"Derin, Der, lo tahan ya? Lo kuat," Arka tidak berhenti mengucap kalimat yang sama sejak perjalanan menuju ke rumah sakit hingga sampai di tempat.
Langkahnya tergesa menyamakan langkah perawat yang mendorong brankar menuju ruang IGD. Napas Arka memburu. Wajahnya semakin memerah, begitu merasakan tubuh Derin semakin mendingin. Tangannya yang berlumuran darah pun semakin erat menggengam jemari cewek itu.
"Masnya tunggu di sini dulu ya, pasien biar diperiksa dokter dulu," ujar seorang perawat kepada Arka begitu mereka sampai di depan ruang IGD. Dengan spontan Arka melepaskan genggamannya dari jemari Derin. Menarik napas berat, dengan harap-harap cemas tidak terjadi sesuatu yang buruk atas cewek itu.
Arka masih tidak habis pikir, melihat tindakan gegabah Derin membuatnya kaget bukan main. Cewek itu mempertaruhkan nyawa untuknya. Jujur saja, saat itu Arka ingin marah. Ingin meneriaki kebodohan Derin yang teramat fatal. Namun, seolah tak bertenaga, rasa khawatir Arka mengalahkan segalanya.
Bahkan melihat wajah pucat Derin saja sudah mampu membuat pembuluh darah Arka melepuh. Terlebih ketika tekanan darah cewek itu sempat menurun sewaktu berada di ambulance tadi. Rasanya jantung Arka benar-benar ingin mencelos keluar tanpa disuruh.
Jika, terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, Arka bersumpah akan membenci dirinya sendiri seumur hidup.
Arka bangkit dari duduknya begitu melihat Dokter yang menangani Derin keluar dari ruang IGD. Ia menghampiri Dokter itu dengan cemas.
"Mas, ini---?"
"Saya temennya, Dok. Gimana kondisi temen saya?" sahut Arka, nada suaranya terdengar jelas sangat khawatir.
"Pasien kehilangan banyak darah. Luka tusuknya lumayan dalam. Jadi, pasien harus segera di operasi."
Arka menarik napas panjang. Lantas menggangguk paham. "Tolong segera selamatkan temen saya, Dok. Saya mohon," ujar Arka, matanya menaruh harapan besar menatap dokter itu.
"Baik, kami akan melakukan yang terbaik. Pasien akan segera dibawa ke ruang operasi. Nanti jika walinya sudah datang, mohon segera mengisi data ya," jawab Dokter itu, seraya menepuk pelan bahu Arka.
Arka mengehela napas sejenak, lantas mengangguk samar menatap kepergian Dokter itu. Arka mendudukan tubuhnya di kursi tunggu. Melemaskan otot-otot tubuhnya yang terasa remuk redam. Mengabaikan luka, dan memar yang ada di wajahnya, Arka terus memikirkan keadaan Derin. Tidak henti-hentinya juga Arka mengumpati dirinya berulang kali.
Selang beberapa menit derap langkah kaki seseorang terdengar memekik telinga Arka. Ia mengalihkan pandangannya, samar -samar matanya menangkap siluet yang begitu familiar menuju ke arahnya saat ini.
Nino.
"Derin gimana, Ar?" tanya Nino begitu sampai di depan Arka. Cowok itu seperti habis lari maraton sejauh sepuluh kilometer. Napasnya terlihat sangat memburu.
Arka tidak menyahut. Matanya menatap kosong. Otaknya justru memutar rekaman yang di putar Arya sewaktu mereka di atas rooftop kemarin siang.
"Lo mau lihat faktanya?" celetuk Arya tiba-tiba, membuat Arka menghentikan langkahnya yang sudah sampai di ujung tangga rooftop.
Arka berbalik, matanya memberi sorot penuh tanya.
Arya membuang permen karet yang ia kunyah sedari tadi ke sembarang tempat. Dengan spontan ia menghampiri Arka. Lantas menyodorkan ponselnya ke arah cowok itu. "Gue nggak berharap lo percaya. Gue cuma pengen nunjukin kalau gue nggak pernah omong kosong."
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...