Drrt, drrt, drrt.
Benda pipih di samping ranjang Arka bergetar membuatnya dengan terpaksa membuka mata. Padahal matanya baru saja mau terpejam. Namun, lagi-lagi ada saja hal yang mengganggu jadwal tidurnya. Sungguh Arka ingin mengerutuki siapa saja yang menelponnya tengah malam begini.
Arka meraih ponselnya dengan malas. Tanpa melihat nama si penerima, ia langsung mengangkat panggilan itu.
"Derin di rumah lo nggak?"
Suara Nara langsung memecah kesadarannya. Arka mengucek kedua bola matanya, melirik jam dinding di atas meja belajar. Pukul setengah dua belas malam, buat apa Derin di rumahnya selarut ini?
Meski ia tau Nara tidak melihatnya, Arka menggeleng pelan. "Nggak."
"Terus dia di mana? Dia belum pulang."
Arka termenung. Otaknya seolah menginstrupsi sesuatu. Berusaha mencerna dengan baik informasi yang baru ia terima.
"Ar?"
Arka tidak lagi menjawab, dengan spontan ia meraih jaket denim yang bertengger di kursi meja belajar. Kemudian ia bergegas keluar kamar, tanpa memperdulikan panggilan dari Nara yang tanpa sengaja terputus.
Arka bergegas keluar dari rumah. Sebisa mungkin ia tidak menimbulkan suara agar Wisnu tidak ikut terbangun. Baru saja ingin melangkah ke garasi, langkahnya terhenti mendengar deru motor Arya datang dari depan gerbang menuju ke teras rumahnya.
Dengan cepat Arya turun dari motor, jemarinya melepas helm kasar. "Lo mau ke mana?"
"Lo udah dapet kabar, kan?" tanya Arya lagi, karena Arka tidak kunjung menjawab.
"Maksud lo?"
"Derin, Derin ilang," ujar Arya khawatir.
Arka terdiam sesaat.
"Bukan urusan gue."
Arya melotot. "Bisa-bisanya lo ngomong kaya gitu?"
"Lo pikir dia ilang beneran? Paling juga ke Bogor kaya waktu itu," jawab Arka acuh. Terjadi keheningan beberapa menit. Begitu melihat Arka hendak berlalu dari hadapannya, Arya mencekal pergelangan tangan cowok itu.
"Lo lupa terakhir kali kita ketemu dia lagi sama siapa?" Arya menatap tajam Arka. "Tristan!"
Arka mendadak terdiam. Hanya sepersekian detik, sebelum akhirnya ia menepis kasar cengkraman Arya. Kemudian kembali masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun.
"Ar, lo yakin nggak mau nyari Derin?" tanya Arya untuk yang kesekian kali.
Bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Alih-alih menjawab, Arka menyibukkan diri memasukan buku pelajarannya ke dalam tas.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...