"Selesai!" seru Derin, seraya menutup layar laptopnya dengan semangat. Di depannya ada Arka, Arya, dan Nino yang tengah merenggangkan otot jari masing-masing yang mungkin terasa pegal.
Sepulang sekolah tadi, mereka tidak langsung pulang ke rumah. Ada tugas kelompok yang harus mereka kerjakan. Dan, tempat yang paling nyaman dan utama, siapa lagi kalau bukan rumah Arka.
"Der, lo jangan ilang-ilangan lagi, ya. Gue capek tau muterin Jakarta," keluh Nino sembari merapikan bukunya yang bercecer di atas meja.
"Ya, gue kan nggak minta lo cariin, Bambang!" balas Derin, seraya menimpuk kepala Nino dengan buku tulis yang ada di tangannya.
Nino mengusap ujung kepalanya pelan. "Lo tau nggak, si Arya khawatirnya kayak cicak kehilangan bun-aw," Nino mengaduh, satu tamparan keras tepat mengenai bahunya. Siapa lagi pelakunya jika bukan Arya.
Sementara Derin, ia hanya terdiam, terlihat tidak tau harus menanggapi apa.
"Mobil lo gimana? Beneran blong remnya?" tanya Arka tiba-tiba, membuat suasana sedikit menjadi serius.
Arya menggeleng pelan, seolah tidak menemukan jawaban.
"Serius murni blong?" tanya Nino. "Perasaan pas berangkat nggak kenapa-kenapa lho."
Arya menghembuskan napas kasar. "Kalau disabotase menurut lo siapa?"
Nino terdiam, lantas menggaruk telinganya gusar. "Kok lo nanya gue sih, lo pikir gue peramal, ha?" dengusnya.
Arka yang menyadari Derin terdiam sedari tadi pun memfokuskan pandangannya pada cewek itu. "Menurut lo siapa, Der?" tanyanya kemudian, membuat Derin tersentak kaget sepersekian detik.
"Eh, iya, apa?" tanya Derin linglung sendiri.
"Tukan, lo kesambet jin botolnya Nino ya, Der?" canda Arya.
Derin hanya meringis masam, seperti enggan menanggapi candaan Arya.
"Udah ah, itu dibahas nanti aja. Pada laper nggak sih?" ujar Nino mengalihkan pembicaraan.
"Emang soal perut tetep nomer satu ya lo," dengus Arya. Nino hanya meringis lebar.
"Beli somay Mang Ikin aja, ya? Tapi, dibawa ke sini, biar gue yang beli, sekalian mau nyari udara gue," cetus Derin, diikuti Arya yang langsung ikut bangkit dari duduknya.
"Sama gue ya, Der?" tawar Arya.
Namun, Derin menggeleng cepat, matanya menatap canggung Arya. "Nggak usah, gue bisa sendiri kok," ujarnya, lantas melangkahkan kaki keluar dari rumah Arka.
Arka merasa ada yang aneh dengan Arya dan Derin. Sejak di sekolah hingga bel pulang berbunyi---bahkan sampai mereka selesai mengerjakan tugas di rumahnya tadi---Derin yang biasanya menanggapi segala candaan Arya, entah mengapa tiba-tiba mendadak lebih sering terdiam. Mereka terlihat lebih canggung dari biasanya. Arka menangkap betul suasana itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...