Derin memarkirkan motornya di garasi. Hari ini ia tidak lagi naik ojek online seperti biasanya. Dengan terpaksa ia mengendarai motor matic milik Nara atas perintah ayahnya dengan alasan supaya lebih hemat. Lagipula ia tidak merasa dirugikan juga sebenarnya. Sementara Nara sendiri mengatakan bisa berangkat dan pulang bersama temannya.
Seketika jiwa penasaran Derin menggebu. Pasalnya dari yang ia dengar dari Arya, Arka selalu mengantar jemput Nara. Tetapi ia tidak pernah melihat mereka berangkat dan pulang bersama. Pernah sekali ia melihat Arka datang ke rumah untuk menemui Nara yang saat itu kebetulan memang tidak ada.
Ada yang janggal di antara mereka. Derin menyadari itu. Dan kejanggalan itu kini terjawab ketika sepasang matanya menangkap Nara turun dari mobil setelah dibukakan pintu oleh seorang cowok berseragam yang sama dengan Nara.
Derin memelankan langkahnya sebelum masuk ke rumah. Matanya tetap memandang ke arah mereka. Hingga tanpa peringatan apapun tatapannya beradu dengan cowok itu untuk sesaat. Segera Derin mengalihkan pandangan dengan berpura-pura memainkan ponselnya. Meskipun begitu, ia tetap mencuri pandang ke arah mereka.
Derin hanya tidak habis pikir saja. Ia yakin seratus persen Arka tidak tahu jika pacarnya pulang bersama cowok lain. Sebuah pertanyaan terlintas di benaknya. Benarkah cowok yang kini tersenyum sambil melambaikan tangan kepada Nara itu memang hanya teman?
Pintu gerbang terbuka setelah mobil hitam itu kembali membelah jalanan. Derin sengaja menunggu Nara masuk. Ia tidak bisa memendam rasa penasarannya itu lebih lama lagi.
"Yang tadi itu siapa, Ra?"
"Temen gue, Tristan,"
Mereka berjalan memasuki rumah beriringan. "Oh, jadi itu yang antar-jemput lo sekarang?"
Tampak Nara sedikit kikuk sebelum menjawab. "Ya gitulah,"
Derin merasa tidak puas dengan jawaban itu. Ingin rasanya ia mengulik lebih dalam lagi. "Ganteng lo, Ra, udah ada yang punya belom?" pancing Derin sekali lagi.
Nara hanya tertawa kecil. "Lo naksir?"
"Nggak juga,"
"Ya terus?"
"Kepo doang," jawab Derin lugas.
"Mau gue kenalin?" tawar Nara gamblang.
Derin menggeleng. "Nggak deh, keliatan kaku gitu orangnya,"
Nara hanya terkekeh. "Kalo gitu gue masuk dulu deh. Bilang aja kalau mau dikenalin," ujarnya meninggalkan Derin yang terpaksa menyimpan berbagai pertanyaan di benaknya.
Entah mengapa Derin merasa mereka bukan sekadar teman biasa.
Sejak pindah ke rumah ini, setiap kali Derin punya kesempatan, ia lebih memilih untuk makan seorang diri di luar daripada harus makan semeja dengan Nara dan Diana. Ia hanya akan makan bersama mereka jika ada Hardana. Di depan Hardana, ia menunjukkan sikap seolah-olah menerima mereka. Nyatanya ia masih tidak bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...