama ya, Ar! Lagian buat apa gue bikin rencana sama Derin, hah?" balas Arya menggebu.
Arka tak menjawab. Harusnya ia sadar, dari awal dirinya memang tidak pernah pandai berdebat. Apalagi dengan Arya yang notabene banyak omong.
"Lo---" gumam Arka ragu, "suka sama itu cewek?" lanjutnya, entah mengapa mulutnya tiba-tiba menanyakan ini.
Sejenak Arya terlihat kaget, sebelum akhirnya ia berdehem, sembari melirik heran Arka. "Emang apa urusannya sama lo?"
Arka memutar bola matanya, lalu mengerutkan dahi. "Nanya aja, si."
"Derin itu cewek baik, kalau lo mengenal dia dengan baik juga. Dia juga bukan biang sial seperti yang sering lo bilang. Selain itu dia cantik, asyik, lucu lagi, gue jadi penasaran tipe cowok yang dia suka kaya apa, ya?" guman Arya, sembari meraih jaket navy yang ada di bahu kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...