Arka meneguk ludahnya susah payah. Untuk sepersekian detik matanya menatap nanar meja yang berada di depannya. Kemudian, beralih menatap Derin. Masih tidak percaya jika di atas mejanya saat ini ada berbagai macam buku yang isinya penuh dengan tugas, beserta catatan pelajaran.
Setelah dua hari izin, hari ini merupakan hari pertama Arka masuk sekolah. Namun, bukan tugas menumpuk yang membuatnya terkejut. Melainkan, fakta jika semua catatan-catatan ini Derinlah yang menulis. — Cewek itu menulisnya sendiri.—Benar-benar fenomena yang sangat langka.
Melihat Arka masih mematung di samping bangku, Derin yang telah selesai melahap roti bantalnya pun melempar bungkus rotinya ke arah cowok itu. "Lo mau berdiri di situ terus?"
Tersadar, Arka kembali memasang wajah datarnya, lantas mendudukan tubuhnya di samping cewek itu. "Sekarang lo ya yang ke sambet tuyul?" ringisnya kemudian.
Tanpa aba-aba Derin mencubit lengan Arka, membuat cowok itu mengaduh kesakitan. "Lo dendam apaan, sih!" gerutu Arka, seraya mengusap pegelangaan tangannya.
"Gini ya, Ar," jeda Derin, ia mengulum senyum sekilas. "Gue kan udah bela-belain rajin nih buat lo. Jadiiii," jedanya lagi.
Arka menatap datar Derin.
"Sama-sama," lanjut Derin, lantas tersenyum masam melirik cowok itu.
Arka terbahak kecil. "Emang lo ngucapin makasih juga waktu itu?"
"Makasih apa?" tanya Derin, memutar bola matanya.
"Waktu pertama kali kita ketemu,"
Derin memejamkan matanya sekilas. Lantas terdiam, ikut mengingat pertemuan pertama kalinya dengan Arka.
"Waktu itu yang ada dipikiran gue, lo cewek aneh, rese', nggak tau terima kasih. Saat itu juga gue berharap nggak ketemu lo lagi. Tapi, takdir sepertinya berkata lain, ya?" tanya Arka, seraya mendekatkan wajahnya ke arah cewek itu.
Derin meneguk ludahnya, lantas tersenyum sumbang menatap Arka yang saat ini hanya berjarak beberapa inci dari matanya. "Gue, gue seaneh itu, ya?"
Arka mengangguk, seraya menjauhkan wajahnya. "Mungkin karena gue orangnya susah buat nerima orang baru, jadi penilaian gue ke lo waktu itu kaya gitu ."
"Tapi, sekarang lo bukan lagi orang baru kok," lanjut Arka. Tanpa sadar ia menangkap senyum kecil terbesit di bibir mungil Derin. "Kenapa senyum-senyum?" tanyanya kemudian.
Untuk sepersekian detik, dengan cepat Derin mengubah ekspresi wajahnya. Ia mengulum bibir, seraya menatap canggung Arka."Eng-enggak, s-siapa juga yang senyum-senyum, hm?" kilah Derin.
"Tadi," gumam Arka.
"Enggak ya," Derin tetap mengelak. "Udah itu buruan lo catet. Keburu berubah pikiran gue," lanjutnya, mengalihkan pembicaraan.
"Lagian gue masih bisa paham semua materi ini, meski tanpa buku catatan lo," cibir Arka, seraya mengambil satu buku bersampul biru muda yang berada di depannya.
Mendengar itu, Derin melirik tajam, lantas merebut kasar bukunya dari tangan cowok itu. "Ya udah, sini buku gue!"
Arka menghiraukannya, ia memilih mengambil buku lain yang masih berada di atas mejanya.
"Orang pinter nggak butuh catatan kan?" tanya Derin, kembali mengambil bukunya dari cowok itu. Kemudian di susul dengan buku-buku lain yang turut diambilnya dengan kesal.
Arka menghela napas, lantas mengubah posisi tubuhnya menghadap cewek itu. Membuat Derin menatap bingung.
"Apa?" tanya Derin dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...